Nias, kepulauan
indah itu selalu mengingatkan saya akan persahabatan. Saya pertama kali
menginjakkan kaki di Nias pada tahun 1990-an akhir untuk sebuah kegiatan
fotografi. Setelah itu, lebih dari satu dasawarsa saya tak pernah lagi ke Nias.
Cerita-cerita unik
(baca: seram) tentang Nias, membuat banyak orang termasuk saya enggan
menginjakkan kaki disana. Tapi, cerita-cerita itu hanyalah sebatas cerita.
Orang Nias sama dengan suku lainnya di Indonesia. Saya pernah berjumpa dengan
orang-orang suku Asmat di Papua atau suku Anak Dalam di Jambi. Mereka juga
manusia yang punya hati dan perasaan. Mereka juga mengenal rasa hormat dan
persahabatan.
Sungguh, saya
terpesona dengan Nias dan pernah berjanji dalam hati untuk menjadi bagian dari
masyarakat disana. Nias yang terbelakang, Nias yang selalu dianggap sebelah
mata oleh banyak orang tentu harus dibangun bersama. Tidak hanya oleh
masyarakat asli Nias, tetapi oleh orang-orang Sumatera Utara yang merupakan
provinsi induk dari kepulauan itu. Nah, sebagai bahan untuk kalian memahami
Nias, saya mengutip asal-usul orang Nias (Ono Niha). Cerita ini, walau mitos, bisa menjadi bahan bagi banyak orang memahami
karakter Ono Niha.
Konon, Lowalangi menciptakan langit
berlapis Sembilan. Lalu menciptakan pohon kehidupan bernama Tora’a. pohon kehidupan itu berbuah
dua buah yang kemudian dierami oleh seekor laba-laba. Lalu lahirlah sepasang
dewa dari buah tersebut bernamaTuhamora’anggi
Tuhamoraana’a (berjenis kelamin laki-laki) dan Burutiraoangi Burutiraoana’a(berjenis
kelamin perempuan). Kedua Dewa ini kemudian menjadi penghuni langit berlapis
Sembilan tersebut.
Teteholi Ana’a adalah nama lapis langit yang terdekat ke
bumi. Salah satu keturunan Dewa tersebut bernama Sirao Uwu Zihono atau nama lain Sirao Uwu Zato mendiami langit lapis pertama atau yang paling
dekat ke bumi. Sirao ini beristri 3 dan masing – masing istrinya melahirkan 3
anak sehingga total anak Sirao ini ada 9 orang.
Konon, kesembilan
anak Sirao ini berselisih memperebutkan tahta penguasa lapis pertama untuk
menggantikan ayahnya yang sudah tua. Untuk mengatasi permasalahan itu, Sirao
Uwu Zihono melakukan sayembara ketangkasan menari di atas mata Sembilan tombak.
Sayembara ini dimenangkan oleh si bungsu, Luo Mewona. Dengan demikian, Luo Mewona menjadi penguasa langit
lapis pertama.
Kedelapan abangnya
yang kalah beserta seorang anak dari Luo Mewona diturunkan ke Bumi yaitu keTano
Niha (Tanah Nias) atas kehendak mereka sendiri. Lima dari Sembilan
orang tersebut mendarat dengan selamat di bumi dan keempat lainnya mendarat
tidak sempurna. Mereka yang mendarat selamat ialah :
1. Hiawalangi Sinada (Hia)
turun di Boronadu, kecamatan Gumo dan menjadi leluhur dari margaTelaumbanua, Gulo, Mendofa dan Harefa.
2. Gozo Hela-Hela mendarat di Barat
Laut Hilimaziaya, Nias Utara, kecamatan Lahewa sekarang dan menjadi leluhur
dari marga : Baeha, Wuruwu,
Zendrato dan Lase.
3. Daeli Bagambolangi (Daeli) turun
di Tolamera, negeri Idanoi adalah yang menjadi leluhur marga – marga Daeli, Larosa, Zai, dan Hulu.
4. Hulu Borndano (putra sulung Luo
Mewona) turun di Laehuwa, Nias Barat Laut dan menjadi leluhur dari
marga-marga : Ndruru, Bu’uolo dan Hulu.
5. Silogu (putra sulung Luo Mewona)
turun di Nias Timur dan menjadi leluhur dari marga-marga Zebua, Bawo dan Zega.
Empat putra Sirao yang turun tidak wajar adalah :
1. Bauadano Hia karena badannya yang
terlalu berat turun ke Tano Niha menembus ke dalam Bumi dan menjelma menjadi
ular yang dikenal dengan sebutan Da’o
Zanaya Tano Sisagoro (si penadah bumi). Konon jika di bumi terjadi
perang dan darah manusia merembes ke bumi, Da’o Zanaya akan sangat marah dan
mengguncang bumi dari bawah hingga menimbulkan gempa. Untuk menghentikan gempa
bumi itu, orang Nias akan berteriak “BihaTua !” artinya : Sudahlah
Nenek, kami tidak akan berperang lagi
2. Gozo Tuhazangarofa ketika
turun di bumi tercebur ke sugai dan menjelma menjadi dewa sungai penguasa
segala kehidupan di air. Karena itu bila nelayan hendak mencari ikan di sungai
atau laut terlebih dahulu mereka berdoa keada Dewa Sungai tersebut.
3. Lakindrolai Sitambalina ketika
turun di bumi tertiup oleh angin kencang dan tersangkut di pohon. Dia menjelma
menjadi roh penunggu hutan bernama Bela
Hogugeu. Karena itu kaum pemburu selalu lebih dahulu menyembah dewa
hutan ini sebelum berburu ke hutan.
4. Sofuso Kara mendarat di
bukit bebatuan di daerah Laraga sekarang. Sofuso Kara kemudian menjadi leluhur
orang – orang berilmu kebal. Demikianlah legenda tersebut dikisahkan. Namun
seperti kebanyakan mitos, tentunya terdapat banyak versi lain dari kisah ini.
Kalau dilihat dari sejarahnya sendiri, sebenarnya Siraouwu Zihono yang diklaim
sebagai Dewa adalah seorang perantau yang datang dari daerah Burma (Thailand).
Ia adalah orang pertama yang bermukim di pulau Nias.
(Dikutip dari buku
“Silsilah marga – marga Batak” karya Drs. Richard Sinaga)
No comments:
Post a Comment