Di Medan, idiom "Ketua" menjadi idiom yang paling banyak diucapkan. Tengoklah contoh seorang tukang parkir ketika menerima uang bayaran parkir dari saya, bisa mengucapakan kata,"terimakasih, Ketua!". Tengok juga bagaimana seorang pengemis di tepi jalan menerima infaq juga mengucapkan kata,"terimakasih,Ketua!".
Saya seringkali risih mendengar idiom "ketua" ini. Bukan apa-apa, saya langsung bertanya, memangnya saya ini ketua apa ya? Lho saya juga merasa gak pernah merasa jadi ketua organisasi tukang parkir, misalnya. Atau menjadi ketua para pengemis. Hadeuh.
Namun, idiom "ketua" ini saya pahami sebagai ungkapan eufemisme (penghalusan bahasa). Panggilan ketua, tentu saja untuk menunjukkan rasa hormat seseorang pada orang lain. Staf saya yang lebih tua, juga misalnya, sungkan memanggil nama saya. Jadi ia memilih idiom "ketua" untuk memanggil diri saya. Padahal, saya sudah bilang berkali-kali, panggillah saya dengan nama lahir saya saja.
Cerita tentang idiom "ketua" ini mengingatkan saya pada kisah seorang teman kepada saya. Begini ceritanya, di Tanjung Balai, sebuah kota yang berjarak sekitar 4 jam dari Kota Medan, ada seorang uwak-uwak yang menjual monyet. Uwak Uteh, sebut saja namanya begitu memajang tiga ekor monyet miliknya di tepi jembatan Sungai Silau. Tak lama menggelar dagangannya, seorang pembeli menghampir wak Uteh. Terjadi dialog diantara mereka.
Pembeli : Berapa harga monyet ini, wak?
Wak Uteh : Yang mana?
Pembeli : Yang sebelah kiri.
Wak Uteh: Oh, kalau itu harganya 1 juta. Tengoklah, itu monyet masih muda, sehat dan lincah.
Pembeli: Wah mahal kali, wak. Kalau yang sebelah kanan?
Wak Uteh: Kalau itu harganya lebih murah. Itu kujual 500 ribu saja.
Pembeli: Loh kok murah?
Wak Uteh: Itu monyet sudah tua. Sering sakit-sakitan. Malas juga dia kalau disuruh kerja.
Pembeli: Oh monyet sakit nya itu. Kalau yang ditengah berapa harganya wak?
Wak Uteh dan si pembeli sama-sama mengamati monyet yang diapit temannya itu. Monyet yang ditengah itu sudah tampak paling tua. Bulu-bulu di kepalanya sudah rontok. Kakinya pun sudah pengkor sebelah.
Wak Uteh: (sambil berbisik) Kalau itu harganya 3 juta.
Pembeli: Hahhh....mahal kali wak (sambil berbisik juga).
Wak Uteh: Iya, cemanalah. Yang ditengah itu selalu dipanggil Ketua sama yang dua lagi, makanya harganya mahal (masih berbisik).
Pembeli: Oh.......
Kisah penjual monyet yang menyebut idiom "ketua" untuk monyet tertua yang dijualnya itu membuat saya ketawa terpingkal-pingkal. Jadi setiap orang yang memanggil ketua pada saya, terus terang ingatan saya langsung tertuju ke cerita penjual monyet itu. Itulah yang kemudian alasan saya, tak suka dipanggil ketua. Saya kok ya merasa jadi ketua para monyet jika dipanggil dengan idiom "ketua" itu.
Eh, pagi ini, ketika mengirim sms ke teman-teman pengawas pemilu di Sumut, untuk sekedar silaturahmi dan ingatkan pekerjaan, hampir semuanya membalas dengan jawaban serupa. "Siap Ketuaaaaaaaa!!!"
Hajablah!!!
Medan, 12 Desember 2013
No comments:
Post a Comment