Menghadapi Pemilu 2014 ini, sebagai pengawas pemilu, saya sering mendapat lontaran pertanyaan sederhana namun agak sulit dipahami para calon anggota legislatif. "Bagaimana ya memahami prilaku pemilih?" Karena banyaknya pertanyaan soal ini, saya kemudian ingin menulis saja soal prilaku pemilih ini, dan mudah-mudahan bisa membantu kita semua membangun pemilu yang beradab.
Dalam kajian ilmu komunikasi, setidaknya ada tiga faktor yang harus diperhatikan untuk memahami perilaku pemilih. Faktor-faktor itu adalah: sosiologis, psikologis dan rasional (Sugiono, 2005). Ketiga faktor ini saya yakini, bisa menjelaskan strategi komunikasi yang efektif dalam memahami prilaku pemilih dalam Pemilu 2014.
Faktor sosiologis bisa dipahami bahwa prilaku pemilih berorientasi pada budaya, agama dan sosial. Beberapa penelitian seperti yang dilakukan Lipset (dalam Sherman dan Kolker, 1987) menunjukkan adanya hubungan agama dengan kecenderungan seseorang memberikan pilihannya. Faktor ini pun sebenarnya sangat gamblang terjadi di Indonesia. Lihat saja, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang (dulunya) berbasis organisasi kemasyarakatan Nadhlatul Ulama bisa meraih jumlah suara yang cukup banyak dalam pemilu.
Faktor lainnya adalah faktor psikologis. Faktor ini secara tegas menyebutkan bahwa pada dasarnya kecenderungan pemilih untuk memberikan suaranya sangat dipengaruhi sikap dan sosialisasi. Proses penyampaian sikap dan sosialisasi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya, pemilih bisa dipengaruhi oleh prilaku politik orang tua, kelompok acuan, kelompok pekerja, kelompok kebudayaan, dan lain-lain.
Dan yang ketiga faktor rasional. Nursal (2004) menjelaskan faktor rasional bermuara pada kesimpulan bahwa pemilih selalu bersikap rasional. Para pemilih melakukan “penilaian” yang selektif terhadap tawaran dari seorang calon anggota legislatif. Pemilih yang memberikan pilihan pada seorang calon anggota legislatif akan melandasi pilihannya pada pertimbangan-pertimbangan dan alasan yang logis. Memahami ketiga faktor prilaku pemilih ini penting agar para calon anggota legislatif tidak terperosok melakukan strategi komunikasi yang tidak efektif.
Namun pertanyaanya, bagaimana melakukan komunikasi yang efektif guna “menjual” seorang calon anggota legislatif di Pemilu 2014? Newman (1999) dalam buku The Mass Marketing of Politics, Democracy in Age of Manufacturer menyatakan bahwa setiap individu dalam perannya sebagai pemilih, selalu berusaha untuk melihat sang kandidat secara utuh.
Dalam bukunya yang lain Newman (1985) juga menjelaskan bahwa individu dalam perannya sebagai pemilih dipengaruhi oleh tujuh domain kognitif. Pertama, program dan kebijakan publik. Seorang calon anggota legislatif akan dinilai oleh pemilih melalui program dan kebijakan publik yang dijanjikannya jika kelak menjadi legislator. Program dan kebijakan publik itu termasuk didalamnya bidang ekonomi, hukum, budaya, dan sosial. Kedua, citra sosial adalah citra seorang calon anggota legislatif dalam pikiran pemilih mengenai berada dalam posisi apa, tergolong kelompok sosial mana dan partai politik apa yang mengusungnya menjadi calon anggota legislatif.
Ketiga, perasaan, dimana pemilih akan memberikan penilaian terhadap prilaku atau pun aktivitas sang calon anggota legislatif dalam memberikan pendapatnya terhadap sebuah peristiwa. Keempat, karakter yang bisa dinilai sebagai sifat-sifat personal dari seorang calon anggota legislatif. Kelima, peristiwa mutakhir (current event/affair) yang meliputi isu, kegiatan, dan kebijakan sang calon anggota legislatif menjelang pelaksanaan pemungutan suara. Keenam, peristiwa personal (personal event) dimana pemilih akan memberikan penilaiannya terhadap jalinan kehidupan sang calon anggota legislatif. Seperti apakah sang calon anggota legislatif seorang tokoh agama, birokrat, atau pengusaha. Ketujuh, isu-isu, adalah aktivitas yang dilakukan dengan cermat untuk memancing keingintahuan pemilih terhadap sang calon anggota legislatif. Pemilihan isu yang tepat akan membuat pemilih mengenal sosok calon anggota legislatif sebagai figur yang benar-benar bisa diandalkan memecahkan persoalan publik.
Sistem Pemilu 2014 yang kini telah berubah menjadi sangat demokratis, dimana rakyat diberikan kebebasan untuk memilih langsung, tak hanya parpol saja, tentu menjadi tantangan berat. Dengan memahami prilaku pemilih, menurut saya akan bisa membantu para calon anggota legislatif membangun strategi komunikasi yang efektif.
1 Desember 2013
No comments:
Post a Comment