Munirah, Kepala Kantor Urusan Kota Surga resah meratapi kota ini dari balik
jendela bilik kerjanya di lantai 99. Matanya yang menatap alun-alun dibawah
sana yang tak lebih selebar kotak korek api. Matanya kemudian menatap empat garis
jalan utama yang mengelilingi alun-alun di bawah sana. Jalanan yang sepi
melompong. Padahal, dulunya Surga adalah sebuah kota yang ramai. Yang padat
penghuni. Yang selalu menjadi muara para pendatang. Namun kini, jalanan sunyi.
Rumah-rumah kosong tak berpenghuni. Dan Surga benar-benar seperti kota mati.
Kota ini benar-benar diambang keambrukan, desahnya dalam hati.
Lama sekali Munirah menatap seisi kota dari jendela itu. Hatinya tak
tentram dengan keadaan Surga saat ini.
Oh, dimanakah dulu kebahagiaan yang ada di Surga. Kemanakah mereka semua
pergi. Apakah Surga telah menjadi tempat yang membosankan buat mereka. Tak ada
kebahagian, keriaan, dan keceriaan. Yang ada kini cuma bayang-bayang kesunyian.
Tak ada lagi tawa, tak ada lagi canda.
Munirah bertanya-tanya terus dalam hatinya, mengapa tak ada lagi manusia
yang sudi menetap atau singgah di kota ini? Apakah Surga telah menjadi kota
yang tak menari lagi? Apakah Surga sudah menjadi kota yang membosankan?
Pertanyaan itu terus menderanya setiap saat.
Munirah tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya Surga harus ditutup.
Tapi memang tak ada jalan lain. Jumlah pemasukan keuangan Kota Surga terus
merosot. Bahkan mereka hampir mengalami kekosongan cadangan devisa. Dalam
kondisi seperti ini, Surga hanya bisa bertahan paling lama dua tahun lagi. Dan
itu bukan waktu yang lama.
Munirah kembali terbayang rapat Dewan Kota Surga yang dipimpin Tuan Ali
Akbar malam tadi. Ditemani tiga deputinya, Munirah harus menjelaskan kepada
Dewan Kota Surga mengenai kondisi kota ini. Laporan Deputi Bidang Keuangan,
Kantor Urusan Surga, Ferdiansyah, mengungkapkan kondisi keuangan Kota Surga
yang sangat parah.
“Kita tidak bisa bertahan dengan kondisi keuangan seperti ini. Biaya
operasional kita terlalu tinggi. Kita harus tetap merawat berbagai fasilitas
mewah milik kota. Sedangkan di sisi lain, kita tak mendapat pemasukan yang cukup,”
Ferdiansyah menjelaskan dihadapan rapat.
Tuan Ali Akbar yang memimpin rapat di meja bundar itu mendesah. Munirah
gelisah. Semua wajah tertunduk. Deputi Bidang Strategi dan Perencanaan Kantor
Urusan Kota Surga, Rubino, membuka mulut yang pertama saat semuanya masih diam.
Katanya,”kami punya rencana untuk menyelamatkan Surga. Tetapi ini sangat
rahasia. Saya tidak bisa membeberkan rencana ini pada sidang ini.”
Semua mata berseri menatap Rubino. Lantas, Deputi Bidang Operasional dan
Pelayanan Umum Kantor Urusan Kota Surga, Boris Haris, menyahut dengan cepat.
“Apalagi yang harus disembunyikan? Kita berkumpul sekarang karena kondisi
Surga memang sudah sangat kritis seharusnya tak ada lagi yang perlu
dirahasiakan,” tukasnya.
“Ya….”
“Setuju….”
“Betul…..”
Suara-suara para anggota Dewan Kota Surga sahut menyahut. Ada Sembilan
orang anggota Dewan Kota Surga dan semua memandang tajam pada Rubino.
“Maaf! Saya bilang tadi ini rencana penyelematan. Ini sangat penting dan
menyangkut masa depan Surga. Saya tidak mau rencana ini bocor ke pihak lain,”
Rubino menjelaskan dengan suara datar.
“Jadi Anda menganggap kami akan membocorkan rahasia ini. Sudah puluhan
tahun saya menjadi anggota Dewan Kota Surga ini, tak ada satupun rahasia yang
bocor keluar,” ujar seorang anggota Dewan Kota Surga dengan nada emosi.
“Ya, kita semua punya maksud yang sama untuk menyelematkan Surga. Saudara
Rubino seharusnya tak perlu curiga dengan peserta rapat ini,” tambah Tuan Ali
Akbar yang menjadi pimpinan rapat.
Munirah menatap tajam pada Rubino yang duduk di samping kanannya. Ia sudah
tahu rencana apa yang dibuat pembantunya itu. Namun, masih ada keraguan dalam
hatinya untuk menyetujui Rubino mengungkapkan rencana itu dalam rapat ini.
Rubino melirik ke Munirah. Ia meminta persetujuan pada atasannya itu. Munirah
menggeleng. Rubino paham maksudnya.
Tuan Ali Akbar, sebagai Ketua Dewan Kota Surga memang sudah memberi
peringatan keras. Dewan Kota mengancam jika keadaan Kota Surga tidak berubah
dalam waktu tiga bulan, maka, Kantor Urusan Kota Surga akan ditata ulang.
Kedudukan Munirah sebagai Kepala Kantor Urusan Kota Surga akan diganti. Bahkan
yang lebih mengerikan, Dewan Kota Surga mengancam akan menutup Kota Surga selamanya.
Raut wajah wanita yang layaknya berusia 40 tahunan itu tak bisa menyembunyikan
gelisah. Tidurnya tak pernah nyenyak didera persoalan maha dasyat ini. Apalagi
tadi malam mimpinya buruk sekali. Munirah teringat mimpinya. Matanya
berkaca-kaca ketika memutar rekaman mimpi itu di kepalanya.
Munirah tersadar ketika telepon di mejanya berdering lembut.
Tut...tut...tut....
Dipandanginya gagang telepon itu dengan resah. Sinar matahari yang
menerobos masuk dari sela-sela jendela biliknya ini menempel di gagang telepon
itu.
Langkahnya kemudian terjulur mendekati meja kerja dimana telepon itu
terletak menunggu diperhatikan.
“Halo....”
“Maaf, bu. Dewan Kota Surga ingin bertemu ibu segera. Mereka menunggu ibu satu
jam lagi,” suara sekretaris pribadinya memberitahu.
“Baik. Saya akan datang.”
Munirah menarik nafas panjang. Ia tahu apa yang akan terjadi dari pertemuan
ini. Munirah kemudian duduk di kursinya sambil sedikit merapikan baju
kembang-kembang dengan rok selutut yang melekat di tubuhnya. Sebentar kemudian
Munirah sudah tenggelam mencermati beberapa surat yang diletakkan sekretaris
pribadinya. Setelah meneliti surat-surat itu, Munirah menorehkan tanda tangan.
Tut...tut....tut....
Telepon di hadapan Munirah kembali
memanggil. Munirah sadar itu merupakan perintah baginya untuk segera menghadiri
rapat dengan para anggota Dewan Surga.
“Maaf, bu....”
“Ya, katakan saya sedang menuju
kesana,” Munirah memotong sebelum sekretaris itu menyelesaikan cakapnya.
Ketika Munirah masuk ke dalam
ruangan rapat Kantor Dewan Kota Surga, perasaan dingin menyergapnya dengan
ganas. Pandangan mata sembilan orang anggota Dewan Kota Surga menusuknya tajam.
Munirah mengambil kursi di salah
satu ujung meja berbentuk empat persegi panjang itu. Sedangkan di ujung satunya
lagi sudah ditempati oleh Tuan Ali Akbar, Ketua Dewan Kota Surga. Sementara,
delapan anggota lainnya duduk di kursi pada kedua sisi meja masing-masing empat
anggota.
Usai Munirah melengkapi duduknya, Tuan
Ali Akbar membuka mulut.
“Baiklah. Rapat tertutup ini kita
buka. Dengan berkat Tuhan, rapat ini saya nyatakan tertutup dan tak boleh
diketahui umum,” suara Tuan Ali Akbar terdengar bergema di segenap ruangan.
“Silahkan! Saudari Munirah, apa yang bisa Anda laporkan pada kami,
melanjutkan pertemuan kemarin malam?”
Munirah membuka tumpukan kertas yang
dibawanya dari bilik kerjanya. Membalik-balikkan sebuah kertas putih. Matanya
kemudian menyapu seluruh peserta rapat ini.
“Keadaan kita memang semakin
memprihatinkan. Kami hanya punya satu rencana untuk dilaporkan pada dewan yang
terhormat ini,” kata Munirah.
“Silahkan. Kami ingin segera
mendengarnya.”
Munirah kemudian memaparkan sebuah
rencana penting untuk menyelamatkan Surga. Rencana ini disusun Rubino dan para
stafnya. Munirah sejujurnya tak begitu menaruh harapan dengan rekomendasi yang
disusun itu. Sejak awal, Munirah telah memperingatkan Rubino untuk meningkatkan
cara kerjanya. Terbukti beberapa perencanaan yang telah dibuat menghadapi
krisis di Kota Surga ini, tak berjalan lancar. Tetapi menghadapi tekanan
keadaan di Kota Surga, ditambah lagi dengan desakan Dewan Kota Surga agar
segera disusun rencana darurat menanggulangi keadaan ini, Munirah tak berdaya.
Rencana Rubino yang tertuang dalam dokumen rahasia di jarinya dibacakan.
Setelah panjang lebar, Munirah menjelaskan rencana aksi yang akan dilakukan
ini, ketua dan para anggota Dewan kota Surga mulai melontarkan pertanyaan.
“Apakah kita punya agen yang siap
diterjunkan. Saya melihat kita perlu segera mengirimkan agen kita jika memang
laporan intelijen itu benar,” ujar seorang anggota Dewan Surga.
“Ya, kalau memang cuma rencana itu
yang kita miliki. Kita harus bergerak cepat,” tambah seorang anggota Dewan Kota
Surga lagi.
Munirah seperti mendapatkan angin segar mendapati reaksi para anggota Dewan
Kota Surga. Semula dibayangkannya, rencana ini akan ditampik karena dianggap
tidak masuk akal.
“Saya segera akan mengirimkan agen terbaik kita jika anggota dewan yang
terhormat mengizinkannya,” Munirah menyahut dengan tangkas.
Walaupun begitu sebenarnya tak terbayang olehnya seorang pun agen di Surga
yang sanggup melaksanakan tugas ini. Tetapi demi menjaga kelancaran aksi yang
telah disusun bahkan hampir disetujui ini, Munirah menyanggupi untuk
menyediakan seorang agen handal guna melaksanakan tugas berat ini.
“Baiklah. Rencana itu tampaknya bisa
dilaksanakan segera. Kami ingin Anda segera mengirimkan agen terbaik kita ke Kota
Bumi. Dan ingat! Jangan sampai rencana ini bocor kepada orang-orang Kota Neraka
itu,” Tuan Ali Akbar, Ketua Dewan Kota Surga berkata tegas setelah berembuk
dengan delapan anggota Dewan Kota Surga yang lain.
Munirah menarik nafas
panjang-panjang untuk membuang sedikit keraguannya terhadap rencana ini.
Perasaannya seperti terbebas dari himpitan batu gunung yang mengganjal.
Persetujuan dari Dewan Kota Surga ini sudah merupakan modal awal baginya untuk
bekerja keras agar rencana aksi itu berhasil.
“Saudari Munirah. Anda dapat segera
melaksanakan rencana aksi itu. Demikianlah kesimpulan rapat dengar pendapat
Dewan Kota Surga dengan Kantor Urusan Kota Surga. Oleh karena itu rapat ini
dinyatakan ditutup. Seluruh hasil pertemuan ini tidak boleh diumumkan kepada
umum.” Suara Ketua Dewan Surga kembali bergema. Disusul dengan ketokan palu
sebanyak tiga kali.
***
@auliaandri
No comments:
Post a Comment