Sunday, 19 July 2015

Akulah Surga dan Kau Neraka [Bag 2]


Munirah, Kepala Kantor Urusan Kota Surga resah meratapi kota ini dari balik jendela bilik kerjanya di lantai 99. Matanya yang menatap alun-alun dibawah sana yang tak lebih selebar kotak korek api. Matanya kemudian menatap empat garis jalan utama yang mengelilingi alun-alun di bawah sana. Jalanan yang sepi melompong. Padahal, dulunya Surga adalah sebuah kota yang ramai. Yang padat penghuni. Yang selalu menjadi muara para pendatang. Namun kini, jalanan sunyi. Rumah-rumah kosong tak berpenghuni. Dan Surga benar-benar seperti kota mati.
Kota ini benar-benar diambang keambrukan, desahnya dalam hati.
Lama sekali Munirah menatap seisi kota dari jendela itu. Hatinya tak tentram dengan keadaan Surga saat ini.
Oh, dimanakah dulu kebahagiaan yang ada di Surga. Kemanakah mereka semua pergi. Apakah Surga telah menjadi tempat yang membosankan buat mereka. Tak ada kebahagian, keriaan, dan keceriaan. Yang ada kini cuma bayang-bayang kesunyian. Tak ada lagi tawa, tak ada lagi canda.
Munirah bertanya-tanya terus dalam hatinya, mengapa tak ada lagi manusia yang sudi menetap atau singgah di kota ini? Apakah Surga telah menjadi kota yang tak menari lagi? Apakah Surga sudah menjadi kota yang membosankan? Pertanyaan itu terus menderanya setiap saat.
Munirah tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya Surga harus ditutup. Tapi memang tak ada jalan lain. Jumlah pemasukan keuangan Kota Surga terus merosot. Bahkan mereka hampir mengalami kekosongan cadangan devisa. Dalam kondisi seperti ini, Surga hanya bisa bertahan paling lama dua tahun lagi. Dan itu bukan waktu yang lama.
Munirah kembali terbayang rapat Dewan Kota Surga yang dipimpin Tuan Ali Akbar malam tadi. Ditemani tiga deputinya, Munirah harus menjelaskan kepada Dewan Kota Surga mengenai kondisi kota ini. Laporan Deputi Bidang Keuangan, Kantor Urusan Surga, Ferdiansyah, mengungkapkan kondisi keuangan Kota Surga yang sangat parah.
“Kita tidak bisa bertahan dengan kondisi keuangan seperti ini. Biaya operasional kita terlalu tinggi. Kita harus tetap merawat berbagai fasilitas mewah milik kota. Sedangkan di sisi lain, kita tak mendapat pemasukan yang cukup,” Ferdiansyah menjelaskan dihadapan rapat.
Tuan Ali Akbar yang memimpin rapat di meja bundar itu mendesah. Munirah gelisah. Semua wajah tertunduk. Deputi Bidang Strategi dan Perencanaan Kantor Urusan Kota Surga, Rubino, membuka mulut yang pertama saat semuanya masih diam. Katanya,”kami punya rencana untuk menyelamatkan Surga. Tetapi ini sangat rahasia. Saya tidak bisa membeberkan rencana ini pada sidang ini.”
Semua mata berseri menatap Rubino. Lantas, Deputi Bidang Operasional dan Pelayanan Umum Kantor Urusan Kota Surga, Boris Haris, menyahut dengan cepat.
“Apalagi yang harus disembunyikan? Kita berkumpul sekarang karena kondisi Surga memang sudah sangat kritis seharusnya tak ada lagi yang perlu dirahasiakan,” tukasnya.
“Ya….”
“Setuju….”
“Betul…..”
Suara-suara para anggota Dewan Kota Surga sahut menyahut. Ada Sembilan orang anggota Dewan Kota Surga dan semua memandang tajam pada Rubino.
“Maaf! Saya bilang tadi ini rencana penyelematan. Ini sangat penting dan menyangkut masa depan Surga. Saya tidak mau rencana ini bocor ke pihak lain,” Rubino menjelaskan dengan suara datar.
“Jadi Anda menganggap kami akan membocorkan rahasia ini. Sudah puluhan tahun saya menjadi anggota Dewan Kota Surga ini, tak ada satupun rahasia yang bocor keluar,” ujar seorang anggota Dewan Kota Surga dengan nada emosi.
“Ya, kita semua punya maksud yang sama untuk menyelematkan Surga. Saudara Rubino seharusnya tak perlu curiga dengan peserta rapat ini,” tambah Tuan Ali Akbar yang menjadi pimpinan rapat.
Munirah menatap tajam pada Rubino yang duduk di samping kanannya. Ia sudah tahu rencana apa yang dibuat pembantunya itu. Namun, masih ada keraguan dalam hatinya untuk menyetujui Rubino mengungkapkan rencana itu dalam rapat ini. Rubino melirik ke Munirah. Ia meminta persetujuan pada atasannya itu. Munirah menggeleng. Rubino paham maksudnya.
Tuan Ali Akbar, sebagai Ketua Dewan Kota Surga memang sudah memberi peringatan keras. Dewan Kota mengancam jika keadaan Kota Surga tidak berubah dalam waktu tiga bulan, maka, Kantor Urusan Kota Surga akan ditata ulang. Kedudukan Munirah sebagai Kepala Kantor Urusan Kota Surga akan diganti. Bahkan yang lebih mengerikan, Dewan Kota Surga mengancam akan menutup Kota Surga selamanya.
Raut wajah wanita yang layaknya berusia 40 tahunan itu tak bisa menyembunyikan gelisah. Tidurnya tak pernah nyenyak didera persoalan maha dasyat ini. Apalagi tadi malam mimpinya buruk sekali. Munirah teringat mimpinya. Matanya berkaca-kaca ketika memutar rekaman mimpi itu di kepalanya.
Munirah tersadar ketika telepon di mejanya berdering lembut. Tut...tut...tut....
Dipandanginya gagang telepon itu dengan resah. Sinar matahari yang menerobos masuk dari sela-sela jendela biliknya ini menempel di gagang telepon itu.
Langkahnya kemudian terjulur mendekati meja kerja dimana telepon itu terletak menunggu diperhatikan.
“Halo....”
“Maaf, bu. Dewan Kota Surga ingin bertemu ibu segera. Mereka menunggu ibu satu jam lagi,” suara sekretaris pribadinya memberitahu.
“Baik. Saya akan datang.”
Munirah menarik nafas panjang. Ia tahu apa yang akan terjadi dari pertemuan ini. Munirah kemudian duduk di kursinya sambil sedikit merapikan baju kembang-kembang dengan rok selutut yang melekat di tubuhnya. Sebentar kemudian Munirah sudah tenggelam mencermati beberapa surat yang diletakkan sekretaris pribadinya. Setelah meneliti surat-surat itu, Munirah menorehkan tanda tangan.
             Tut...tut....tut....
            Telepon di hadapan Munirah kembali memanggil. Munirah sadar itu merupakan perintah baginya untuk segera menghadiri rapat dengan para anggota Dewan Surga.
            “Maaf, bu....”
            “Ya, katakan saya sedang menuju kesana,” Munirah memotong sebelum sekretaris itu menyelesaikan cakapnya.

            Ketika Munirah masuk ke dalam ruangan rapat Kantor Dewan Kota Surga, perasaan dingin menyergapnya dengan ganas. Pandangan mata sembilan orang anggota Dewan Kota Surga menusuknya tajam.
            Munirah mengambil kursi di salah satu ujung meja berbentuk empat persegi panjang itu. Sedangkan di ujung satunya lagi sudah ditempati oleh Tuan Ali Akbar, Ketua Dewan Kota Surga. Sementara, delapan anggota lainnya duduk di kursi pada kedua sisi meja masing-masing empat anggota.
            Usai Munirah melengkapi duduknya, Tuan Ali Akbar membuka mulut.
            “Baiklah. Rapat tertutup ini kita buka. Dengan berkat Tuhan, rapat ini saya nyatakan tertutup dan tak boleh diketahui umum,” suara Tuan Ali Akbar terdengar bergema di segenap ruangan.    
“Silahkan! Saudari Munirah, apa yang bisa Anda laporkan pada kami, melanjutkan pertemuan kemarin malam?”
            Munirah membuka tumpukan kertas yang dibawanya dari bilik kerjanya. Membalik-balikkan sebuah kertas putih. Matanya kemudian menyapu seluruh peserta rapat ini.
            “Keadaan kita memang semakin memprihatinkan. Kami hanya punya satu rencana untuk dilaporkan pada dewan yang terhormat ini,” kata Munirah.
            “Silahkan. Kami ingin segera mendengarnya.”
            Munirah kemudian memaparkan sebuah rencana penting untuk menyelamatkan Surga. Rencana ini disusun Rubino dan para stafnya. Munirah sejujurnya tak begitu menaruh harapan dengan rekomendasi yang disusun itu. Sejak awal, Munirah telah memperingatkan Rubino untuk meningkatkan cara kerjanya. Terbukti beberapa perencanaan yang telah dibuat menghadapi krisis di Kota Surga ini, tak berjalan lancar. Tetapi menghadapi tekanan keadaan di Kota Surga, ditambah lagi dengan desakan Dewan Kota Surga agar segera disusun rencana darurat menanggulangi keadaan ini, Munirah tak berdaya. Rencana Rubino yang tertuang dalam dokumen rahasia di jarinya dibacakan.      
Setelah panjang lebar, Munirah menjelaskan rencana aksi yang akan dilakukan ini, ketua dan para anggota Dewan kota Surga mulai melontarkan pertanyaan.
            “Apakah kita punya agen yang siap diterjunkan. Saya melihat kita perlu segera mengirimkan agen kita jika memang laporan intelijen itu benar,” ujar seorang anggota Dewan Surga.
            “Ya, kalau memang cuma rencana itu yang kita miliki. Kita harus bergerak cepat,” tambah seorang anggota Dewan Kota Surga lagi.
Munirah seperti mendapatkan angin segar mendapati reaksi para anggota Dewan Kota Surga. Semula dibayangkannya, rencana ini akan ditampik karena dianggap tidak masuk akal.
“Saya segera akan mengirimkan agen terbaik kita jika anggota dewan yang terhormat mengizinkannya,” Munirah menyahut dengan tangkas.
Walaupun begitu sebenarnya tak terbayang olehnya seorang pun agen di Surga yang sanggup melaksanakan tugas ini. Tetapi demi menjaga kelancaran aksi yang telah disusun bahkan hampir disetujui ini, Munirah menyanggupi untuk menyediakan seorang agen handal guna melaksanakan tugas berat ini.
            “Baiklah. Rencana itu tampaknya bisa dilaksanakan segera. Kami ingin Anda segera mengirimkan agen terbaik kita ke Kota Bumi. Dan ingat! Jangan sampai rencana ini bocor kepada orang-orang Kota Neraka itu,” Tuan Ali Akbar, Ketua Dewan Kota Surga berkata tegas setelah berembuk dengan delapan anggota Dewan Kota Surga yang lain.
            Munirah menarik nafas panjang-panjang untuk membuang sedikit keraguannya terhadap rencana ini. Perasaannya seperti terbebas dari himpitan batu gunung yang mengganjal. Persetujuan dari Dewan Kota Surga ini sudah merupakan modal awal baginya untuk bekerja keras agar rencana aksi itu berhasil.
            “Saudari Munirah. Anda dapat segera melaksanakan rencana aksi itu. Demikianlah kesimpulan rapat dengar pendapat Dewan Kota Surga dengan Kantor Urusan Kota Surga. Oleh karena itu rapat ini dinyatakan ditutup. Seluruh hasil pertemuan ini tidak boleh diumumkan kepada umum.” Suara Ketua Dewan Surga kembali bergema. Disusul dengan ketokan palu sebanyak tiga kali.

***
@auliaandri

No comments:

Post a Comment