Sunday, 29 September 2013

MENJAMIN PARTISIPASI POLITIK PEMILIH


Adagium bahwa partisipasi politik merupakan inti dari demokrasi, tentunya merupakan keniscayaan. Karena itu, tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik menjadi tolak ukur demokratis atau tidak demokratisnya sistem politik di sebuah negara.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sementara Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa: “(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; “(3) Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Sedangkan pada tingkat undang-undang, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur tentang hak memilih. Dalam Pasal 43 dinyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Mahkamah Konstitusi dalam putusan Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004 antara lain menyebutkan, “Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.”

Dari gambaran di atas memperlihatkan bahwa begitu pentingnya partisipasi pemilih dalam demokrasi dan pemilu. Namun demikian masih terdapat problem pada tingkat implementasi, yakni; 1) tidak tersedianya daftar pemilih yang akurat dan, 2) belum adanya jaminan bahwa pemilih tidak akan kehilangan hak pilihnya.

Kemitraan dalam “Seri Demokrasi Elektoral Buku 9: Meningkatkan Akurasi Pemilih” menyebutkan dari aspek standar kualitas demokrasi, daftar pemilih hendaknya memiliki dua cakupan standar, yaitu; 1) pemilih yang memenuhi syarat masuk daftar pemilih dan; 2) tersedianya fasilitasi pelaksanaan pemungutan suara. Dari aspek standar kemanfaatan teknis, daftar pemilih hendaknya memiliki empat cakupan standar, yaitu mudah diakses oleh pemilih, mudah digunakan saat pemungutan suara, mudah dimutakhirkan, dan disusun secara akurat.

Hal yang menarik dibahas disini adalah mengenai jaminan bahwa pemilih tidak akan kehilangan hak pilihnya dimana pun ia berada. Menurut saya, pendaftaran pemilih berbasis domisili sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU No 9 Tahun 2013 tentang Penyusunan Daftar Pemilih untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sangat berpotensi menghilangkan hak pilih warga negara. Alasannya, karena pendaftaran pemilih dengan memberikan kesempatan kepada pemilih menentukan tempatnya memilih tidak disertai Peraturan KPU tentang Tata Cara Pemungutan, Penghitungan Rekapitulasi dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum.

Hal ini karena dalam Pasal 18 Ayat (4) Peraturan KPU No.9 Tahun 2013, disebutkan “Dalam hal Pantarlih menemukan Pemilih berdomisili di wilayah kerjanya tetapi memiliki identitas kependudukan dari daerah lain, maka Pantarlih menanyakan kepada Pemilih di mana akan menggunakan hak pilihnya.” Pilihan memilih di tempat kerjanya ditur dalam ayat (5) dan jika memilih sesuai dengan alamat KTP nya ---ayat (6).

Ini dapat diartikan bahwa, seandainya ada pemilih penduduk Kota Pematang Siantar sesuai KTP, maka ia bisa terdaftar di Kota Medan sesuai dengan tempat kerjanya, atau tempat menyelesaikan pendidikan. Sementara, UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, jelas disebutkan bahwa anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah dewan mewakili rakyatnya – sesuai dengan daerah pemilihan.

Sementara pada Pasal 27 ayat (1) UU No 8 Tahun 2012 disebutkan: “Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan, atau gabungan kecamatan.” Kaitannya antara penduduk dan keterwakilan dilihat dengan mekanisme penetapan kuota kursi di DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No 8 Tahun 2012.

Nah, pertanyaanya, apakah pemilih asal Kota Pematang Siantar tadi dapat memilih wakilnya di Kota Medan? Atau pemilih itu akan kehilangan hak untuk memilih anggota DPRD di tingkat Kabupaten/Kota, karena dia bukan penduduk Kota Medan? Lantas, Surat suara setingkat mana yang diperolehnya saat di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada saat hari pemilihan? Kerumitan dari pemilih asal Kota Pematang Siantar ini semakin bertambah ketika daerah pemilihan untuk keterwakilannya di tingkat DPRD Provinsi Sumut dan DPR RI juga berbeda.

Hingga kini, KPU belum mengatur masalah ini, padahal kerumitan seperti ini akan terjadi di banyak tempat dan banyak pemilih. Sebagai bagian dari pengawas pemilu, saya melihat, akan ada banyak potensi konflik dan pelanggaran jika KPU tidak segera mengeluarkan aturan mengenai hal ini.

Dampak dari Peraturan KPU No 9 Tahun 2013, juga menyebabkan pekerja lintas daerah dan mahasiswa, terdaftar di alamat yang tidak sesuai dengan identitas kependudukanya. Ini tentunya akan berakibat mendongkrak jumlah pemilih di sebuah daerah.

Contohnya dapat dilihat pada Daftar Pemilih Sementara (DPS) di Kecamatan Medan Tuntungan yang ditetapkan sebanyak  56.153 pemilih  dan DPS Hasil Perbaikan sebanyak 58.606 pemilih. Ini menunjukkan terjadi penambahan sebesar 2.453 pemilih. Memang ada banyak faktor yang menyebabkan membengkaknya jumlah pemilih di Kota Medan; 1) pekerja antardaerah; 2) mahasiswa; 3) penduduk tidak tetap.

Bertambahnya pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih dan tidak disertai Peraturan KPU yang tegas, tentu akan berpotensi munculnya pelanggaran. Beberapa potensi pelanggaran yang bisa dideteksi adalah, pengarahan memilih calon tertentu untuk tingkatan DPRD Kabupaten/Kota dengan melakukan tekanan serta memainkan politik uang.

Saya berharap, KPU akan segera menelurkan aturannya seperti yang disebutkan diatas guna mencegah kehilangan hak pilih setiap warga negara. Tentunya, seperti yang sudah disebutkan diawal, bahwa partisipasi politik merupakan inti dari demokrasi, akan menjadi mantra sakti kita bersama.

Aulia Andri, M.Si, Pimpinan  Badan Pengawas Pemilu Sumatera Utara (Bawaslu Sumut) Bidang Pengawasan dan Humas


No comments:

Post a Comment