Tuesday, 15 October 2013

Strategi Komunikasi APK Caleg


Pemilu 2014 kini sudah memasuki tahap kampanye. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengeluarkan Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas PKPU No 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Aturan yang disahkan tanggal 27 Agustus 2013 itu resmi berlaku sebulan kemudian. Artinya, sejak tanggal 27 September 2013, seluruh Alat Peraga Kampanye (APK) milik calon anggota legislatif (caleg) harus sudah menyesuaikan dengan aturan ini.

Tapi apa yang terjadi? Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) hingga pada awal bulan Oktober 2013 menemukan ribuan APK caleg yang melanggar aturan milik KPU tersebut. Laporan resmi Bawaslu Provinsi Sumut menyebutkan bahwa ribuan APK caleg itu tersebut terdiri dari baleho/billboard, poster dan banner yang dipasang pada tempat-tempat terlarang sesuai PKPU No 15 tahun 2013 tersebut.

Persoalan sulitnya mengatur APK caleg ini, memang sudah terasa sejak awal. Ketika KPU mulai membuka pendaftaran bakal caleg, ratusan calon wakil rakyat kemudian tiba-tiba muncul di tengah-tengah masyarakat lewat berbagai jenis media luar ruang. Ada yang menggunakan spanduk, banner atau bahkan baleho ukuran besar. Semuanya itu tentu untuk mengenalkan kepada publik sosok mereka sebagai calon wakil rakyat.

Munculnya fenomena ini jika dilihat dari sisi komunikasi, bisa dikatakan wajar saja. Para caleg melalui APK-nya ingin berkomunikasi dengan publik. Memasang APK sering dianggap efektif menjangkau publik ketimbang harus melakukan road show secara langsung ke publik. Namun, apakah APK para caleg ini bisa efektif meraup dukungan, atau hanya sekedar menjadikan mereka populis, tentu patut dipertanyakan.

Paling tidak dibutuhkan tiga tahapan penting dalam merancang strategi komunikasi yang efektif. Pertama, pembangunan citra (image builder), kedua, peneguhan personalitas (personality awareness), dan ketiga, memposisikan (positioning) figur pada publik. Dengan mengusung ketiga tahapan penting ini, maka diharapkan terbangunnya sebuah strategi komunikasi yang efektif untuk mendukung caleg "menjual" dirinya.

Lantas mengapa diperlukan strategi komunikasi yang efektif? Jawabannya adalah, tidak peduli seberapa berbakatnya, betapapun unggulnya, atau berapapun banyak uang disiapkan seorang caleg, karena kesuksesan tidak akan pernah diperoleh tanpa komunikasi yang efektif.

Kemampuan seorang caleg dalam mengirimkan pesan atau informasi dengan baik, kemampuan menjadi pendengar yang baik, kemampuan atau ketrampilan menggunakan berbagai media atau alat audio visual merupakan bagian penting dalam melaksanakan komunikasi yang efektif.

Banyak orang yang menyepelekan soal komunikasi yang efektif ini. Hal ini wajar saja, karena mereka menganggap komunikasi merupakan bagian dari kehidupan ini. Renungkan saja, kita menghabiskan sebagian besar waktu untuk berkomunikasi. Seperti juga seperti bernafas, komunikasi sering dianggap sebagai hal yang otomatis terjadi begitu saja, sehingga sering tidak terpikirkan untuk melakukannya dengan efektif.

Bagaimana berkomunikasi secara efektif? Pertanyaan itu sering terlontar ketika saya memberikan pelatihan soal komunikasi publik. Pertanyaan ini muncul karena kita sering tidak pernah secara khusus mempelajari bagaimana menulis dengan efektif, bagaimana membaca dengan cepat dan efektif, bagaimana berbicara secara efektif. Bahkan kita tak pernah belajar untuk menjadi pendengar yang baik.

Komunikasi yang efektif menurut Littlejohn (1999) bisa dibangun dibangun dengan konsep saling ketergantungan (interdependency) dengan publik. Karena unsur paling penting dalam komunikasi bukan sekedar pada apa yang dikatakan atau ditulis, tetapi pada karakter komunikator dan bagaimana ia menyampaikan pesan kepada penerima pesan (komunikan). Melalui konsep saling ketergantungan ini, diharapkan munculnya efek saling percaya, saling menghargai dan rasa empati.

Selain itu ada juga 5 Hukum Komunikasi yang Efektif (The  Inevitable Laws of Effevtive Communication). Kelima hukum ini adalah respect (penghargaan), empathy (empati), audible (dapat didengar), clarity (jelas) dan humble (rendah hati).

Respect (penghargaan) sangat diperlukan dalam mengembangkan komunikasi yang efektif. Rasa hormat dan saling menghargai merupakan hukum pertama dalam berkomunikasi dengan orang lain. Pada prinsipnya semua manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Sedangkan empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain.

Makna dari audible (dapat didengar) adalah seorang pemimpin hendaknya mampu menerima umpan balik dengan baik. Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui media atau delivery channel hingga dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan. Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan baik, maka hukum keempat yang terkait dengan itu adalah kejelasan (clarity) dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi. Dan hukum terakhir dalam membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati (humble). Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain.

Dengan mengetahui dan membangun rencana strategi komunikasi yang efektif, rasanya model serbuan APK caleg ini bisa segera ditinggalkan. Karena memang publik tak peduli lagi dengan berbagai slogan kosong di APK caleg. Apalagi APK milik sang calon wakil rakyat itu jelas-jelas menyalahi aturan. Duh!!!
 
Aulia Andri, Pimpinan Bawaslu Provinsi Sumut bidang Pengawasan

No comments:

Post a Comment