Friday, 6 December 2013

Embargo APK Caleg

Usai mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) Bawaslu RI tentang Pengawasan Logistik Pemilu, 1-3 Desember 2013 di Jakarta, saya iseng untuk jalan-jalan ke Bali. Niat semula sebenarnya hanya ingin keluar dari rutinitas sebagai pengawas pemilu sejak lima bulan terakhir ini.

Begitu mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali, mata saya yang terbiasa awas melihat Alat Peraga Kampanye (APK) para caleg, seperti berkedut-kedut. Pasalnya, sejak keluar dari kawasan bandara, saya hampir tak menemui APK milik caleg bertebaran di sekitar kawasan Denpasar maupun Kuta.

"Luar biasa." Batin saya berkata melihat kondisi Bali menjelang Pemilu 2014 ini. Saya betul-betul iri melihat kondisi di Bali yang tidak semrawut dengan APK caleg. Ketika saya bertanya pada supir taksi, saya mendapatkan jawaban tak acuh. "Disini yang penting bisnis, pak. Gak ngerti saya soal caleg-cale itu," kata supir taksi yang saya tanyai.

Meskipun minim APK caleg, saya memang masih menemui di beberapa sudut gang di sekitar Denpasar, ada caleg yang memasang APK-nya. Bentuknya dalam ukuran baleho sekitar 2x3 meter. Hasil amatan saya, para caleg yang memasang APK, kebanyakan dari partai berwarna merah yang selama ini memang dikenal "menguasai" Bali.

Soal APK yang dipasang di billboard atau baleho berbayar, saya sama sekali tak berhasil menemukannya. Tak seperti di Medan, tiang-tiang reklame dipadati iklan politik para caleg yang memajang fotonya sambil tersenyum. Di Bali, hal yang berbeda saya temui. Bahkan, saya mencoba mencari-cari mana tahu ada wajah Gubernur Bali, Made Mangkupastika di tiang-tiang reklame itu. Hasilnya pun nihil. Saya tersenyum sendiri mengingat betapa narsisnya para pejabat publik semacam gubernur atau walikota di Sumatera Utara. Lagi-lagi kenyataan kontras saya temui. Jika di Sumatera Utara, hampir dengan mudah didapati wajah sang gubernur, maka di Bali keadaannya terbalik. Ah, saya sampai mengelus dada melihat kenyataan bahwa "syndrome narsis" itu memang sudah akut di tanah kelahiran saya.

Lewat tengah malam, sambil berjalan di trotoar Jalan Legian menuju Pantai Kuta, saya merenung. Apakah karena Bali merupakan daerah tujuan wisata, maka disini, para caleg seolah sadar diri mematut dirinya di APK? Saya kemudian membandingkan suasana di Kota Pematang Siantar yang tak jauh berbeda dengan Medan. Sebagai gerbang menuju kawasan Danau Toba, Kota Siantar bisa dikatakan daerah tujuan wisata. Saya kembali terenyuh. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepala saya. Apa yang salah dengan APK di Sumatera Utara. Para caleg, ramai-ramai melakukan pelanggaran massal dengan berbagai dalih. Ada yang bilang bahwa pemasangan APK dalam bentuk poster tidak dilarang. Ada juga berkilah bahwa memasang APK di becak tak diatur. Lho, ini kan bukan semata-mata soal aturan. Ini soal bagaimana kita membangun sistem pemilu yang adil dan beradab.

Tak terasa, di pertengahan Jalan Legian, tak jauh dari Monumen Bom Bali, saya menemukan sebuah cafe. Namanya asyik; M-Bar-Go. Tiba-tiba saya bersemangat untuk mengatakan pada semua orang, usai pulang dari Bali ini. Ya, kiranya perlu dilakukan embargo atau penghentian sementara (terjemahan bebas saya) terhadap pemasangan APK di Sumut. Tentunya, ya ini atas kesepakatan anda-anda semua, para caleg yang terhormat!


6 Desember 2013


    

No comments:

Post a Comment