Sunday, 8 December 2013

Uluwatu dan Romantisme Senja

Memandangi surya tenggelam di peraduannya, 
aku nikmati Uluwatu dengan kecintaan. 
Bukan pada alam yang membentuknya indah, 
tetapi pada sang pencipta yang memanggilku kesana. 
Dari puncak koleseum kunikmati tari Kecak nan magis itu. 
Menikmati cinta Rama dan Sinta bersemi. 
Melihat kedurjanaan Rahwana.
 Mengagumi kesaktian Hanoman.

Pada senja sore itu, kuresapi hidup ini akan terus bergulir. 
Tepian samudera yang terbentang di sana sudah berwarna kuning. 
Matahari tinggal separuhnya. 
Kubiarkan diriku dijilati sinarnya. 
Kutenggelamkan segenap jiwa ke samudera itu, 
untuk menemukan bahwa aku bukanlah apa-apa. 
Karena aku bukanlah siapa-siapa, tanpa cinta itu!


Anda sudah pernah ke Uluwatu? Jangan bilang anda pernah ke Bali, jika belum singgah kesana. Pura Uluwatu berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Badung. Pura ini berdiri megah di ketinggian 97 meter di atas permukaan laut berpijak pada anjungan batu karang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut, di ujung barat daya pulau Bali.

Ketika, kaki saya menginjak di depan Pura Uluwatu, aroma magis nan sakral langsung bertebaran. Ada aroma kesucian yang terbangun secara ketat disana. Lihatlah, sebelum memasuki kawasan pura, penjaga pura akan memberikan kain selendang untuk dikenakan di pinggang. Bagi anda yang berpakaian pendek di atas lutut, gak perlu khawatir, para penjaga pura akan meminjamkan sehelai kain untuk dipakai serupa sarung. Untuk ikat pinggang akan diberi kain berwarna kuning. Sementara untuk kain yang dijadikan sarung diberi warna ungu. Entah kenapa harus kedua warna ini. Saya tak sempat bertanya soal warna pada para penjaga pura itu. Tetapi, dikenakannya sarung berwarna ungu dan ikat pinggang berwarna kuning itu, jelas merupakan bentuk rasa hormat saat berada di tempat ibadah masyarakat Hindu Bali ini.

Memasuki kawasan pura, saya dan para wisatawan lain disambut rombongan para monyet. Monyet-monyet itu tak mengganggu, para wisatawan. Mereka cuma mengharapkan makanan berupa pisang yang diberikan oleh para wisatawan. Makin masuk ke kawasan pura, maka semakin banyak monyet yang ada di sekitar halaman Pura Uluwatu. Saya kemudian menginjakkan kaki di halaman dalam pura. Aneh, tak seekor pun monyet yang tadi berjumlah ratusan ada di sekitar halaman dalam pura. Ini yang saya sebut tadi aroma magis dan sakral. Bahkan rombongan monyet itu seolah mengerti untuk tidak masuk di halaman dalam Pura Uluwatu ini.

Capek melihat-lihat keadaan pura, saya kemudian menjumpai adanya pertunjukan Tari Kecak. Kata seorang guide yang saya tanya, Tari Kecak baru akan dilaksanakan menjelang senja. Ah, ini tentu eksotis. Menyaksikan Tari Kecak, dibawah temaram senja Pura Uluwatu. Indah bukan!

Tari Kecak di Pura Uluwatu bisa disaksikan di sebuah koleseum. Saya menyebutnya begitu, karena bentuknya mirip koleseum tanpa atap jaman Yunani dulu. Dilatarbelakangi langit senja di laut Samudra Hindia, suasana magis, sakral dan tentu saja romantis melengkapi pertunjukan Tari Kecak itu.

Untuk menyaksikan Tari Kecak, saya harus membayar Rp 70 ribu. Awalnya saya berpikir, tak banyak yang menonton pertunjukan Tari Kecak ini. Ternyata, saya salah. Ada sekitar 1000 orang yang ikut menonton pertunjukan sore itu. Saya terpana. Ini merupakan pertunjukan kolosal tradisional yang menjadi komoditas. Saya teringat, apakah mungkin, Tari Serampang Dua Belas bisa ditonton orang sebanyak ini. Apalagi pertunjukan Tari Kecak ini ditayangkan setiap hari. Luar biasa!

Eh, cerita soal Tari Kecaknya, cari aja sendiri di google. Kalau sempat nanti saya tulis. Kalau nggak, ya cari sendiri ya. Terimakasih.  


7 Desember 2013

No comments:

Post a Comment