Friday, 27 June 2014

Bang Teguh dan DKPP


Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Ketua Panwas Medan, Teguh Satya Wira, tanggal 24 Juni 2014. Berita itu saya dapatkan ketika saya sedang mengikuti Rakernis Pengawasan Logistik, Pemungutan dan Perhitungan Suara serta Rekapitulasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, 23-25 Juni 2014. Hati saya langsung teriris mendengar kabar itu. Teguh, atau bang Teguh merupakan senior saya yang kebetulan menjadi ketua Panwas Kota Medan di Pileg dan Pilpres 2014.

Apa yang dialami Bang Teguh tentunya menarik perhatian banyak orang. Saya langsung menelepon Bang Teguh, dan menyatakan prihatin ketika mendapat kabar itu. Tak lama setelah itu, teman-teman Panwas dari berbagai kabupaten/kota di Sumut juga menghubungi saya mengkonfirmasi soal pemberhentian Bang Teguh itu.

Malam ini, saya merenung-merenung sendiri mengenai apa yang dialami Bang Teguh. Para penyelenggara pemilu seperti Bang Teguh atau saya memang menjadi "objek" pengawasan etika bagi DKPP. Ancaman pemberhentian oleh DKPP memang menjadi momok paling menakutkan bagi siapapun penyelenggara pemilu di Indonesia yang melanggar etika penyelenggara pemilu.

DKPP memang lembaga "super power" yang bukan hanya bisa menjewer telinga penyelenggara pemilu, namun bisa sampai menentukan nasib "kami". Prinsip penegakan etika yang dibangun DKPP menurut saya harus didukung untuk menjaga netralitas, imparsialitas dan independensi seorang penyelenggara pemilu.

Saya sama sekali tak menyalahkan DKPP dengan semua keputusannya. Memang harus diakui, bahwa tak semua juga keputusan DKPP menyenangkan (baca: bisa dipahami). Untuk kasus Bang Teguh, saya memang terpengaruh hubungan emosional. Sementara untuk kasus-kasus DKPP yang lain, saya memang cenderung setuju.

Cerita seorang penyelenggara pemilu yang dipecat oleh DKPP karena kesalahannya, bak menjadi bumbu penyedap dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Bayangkanlah, saya pernah mendengar, seorang penyelenggara pemilu yang baru diberhentikan DKPP lantas sangat plong. Cerita itu saya dapat dari seorang anggota DKPP, Nur Hidayat Sardini. Ceritanya, ada seorang penyelenggara pemilu di kawasan Indonesia Timur yang diberhentikan DKPP karena alasan yang bersangkutan menghadiri pesta adat di kampungnya yang diadakan pasangan calon (paslon) yang bertanding di Pemilukada. Si penyelenggara ini diindikasikan tidak netral dan berpihak karena menghadiri acara tersebut. Apa boleh buat, DKPP kemudian memberhentikan si penyelenggara pemilu. Lantas, apa reaksi si penyelenggara pemilu? Ia malah berterimakasih karena sudah bisa bebas untuk menjadi masyarakat biasa. Saya masih ingat, bagaimana Mas Nur menceritakan bahwa si penyelenggara pemilu itu berterimakasih pada DKPP karena menurutnya, menghadiri acara adat di kampungnya itu lebih penting ketimbang dibuang dari masyarakat adatnya. Kedudukannya sebagai penyelenggara pemilu membuat ia merasa dikucilkan dari masyarakat adatnya.

Cerita lain yang saya dapatkan soal penyelenggara pemilu yang diberhentikan oleh DKPP adalah bagaimana si penyelenggara pemilu itu kemudian langsung bisa menunjukkan "penghasilannya" selama menjadi penyelenggara pemilu.

Selama jadi penyelenggara pemilu, ia mengatakan pada saya, tak bisa atau tak berani membeli mobil. Katanya takut disangka pemberian dari caleg. Nah, usai diberhentikan dari penyelenggara pemilu oleh DKPP, ia kemudian bersiap menuju showroom mobil untuk membeli mobil baru. Halah!

DKPP sejatinya tentu menjadi moral guard bagi seluruh penyelenggara pemilu. Lembaga yang dibentuk dengan niat suci serta keinginan menjaga penyelenggara pemilu bisa ajeg dalam menjalankan tugasnya, tentu patut didukung. Kesadaran inilah yang menjadi pemikiran bagi saya untuk merenung terkait keputusan DKPP memberhentikan Bang Teguh.

Hingga menjelang saya tertidur, saya masih juga memikirkan keputusan DKPP itu. Saya membayangkan kesedihan di raut wajah Bang Teguh. Saya membayangkan kepenatan yang pernah terlukis di wajahnya ketika kami harus bergadang sampai jam 3 pagi untuk menjalankan tugas negara ini, mengawal pemilu. Saya membayangkan kesedihan di sanubari isteri Bang Teguh, yang mendapati suaminya diberhentikan sebagai penyelenggara pemilu. Ah, saya membayangkan juga bagaimana nasib rekan-rekan saya para penyelenggara pemilu yang selama ini bekerja tak kenal waktu demi tugas yang mereka emban.

Dan tiba-tiba saja saya mendapati wajah Bang Teguh yang tersenyum. Dengan suaranya yang parau dan khas, ia mendapati saya dengan kegembiraan. Ia bilang begini,"Keputusan DKPP sudah dianulir untuk saya. Saya dinyatakan tidak bersalah. Sekarang saya akan mundur sebagai anggota Panwas Kota Medan. Sesuai janji saya,"

Saya tersenyum bahagia. Saya berteriak gembira sambil melonjak-lonjak kegirangan. Ternyata DKPP mau menganulir keputusannya memberhentikan Bang Teguh. Saya bersyukur, karena Bang Teguh bisa tersenyum.

Lalu, sebuah irama berdering di telinga saya, bunyinya melengking mirip alarm. Tangan saya refleks menuju arah bunyi itu. Ah, alarm di blackberry saya berbunyi menunjukkan pukul 6 pagi. Saya terbangun. Astaga, ternyata tadi hanya mimpi. Saya kemudian masih terduduk di tepi ranjang sambil memikirkan raut kesedihan di wajah Bang Teguh.

Medan 27 Juni 2014


No comments:

Post a Comment