tulisan lawas mengenai KPU.
---------------------------
Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat heboh republik ini karena persoalan logistik Pemilu 2004. Pemerintah pun was-was hingga harus menyiapkan peraturan pengganti undang-undang (perpu) guna mengantisipasi molornya waktu pelaksanaan pemungutan suara yang direncanakan 5 April mendatang. Namun tarik ulur apakah perlu atau tidak mengeluarkan perpu masih tetap terjadi. KPU tampaknya sejak awal memang tak berniat untuk meminta bantuan pemerintah guna mengeluarkan perpu. Alasannya, ketersediaan logistik pemilu diyakini akan tiba tepat waktu.
Namun ketika memasuki deadline logistik pemilu harus sampai 10 hari menjelang hari pemungutan suara, KPU sedikit begeming. Ketua KPU Nazaruddin Syamsuddin mengisyaratkan perlunya diterbitkan perpu. Hal ini karena dalam UU No 12/2003 tentang Pemilu pada pasal 45 ayat 3 disebutkan sepuluh hari menjelang pemungutan suara, logistik pemilu harus sudah sampai di panitia pemungutan suara. Isyarat KPU kepada pemerintah untuk mengeluarkan perpu ini tiba-tiba dibantah lagi. Intinya KPU tetap merasa yakin pemilu tetap dapat diselenggarakan sesuai jadwal walapun dengan ketersediaan logistik yang belum merata di semua tempat pemungutan suara di seluruh Indonesia .
Dalam tulisan ini pembahasan masalah sikap KPU ini akan diarahkan pada pemikiran teori komunikasi. Secara teoritik, KPU telah menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU berhak untuk membuat keputusan yang didasari oleh rapat pleno KPU yang diatur dalam UU No 12/2003. Pleno KPU-lah yang dianggap sebagai keputusan tertinggi yang menentukan tepat atau tidaknya Pemilu 2004 dilaksanakan 5 April.
Cara kerja KPU dan kontroversi keputusan yang dihasilkannya ini dapat dilihat dari sudut pandang ilmu komunikasi dalam sebuah sub-nya yang membahas mengenai komunikasi kelompok. Komunikasi kelompok adalah interaksi tatap muka dari tiga atau lebih individu guna memperoleh maksud atau tujuan yang dikehendaki seperti berbagi informasi, pemeliharaan diri atau pemecahan masalah sehingga semua anggota dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya dengan akurat.
Dari pengertian ini jelas bahwa apa yang dilakukan KPU merupakan sebuah komunikasi kelompok. Atau kalau dikaitkan dalam disiplin ilmu politik, KPU telah melakukan sebuah kegiatan komunikasi politik kelompok. Pengertian diatas dapat ditarik sebuah benang merah bahwa apapun yang dihasilkan oleh KPU merupakan hasil pemikiran komunikasi kelompok. Maka itu, dapat disimpulkan berbagai ketetapan dan keputusan politik yang dihasilkan pemerintahannya merupakan murni sebagai hasil “berpikir kelompok” (groupthink). Masalah “berpikir kelompok” inilah yang akan dibahas pada tulisan ini.
Mencermati fenomena cara “berpikir kelompok” dan keputusan KPU dalam menjamin terselenggaranya Pemilu 2004 dengan lancar, ada baiknya merujuk pada apa yang telah terjadi di Amerika. Sejarah telah mencatat bagaimana pemerintahan Presiden Ronald Reagen selama delapan tahun kekuasannya (1981-1989) melakukan kekeliruan dengan menjual senjata secara ilegal ke Iran. Hasil penjualan senjata tersebut yang diperkirakan berjumlah 30 juta dollar AS kemudian dikirim pada pemberontak dukungan AS di Nicaragua. Namun kasus ini menuai kecaman dari berbagai pihak.
Lihat juga apa yang dilakukan pemerintahan Presiden John F Kennedy dalam peristiwa invasi Teluk Babi (Bay of Pigs) terhadap Kuba tahun 1961. Lalu tengok juga skandal Watergate yang dilakukan pemerintahan Presiden Richard Nixon yang kemudian terpaksa turun dari kursi presiden karena di impeach oleh Senat AS.
Jannis seperti dikutip Djamaluddin (2000:113), menyimpulkan bahwa Kennedy, Nixon dan Reagen beserta kelompoknya, telah menjadi mangsa suatu fenomena sosial yang bernama cara “berpikir kelompok”. Sebenarnya, peringatan terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh tiga presiden AS tersebut sebenarnya sudah diberikan. Tetapi, bak kata pepatah; Anjing menggonggong kafilah berlalu.
*****
Istilah cara “berpikir kelompok” pertama kali dikemukakan oleh Irving Jannis dalam bukunya Victim of Groupthink (1972). Ia menyebutkan groupthink sebagai suatu mode berpikir sekelompok orang yang mengalami kemerosotan efisiensi mental, pengujian realitas dan penilaian moral yang disebabkan tekanan-tekanan kelompok.
Jannis menguraikan bahwa groupthink ditandai dengan beberapa gejala, yakni; ilusi kekebalan, yang merupakan optimisme berlebihan; rasionalisasi atas tindakan yang diputuskan; keyakinan atas superioritas moral kelompok; stereotip terhadap kelompok-kelompok luar (kelompok yang disebut musuh atau saingan); tekanan langsung dari anggota yang berbeda pandangan; serta munculnya pembela-pembela keputusan (mindguards).
Kembali pada pembicaraan KPU dan keputusan-keputusan yang diambilnya terkait dengan penyelenggaraan pemilu, dari beberapa gejala yang dipaparkan Jannis, dapat disimpulkan bahwa KPU juga sudah “kerasukan” cara “berpikir kelompok” ini.
Lihat saja, Ketua KPU Nazaruddin Syamsuddin seolah mempunyai ilusi kekebalan, yang berimplikasi terhadap optimisme berlebihan. Mereka (KPU) selalu beranggapan bahwa ketersediaan logistik hanya terkendala di beberapa daerah. Dan hal ini dianggap tidak relevan dipersoalkan. Padahal, ketersediaan logistik seperti surat suara, formulir penghitungan suara, tinta sidik jari dan kartu pemilih merupakan hal yang sangat vital. Selain itu KPU juga terkesan menganggap remeh UU No 12/2003 yang mensyaratkan 10 hari sebelum pemungutan suara, logistik pemilu harus sudah tiba di tempat pemungutan suara (TPS). Kesan ini muncul dengan adanya interpretasi terhadap pasal 45 ayat 3 tersebut bahwa deadline 10 hari itu sebelum pemungutan suara itu hanya sebagai acuan dasar. Jika menelisik dari semangat dibuatnya pasal 45 ayat 3 tersebut ada pesan yang ditangkap bahwa para pembuat UU menginginkan; pertama, pemilu berjalan serentak tanpa kendala logistik; kedua, adanya waktu yang cukup untuk melakukan persiapan di TPS; ketiga, jaminan keamanan dan keselamatan logistik pemilu untuk melaksanakan pemilu yang jujur dan adil.
Selain itu ada hal yang patut disesalkan dari sikap KPU selama ini yakni stereotip terhadap kelompok-kelompok luar yang memberi kritikan. Mereka (KPU) beranggapan telah melakukan hal yang benar dan bersikap seolah-olah mereka adalah agen-agen kebajikan yang berjuang untuk melaksanakan pemilu yang jujur, bersih, adil dan demokratis. Walaupun memang benar bahwa KPU merupakan suatu alat negara yang dipercaya untuk menyelenggarakan pemilu, tetapi tidak lantas bisa tertutup dan seenaknya melanggar peraturan yang ada.
Menutup tulisan ini, KPU memang bisa saja menggunakan cara “bepikir kelompok” karena cara ini masih tetap diperlukan. Tetapi bukan pada pembahasan hal-hal krusial seperti penyelenggaraan pemilu yang berimplikasi pada pelanggaran peraturan perundang-undangan. Akhir kata, KPU harus segera menyadari bahwa mereka telah terjebak dalam sebuah fenomena komunikasi. Jika tidak, bersiap-siaplah, KPU tidak akan bernasib lebih baik ketimbang tiga presiden Amerika Serikat di atas. Bahkan lebih buruk, karena Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra sudah memperingatkan jika KPU gagal menyelenggarakan pemilu sesuai jadwal yang sudah ditetapkan, ia akan memenjarakan seluruh anggota KPU. Semoga saja hal ini tidak terjadi.
Jakarta 1 April 2004
Aulia Andri, Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia, Jakarta
No comments:
Post a Comment