Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengeluarkan Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas PKPU No 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Aturan yang disahkan tanggal 27 Agustus 2013 itu resmi berlaku sebulan kemudian. Artinya, sejak tanggal 27 September 2013, seluruh Alat Peraga Kampanye (APK) milik calon anggota legislatif (caleg) harus sudah menyesuaikan dengan aturan ini.
Terhadap Peraturan KPU ini, Bawaslu juga sudah meresponnya melalui Surat Edaran (SE) No 684 tertanggal 23 September 2013. Tentunya, isi SE Bawaslu tersebut menegaskan kepada jajaran pengawas pemilu untuk mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 tersebut. Hasil pencermatan Bawaslu Provinsi Sumut, terhadap pelaksanaan Peraturan KPU tersebut, ada beberapa hal yang mendasar perlu diluruskan. Pertama, KPU sebagai regulator teknis pemilu kurang melakukan sosialisasi terhadap peraturannya. Padahal Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 merupakan peraturan yang sangat penting terkait Alat Peraga Kampanye (APK) calon anggota legislatif. Masalah kedua adalah, masalah koordinasi KPU dengan pemerintah kabupaten/kota. Ini tentunya terkait dengan penetapan wilayah untuk pemasangan APK caleg. Kedua masalah ini kemudian membuat jajaran pengawas pemilu harus bekerja ekstra keras. Hingga batas waktu 27 September 2013, banyak KPU di tingkat kabupaten/kota di Sumut belum melakukan sosialisasi terhadap peraturannya. Apalagi melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota.
Lambatnya KPU di tingkat kabupaten/kota melakukan sosialisasi tentu membuat sumringah para caleg. Beralaskan ketidaktahuan, para caleg kemudian memasang APK sekehendak hati. Jajaran pengawas pemilu di Sumut menemukan ribuan APK caleg bermasalah. Laporan APK caleg yang bermasalah mencakup mengenai jenis APK yang tidak sesuai dengan peraturan KPU. Di Sumut misalnya, para caleg cenderung suka memakai APK jenis baleho atau banner. Padahal sesuai dengan Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 pasal 17 disebutkan baleho hanya boleh dipasang oleh partai politik. Sementara para caleg hanya diizinkan memasang spanduk dengan ukuran maksimal 1,5 x 7 meter dan hanya 1 (satu) unit pada 1 (satu) zona atau wilayah yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Daerah.
Pelanggaran lain yang dilakukan para caleg dalam memasang APK-nya adalah terkait penempatan. Peraturan KPU sudah tegas menyatakan bahwa APK caleg dilarang ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan. Penempatan APK caleg yang tidak sesuai ketentuan ini, kemudian menjadi perhatian besar jajaran pengawas pemilu di Sumut.
Sejak awal, jajaran pengawas pemilu memang sudah mengantisipasi potensi kerawanan dalam pemasangan APK caleg ini. Melalui Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) No 4 Tahun 2013 tertanggal 18 April 2013, pasal 11, sudah diuraikan potensi-potensi kerawanan tersebut, meliputi; a. kordinasi penetapan lokasi pemasangan APK antara KPU dan Pemerintah, tidak melibatkan peserta dan Pengawas Pemilu; b. penetapan lokasi pemasangan APK, tidak mengindahkan nilai estetika dan tata ruang kota; dan c. penetapan lokasi pemasangan alat peraga dikaitkan dengan pendapatan pajak daerah.
Ketiga potensi kerawanan itu kini benar-benar terjadi. Peserta pemilu beralasan tidak mendapatkan informasi. Pemerintah daerah mengatakan belum koordinasi. Pengawas pemilu pun kemudian sibuk mengeluarkan rekomendasi. Menutup tulisan ini, perlu rasanya menyimak pantun pengawas pemilu dibawah ini. Pedih hari diamuk raja/Picing mata tandanya miris/Pengawas pemilu sudah bekerja/Tapi KPU tetap tidak menggubris/
Aulia Andri, Pimpinan Bawaslu Provinsi Sumut bidang Pengawasan
No comments:
Post a Comment