Tuesday, 17 December 2013

Kelas Menengah dan Partisipasi Pemilu


Ketika melakukan diskusi dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang diselenggarakan Panwaslu Kota Medan, 16 Desember 2013, saya (lagi-lagi) mendapati sikap pesimis soal pemilu dan demokrasi di Indonesia. Teman saya, Majdah El Muhtaz, dosen Universitas Negeri Medan (Unimed) yang turut menjadi pembicara mengemukakan dengan keras pendapatnya soal pemilu yang belum bisa menghasilkan kepemimpinan politik, seperti yang diharapkan publik secara luas. Majdah dan hampir seluruh audiens di acara itu, mengkritisi persoalan rendahnya partisipasi publik dalam pemilu. Apa yang dikatakan Majdah dan para audiens boleh jadi betul dan benar terjadi. Namun, tentu kita harus lihat dulu akar persoalannya. 

Saya berpendapat, persoalan partispasi publik dalam pemilu lebih disebabkan tidak acuhnya masyakat kelas menengah. Hal ini karena, masyarakat kelas menengah di Indonesia, sedang menikmati zona aman, pasca krisis ekonomi di Indonesia. Lihatlah, partisipasi politik masyarakat kelas menengah sejak Pemilu 2004 dan 2009 semakin menurun.

Padahal, jumlah masyarakat yang masuk dalam kategori kelas menengah terus bertambah. Logika sederhana adalah, jika masyarakat kelas menengah bertambah, maka demokrasi akan semakin baik. Sejatinya, pesta demokrasi dalam bentuk pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah, sudah terbukti menjadi bagian yang mendorong peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah ini. Terjadi laju peningkatan perekonomian karena proses-proses politik dalam bentuk pemilu. Sektor riil menjadi hidup. Namun yang patut disesalkan, meningkatnya jumlah kelas menengah tidak diiringi dengan kebangkitan kesadaran untuk mendukung sistem demokrasi.

Maka itu, kebangkitan kesadaran politik kelas menengah mutlak diperlukan untuk memperbaiki kualitas pemilu. Antitesanya sederhana, sikap negatif kelas menengah terhadap pemilu tentu akan berkontribusi terhadap terpilihnya pemimpin yang tidak kredibel.

Lihatlah, pemilukada di DKI Jakarta. Saya sangat yakin, suksesnya pasangan Jokowi-Ahok karena didukung masyarakat kelas menengah yang kini menjadi mayoritas di Jakarta. Jokowi-Ahok tentu menjadi pembenaran, bahwa kelas menengah saat ini sedang menginginkan perubahan di Jakarta. Lokomotifnya tentu ada ditangan Jokowi-Ahok yang dinilai kelas menengah akan bisa melakukan hal tersebut.

Maka itu, saya mencermati, kini yang paling penting adalah mendorong masyarakat kelas menengah untuk kembali ikut dalam pesta demokrasi ini. Keberhasilan dan capaian yang sudah didapat masyarakat kelas menengah dalam bidang ekonomi, akan lambat laun bisa rubuh jika pemilu tidak menghasilkan kepemimpinan yang cakap dan kredibel. Yakinlah!

Medan, 17 Desember 2013

No comments:

Post a Comment