Tuesday 23 February 2016

Sang Syahid yang Hidup


Pertempuran di Bukit Uhud baru saja usai. Pertempuran antara pasukan muslim dengan tentara Quraisy terhenti dengan kemenangan di pihak Quraisy. Awalnya tentara muslim sudah merasa memukul mundur pasukan Quraisy. Mereka akhirnya meninggalkan pos-pos mereka di bukit dan berlarian menuju lembah untuk mendapatkan hak pemenang perang. Ketika itu, Khalid bin Walid, salah satu panglima perang tentara Quraisy melihat peluang kecil. Ia kemudian memerintahkan pasukan kafir untuk balik menyerang dengan menduduki pos-pos yang sudah ditinggal di atas bukit. Dengan kekuatan yang tersisa, pasukan kafir berhasil memenangkan pertempuran. Mereka membombardir pasukan muslim dengan panah dan berhasil menewaskan Hamzah bin Muthalib. Baginda Rasulloh sendiri sempat terancam nyawanya. Ketika itu, ia bersama Thalhah bin Ubaidillah serta 11 orang prajurit pengawal. Mereka berjibaku melindungi baginda agar tak bisa dilukai oleh tentara kafir.
Pertempuran tak seimbang terjadi. Ke-11 prajurit kemudian satu demi satu menemui ajalnya. Mereka digempur oleh sepasukan tentara kafir. Tinggallah Baginda Rasululloh dan Thalhah yang bertahan digaris belakang. Mereka terdesak. Menghunus pedang, Thalhah dengan gagah berani melindungi Baginda Rasulluloh.
Perawakan Thalhah yang tinggi kekar membuat ia menjadi sosok yang ditakuti. Beberapa kali pedangnya sudah memakan korban. Ia terus ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri untuk menghalau tentara kafir medekati baginda. Siapapun yang berada dalam jangkauan pedangnya dipastikan terluka atau tewas.
Namun, dalam sebuah kesempatan, ia melihat Baginda Rasululloh yang berada di sebelah punggungnya. Ia melihat tubuh manusia mulia itu berdarah. Thalhah tak lagi memperdulikan keselamatan dirinya. Ia kemudian melompat ke arah baginda. Dipeluknya Baginda Rasululloh dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara pedang yang ada ditangan kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang mengelilinginya. Kibasan pedangnya terus memakan korban. Setelah itu, Thalhah melihat ada celah untuk meminta baginda keluar dari kepungan tentara kafir. Ia pun meminta baginda berlari ke arah Bukit Uhud. Sementara, dengan sisa kekuatannya, Thalhah menahan laju para prajurit kafir.
Baginda Rasululloh melihat Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Posisi mereka tak jauh. Terlihat kedua sahabat itu berlari kencang menuju Baginda Rasululloh. Mereka kemudian mendapati baginda dan meyakinkan situasi di sekelilingnya aman. 
“Tinggalkan aku, bantulah Thalhah, kawan kalian,” seru Baginda Rasululloh kepada Abu Bakar dan Abu Ubaidah.
Keduanya bergegas mencari Thalhah bin Ubaidillah. Pertempurn masih berkecamuk. Namun, sosok Thalhah teloh roboh. Tubuhnya tergeletak tak berdaya. Sekujur badannya berlumuran darah segar. Tak kurang 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan lembing dan lemparan panah memenuhi tubuhnya dan jari tangannya putus. Kondisi tubuhnya sangat mengenaskan.
Abu Bakar dan Abu Ubaidah kemudian mengangkat tubuh Thalhah. Mereka membopongnya menuju ke tempat baginda. Ketika itu, keduanya mengira Thalhah sudah gugur. Rasa-rasanya, tak mungkin Thalhah bisa bertahan hidup dengan kondisi luka yang sedemikian parah. Darahnya bercecer dimana-mana. Setiap bagian tubuhnya mengeluarkan darah segar.
Setelah meletakkan Thalhah di dekat Baginda Rasululloh, Abu Bakar kemudian memeriksa kondisi Thalhah. Aneh bin ajaib. Lelaki muda itu, masih bernafas. Ia dalam kondisi kritis karena puluhan luka di sekujur tubuhnya.
Melihat keadaan Thalhah yang masih hidup, baginda kemudian menyematkan gelar "Assyahidul Hayy" atau Syahid yang Hidup" kepada dirinya. Lalu Baginda Rasululloh mengatakan, “Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah."
Sejak saat itu bila orang-orang membicarakan Perang Uhud di hadapan Abu Bakar As Siddiq, maka beliau selalu menyahut, “Perang hari itu adalah peperangan Thalhah seluruhnya hingga akhir hayatnya.”
Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai adalah seorang pemuda Quraisy yang memilih profesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah punya kelebihan dalam strategi berdagang, ia cerdik dan pintar.
Pada suatu hari, Thalhah dan rombongan pergi ke Negeri Syam. Garis hidupnya berubah ketika ia tengah berada di Kota Bushra. Ketika singgah di Bushra, Thalhah mengalami peristiwa menarik. Ia berjumpa dengan seorang pendeta.
“Wahai para pedagang, adakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?.”
“Ya, aku penduduk Makkah,” sahut Thalhah.
“Sudah munculkah orang di antara kalian orang bernama Ahmad?” tanyanya.
“Ahmad yang mana?“, Thalhah menjawab.
“Ahmad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini pasti muncul sebagai Nabi penutup para Nabi. Tempat munculnya adalah tanah haram, kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya wahai anak muda,” sambung pendeta itu.
Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, hingga tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Makkah. Setibanya di Makkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya,
“Ada peristiwa apa sepeninggalku?”
“Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya Nabi dan Abu Bakar bin Abu Quhafah telah mempercayai dan mengikuti apa yang dikatakannya,” jawab mereka.
“Aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik, banyak orang menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy,” gumam Thalhah bin Ubaidillah lirih.
Setelah itu Thalhah bin Ubaidillah langsung mencari Abu Bakar As Siddiq.
“Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?“, Thalhah bertanya
“Betul.“, jawab Abu Bakar.
Thalhah segera menemui Abu Bakar untuk menanyakan kebenaran berita tersebut.
Thalhah bin Ubaidillah bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta Bushra. Abu Bakar As Siddiq tercengang. Lalu Abu Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk menemui Muhammad dan menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah bin Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.
Setelah ke-Islamannya diketahui oleh orang-orang Quraisy, Nufail bin Khuwailid, salah seorang pembesar yang terkenal dengan sebutan ‘Singa Quraisy’ mencari-cari Thalhah. Ketika itu, Thalhah sedang bersama Abu Bakar. Keduanya langsung ditangkap. Mereka  diikat dengan satu tambang, kemudian diancam dan diintimidasi. Tetapi mereka tidak berani bertindak terlalu keras dan kejam karena khawatir dengan pembalasan dari kabilahnya Abu Bakar dan Thalhah.
Setelah berbagai ancaman dilakukan, dari yang halus hingga keras tidak juga berhasil, akhirnya mereka melepaskannya kembali. Karena peristiwa ini, Abu Bakar dan Thalhah disebut sebagai ‘Al Qarinain’, artinya dua setangkai.
Thalhah bin Ubaidillah termasuk dalam as sabiqunal awwalin (kelompok yang pertama memeluk Islam), ia juga salah satu dari sepuluh sahabat yang memperoleh berita gembira masuk surga ketika hidupnya. Sembilan lainnya adalah empat sahabat Khulafaur Rasyidin, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubair bin Awwam dan Abu Ubaidah bin Jarrah.
Berlalulah waktu, Rasulullah wafat dan digantikan Abu Bakar, Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar. Selama itu irama hidupnya tidak banyak berbeda, memanggul senjata untuk menegakkan panji Islam atau menjalankan perniagaannya. Selama itu pula ia terus menunggu kapan penantiannya akan berakhir? Kapan “syahid” yang berjalan di muka bumi (yakni dirinya, sebagaimana disebut Baginda Rasululloh)  akan menjadi benar-benar syahid?
Thalhah akhirnya menemui syahidnya di perang Jamal di masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Ironinya, dalam peperangan tersebut ia bersama Zubair bin Awwam dan Ummil Mukminin Aisyah memimpin pasukan dari Bashrah  untuk melakukan perlawanan kepada Ali bin Abi Thalib, dengan dalih menuntut balas kematian Utsman. Padahal beberapa waktu sebelumnya mereka ikut memba’iat Ali sebagai khalifah.
Sebuah riwayat menyebutkan, ketika pertempuran mulai berlangsung dan dari kedua pihak berjatuhan korban tewas, Ali menangis dan menghentikan pertempuran, padahal saat itu posisinya dalam keadaan menang. Ali meminta kehadiran Thalhah dan Zubair untuk melakukan islah. Ali mengingatkan Thalhah dan Zubair berbagai hal ketika bersama Rasulullah SAW, termasul ramalan-ramalan beliau tentang mereka bertiga. Thalhah dan Zubair menangis mendengar penjabaran Ali dan seolah diingatkan akan masa-masa indah bersama Rasulullah SAW. Apalagi saat itu mereka melihat Ammar bin Yasir ikut bergabung dalam pasukan Ali. Masih jelas terngiang di telinga mereka sabda Nabi SAW ketika kerja bakti membangun Masjid Nabawi, “Aduhai Ibnu Sumayyah (yakni, Ammar bin Yasir), ia akan terbunuh oleh kaum pendurhaka…..!!”
Kalau terus memaksakan pertempuran ini, jangan-jangan mereka menjadi “kaum pendurhaka” tersebut. Thalhah dan Zubair memutuskan menghentikan pertempuran dan ia menyarungkan senjatanya, kemudian  berbalik menemui pasukannya. Tetapi ada anggota pasukan yang tidak puas dengan keputusan ini dan mereka  memanah dan menyerang keduanya hingga tewas. Sebagian riwayat menyebutkan penyerangnya dari pasukan Ali, riwayat lain dari pasukan Bashrah sendiri.
Thalhah bin Ubaidillah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basrah. Dia wafat dalam usia lebih kurang 60 tahun.Thalhah bin Ubaidillah meninggal dunia pada tahun 36 Hijrah bersamaan 656 Masehi.
Sesungguhnya Thalhah bin Ubaidillah berharap bisa gugur ketika berjuang bersama Baginda Rasululloh saat menghadapi musuh Islam. Namun, ketentuan Alloh menghendaki dia tewas di tangan orang Islam sendiri. Subhanalloh!
Medan, 23 Februari 2016

No comments:

Post a Comment