Kota
Surga
INILAH Kota Surga. Sebuah kota di
ujung garis cahaya. Diisi oleh gedung-gedung berarsitek kuno namun mewah.
Jalan-jalan yang mulus dan bersih serta kota yang selalu bermandikan cahaya
matahari sepanjang masa. Tak heran, para penghuni Kota Surga berwajah terang,
bersinar serta bercahaya. Mereka adalah penduduk pilihan yang selalu tersenyum
dan siap selalu menebar kebajikan.
Inilah Surga. Sebuah kota dimana semua hal di dapat dengan mudah. Budi dan
pertolongan bertebaran disini. Sebuah tempat untuk orang-orang bernikmat.
Sebuah kota dimana kebajikan dibalas dengan kenikmatan. Sebuah kota dimana amal
kebaikan dibalas dengan kebahagiaan. Sebuah kota dimana dendam menjadi tak
punya rasa.
Tengoklah wahai para pengelana, di kota ini rumah-rumah berhalaman luas.
Pohon-pohon rindang disekelilingnya. Mata air firdaus mengalir dan tak pernah
kering di halamannya. Berkenalanlah dengan para penghuninya, disana kalian akan
menemukan para tuan yang ramah lagi tamah.
Lihatlah lelaki-lelaki tampan nan perkasa yang menjadi imam di setiap
mereka memuja Tuhannya, yang kaya, yang berbudi baik dan halus pekertinya. Liriklah
para perempuannya yang berparas jelita bagai bidadari. Para perempuan yang
perawan walaupun mereka telah bermuhrim. Perempuan-perempuan yang selalu
menjaga aurat dan kesuciannya untuk suami-suami mereka. Perempuan yang bercadar
namun kecantikannya menembus batas-batas kain penutup itu karena cahaya
imannya.
Kalian tengok juga di kota ini, dimana semua keinginan ras diwujudkan
dengan mudah. Tak menunggu diucapkan, karena begitu terbetik di hati, maka
jadilah apa yang dimaui itu. Tanpa jeda. Tanpa perantara. Amboi…
Susurilah jalan-jalan di kota ini, kalian tak akan menemukan gelandangan
atau pengemis. Orang-orang disana akan selalu siap mendermakan hartanya, memelihara para anak
yatim, mengurusi kaum yang lemah. Tak kan kalian dengar erangan meminta bantuan
uang receh. Tak kan kalian lihat kesusahan membelenggu disana. Kemustahilan
menjadi kenicayaan disana.
Inilah kota tempat berkumpul. Dimana kesuyian yang menghanyutkan itu telah
menenggelamkan suara-suara. Tak ada bising disini. Tak ada kericuhan disini. Tak
ada antrian atau kemacetan yang memecahkan isi kepala. Semua hidup dalam damai
yang mendamaikan hati. Angkara murka tak berlaku disini. Penistaan tak digubris
disini.
Akhirnya, inilah sebuah kota yang rasti mati karena sekarat didera krisis
ekonomi. Sebuah kota yang sebentar lagi bangkrut karena tak ada lagi yang
bersedia menghuninya. Cerita tentang kemegahan dan kemasyuran Kota Surga yang
terceritakan diatas adalah sebuah dongeng. Kini, Kota Surga adalah sebuah
kesuraman. Semuanya, memang masih ada disana. Kota itu masih berdiri, namun
kini sepi. Populasi kota menurun drastis sejak 15 tahun terakhir ini. Kini,
ancaman terbesar kota ini adalah kesepian. Kesepian yang sebenarnya. Kesepian
yang akan merenggutnya menjadi sebuah legenda dan dan tenggelam seperti
Atlantis. Negeri yang hilang dari peradaban!
*****
GEDUNG berlantai 100 itu berdiri tegak, menjulang di pusat Kota Surga.
Letaknya tepat di depan sebelah timur alun-alun selebar 500 m2. Di alun-alun
itu biasanya para warga kota berkumpul merayakan hari jadi Kota Surga, setiap
tahun. Di depan gedung berarsitektur romawi kuno itu terpahat prasasti batu
yang bertuliskan “Kantor Urusan Kota Surga”. Di belakang prasati itu,
terpancang sembilan pilar besar yang menjulang keatas hingga ke lantai paling
tinggi. Kantor ini tampak kusam. Cat-cat yang melapisi pilar-pilar itu mulai
terkelupas. Bahkan ada sebuah pilar yang cat-nya sudah hilang, karena sering
dipegang atau dijadikan sandaran oleh orang-orang. Selain pilar-pilar itu,
warna putih yang melingkupi kantor ini juga tak jauh berbeda kondisinya. Semua
kusam. Namun begitu, kantor ini masih tampak bersih dan asri. Tak ada pagar
yang melindungi kantor ini karena memang langsung berbatasan dengan alun-alun.
Hanya seruas jalan yang memisahkan antara kantor dan alun-alun.
Sementara itu, diujung barat alun-alun juga berdiri sebuah gedung berkubah.
Disanalah, Kantor Dewan Kota Surga. Para wakil penduduk Kota Surga berkumpul
disana menyusun peraturan kota. Kondisinya pun tak jauh berbeda. Kubahnya yang
dulu bersinar oleh cahaya putih tertimpa matahari, kini berwarna abu-abu. Warna
putihnya nyaris hilang. Sedangkan dibagian Utara dan Selatan alun-alun berdiri
gedung-gedung milik swasta yang dipakai sebagai hotel dan perkantoran. Hotel
Asri yang berdiri di sebelah selatan, kondisi menyedihkan. Sudah sejak tiga
tahun ini, tamu-tamu yang menginap disana jumlahnya sangat sedikit. Tak ada
yang berkunjung lagi ke kota ini. Tak ada lagi yang menginap di hotel yang
indah itu.
Di sebelah Utara, gedung perkantoran yang berlapis kaca namun tetap
berarsitektur kuno, juga tak terawat. Para pekerja disana sejak lama tak lagi
datang ke kantor. Tak ada lagi para pria berpantalon dan jas resmi. Tak ada
lagi para perempuan cantik yang menjadi sekretaris di perusahaan di kantor itu.
Perusahaan-perusahaan yang berkantor disana sudah tutup sejak lama. Arus
perdagangan ekspor dan impor sudah lama terhenti. Kegiatan perdagangan dan
keuangan terpuruk.
@auliandri
No comments:
Post a Comment