Rapat kerja
teknis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) provinsi se-Indonesia yang diadakan oleh
Bawaslu RI tanggal 2-4 Oktober 2013 di Jakarta, memfokuskan pada pelaksanaan penyusunan daftar pemilih pemilu
2014 yang telah
sampai pada proses pencermatan kembali terhadap DPT yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh KPU Kab/Kota.
Sesuai
keputusan KPU RI bahwa proses
pencermatan DPT dilakukan (baca: ditunda) selama 30 hari
sejak 13 September 2013. Artinya pada tanggal 13
Oktober mendatang, KPU sesuai Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2013 tentang Perubahan
Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Tahun 2014, harus sudah
menetapkan DPT.
Dan
sebagai bentuk pelaksanaan mandat UU 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu, serta UU 8 Tahun 2012 Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
Pengawas Pemilu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyusunan daftar
pemilih dimaksud, termasuk mengawal secara ketat proses pencermatan kembali DPT
yang ditetapkan sebelumnya.
Sebenarnya, persoalan daftar pemilih pemilu 2014 ini
tidaklah perlu hiruk-pikuk seperti ini jika saja kita semua menyadari bahwa partisipasi
politik setiap warga Negara merupakan inti dari demokrasi. Maka itu, harus
menjadi dogma bahwa demokratis-tidaknya suatu sistem politik ditentukan oleh
ada-tidaknya atau tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik warganya.
Terjaminnya
partisipasi politik warga untuk memilih dalam sebuah pemilu harus diakui sebagai
corak demokrasi dalam sebuah system politik. Maka itu, hak pilih merupakan
syarat penting bagai sebuah negara yang menganut faham konstitusional modern. “The
right to vote, along with freedom of expression, assembly, association, and
press, is one of the fundamental requirements of modern constitutional
democracy” (Dieter Nohlen,
“Voting Rights”, dalam Seymour Martin Lipset, 1995)
Untuk memberikan jaminan agar pemilih
dapat menggunakan pilihnya, paling tidak harus tersedia daftar pemilih akurat
yang memenuhi standar kualitas daftar pemilih. Kondisi saat ini tentu sangat
mengkhawatirkan. Sejak Pemilu 2004 dan 2009, permasalahan daftar pemilih
menjadi urusan pelik yang belum terpecahkan. Nah, pada Pemilu 2014 ini pun, KPU
dan Kemendagri masih berkutat soal perbedaan daftar pemilih pemilu. Sesuatu
yang rasanya sangat tidak bisa diterima, karena ini bukan masalah baru.
Tersedianya
daftar pemilih yang standar pada pemilu, tentunya akan menunjukkan kualitas
pemilu itu sendiri. Dari sisi standar kemanfaatan teknis, seharusnya ada beberapa
aspek yang harus terpenuhi yakni; daftar pemilih hendaknya mudah diakses oleh
pemilih, mudah digunakan saat pemungutan suara, mudah dimutakhirkan, dan
disusun secara akurat.
Nah,
tentunya standar kemanfaatan teknis ini harus didukung sejak awal oleh semua
pemangku kepentingan pemilu. KPU dan Kemendagri, sebagai pihak yang paling
berkompeten mengurusi masalah ini, harus memformulasikan sistem pendaftaran
pemilih.
Paling
tidak ada dua dua jenis sistem pendaftaran pemilih yang bisa dilakukan, yaitu
berdasarkan skala periode waktu serta berdasarkan hak dan kewajiban. Berdasarkan
skala periode waktu, sistem pendaftaran pemilih ada tiga jenis, yaitu periodic
list, continuous register or list, dan civil registry.
Sistem
periodic list adalah sistem pendaftaran pemilih hanya untuk
pemilu tertentu saja. Pendaftar pemilih dilakukan setiap kali hendak
menyelenggarakan Pemilihan Umum sebagaimana diterapkan selama enam kali
pemilihan umum pada Era Orde Baru.
Sistem
continuous register or list adalah sistem pendaftaran pemilih untuk
pemilu yang berkelanjutan. Artinya Daftar Pemilih Pemilu tidak dibuang melainkan
dimutahirkan untuk digunakan pada Pemilu berikutnya baik itu untuk pemilu
kepala daerah.
Sistem
civil registry adalah pendaftaran pemilih berdasarkan pencatatan sipil
(penduduk) untuk mendata nama, alamat, kewarganegaraan, umur dan nomor
identitas. Dengan kata lain pada sistem ini data kependudukan sebagai
dasar daftar pemilih memerlukan data-sharing agreements.
Berdasarkan
model pendaftaran pemilih seperti ini, penyelenggara pemilu, dalam hal
ini KPU, wajib menggunakan data pemilih yang diberikan oleh instansi
pemerintah yang bertugas mengurus administrasi kependudukan. Sistem inilah yang
kemudian diterapkan dalam pemilu di Indonesia saat ini.
Tanpa
bermaksud menyudutkan para penyelenggara pemilu yang selama ini sudah bekerja
keras menyusun daftar pemilih pemilu, saya berpendapat, tentunya harus disadari
bahwa selain sistem civil registry
itu, sebenarnya masih ada sistem lain yang bisa dipakai.
Selain
itu tentunya, para penyelenggara pemilu bisa mencermati sistem pendaftaran
pemilih berdasarkan hak dan kewajiban. Sistem ini mencakup tiga jenis, yaitu pendaftaran
sukarela (voluntary registration), pendaftaran wajib (mandatory registration),
dan campuran sukarela-wajib (mix strategy).
Pada
voluntary registration, memilih adalah hak, pemilih dapat memilih
untuk mendaftar atau tidak dalam daftar pemilih. Prinsip yang dianut adalah
prinsip pendaftaran berdasarkan prakarsa sendiri (self-initiated
registration). Pada mandatory registration, memilih adalah
kewajiban, pemilih wajib mendaftar/didaftar dalam daftar pemilih. Prinsip yang
dianut adalah pendaftaran berdasarkan prakarsa negara (state-initiated
registration). Pada mix strategy pemerintah memfasilitasi proses
pendaftaran pemilih dan proses pendaftaran pemilih dilakukan sendiri oleh
pemilih. Prinsip yang dianut adalah para warga Negara dan negara berbagi
tanggungjawab dalam pendaftaran pemilih (citizens and the state share
responsibility for registration).
Ketiga sistem ini tentu punya kelebihan dan
kekurangan. Maka itu, sudah saatnya penyelenggara pemilu, baik itu KPU dan
Bawaslu, duduk bersama menyepakati model daftar pemilih pemilu yang akan
digunakan pada pemilu berikutnya. Sehingga, carut marut persoalan daftar
pemilih ini tidak lagi terulang.
Aulia Andri, Pimpinan Bawaslu Provinsi
Sumut
No comments:
Post a Comment