Adagium
bahwa partisipasi politik merupakan inti dari demokrasi, tentunya merupakan
keniscayaan. Karena itu, tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik menjadi
tolak ukur demokratis atau tidak demokratisnya sistem politik di sebuah negara.
Pasal
27 ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sementara Pasal 28D ayat (1) dan
ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa: “(1) Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum”; “(3) Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan.”
Sedangkan
pada tingkat undang-undang, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia mengatur tentang hak memilih. Dalam Pasal 43 dinyatakan bahwa “Setiap
warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan
persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Mahkamah
Konstitusi dalam putusan Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari
2004 antara lain menyebutkan, “Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara
untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate)
adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi
internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan
hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.”
Dari gambaran
di atas memperlihatkan bahwa begitu pentingnya partisipasi pemilih dalam
demokrasi dan pemilu. Namun demikian masih terdapat problem pada tingkat
implementasi, yakni; 1) tidak tersedianya daftar pemilih yang akurat dan, 2)
belum adanya jaminan bahwa pemilih tidak akan kehilangan hak pilihnya.
Kemitraan
dalam “Seri Demokrasi Elektoral Buku 9: Meningkatkan Akurasi Pemilih”
menyebutkan dari aspek standar kualitas demokrasi, daftar pemilih hendaknya
memiliki dua cakupan standar, yaitu; 1) pemilih yang memenuhi syarat masuk
daftar pemilih dan; 2) tersedianya fasilitasi pelaksanaan pemungutan suara.
Dari aspek standar kemanfaatan teknis, daftar pemilih hendaknya memiliki empat cakupan
standar, yaitu mudah diakses oleh pemilih, mudah digunakan saat pemungutan
suara, mudah dimutakhirkan, dan disusun secara akurat.
Hal yang menarik dibahas disini adalah mengenai jaminan bahwa pemilih tidak
akan kehilangan hak pilihnya dimana pun ia berada. Menurut saya, pendaftaran
pemilih berbasis domisili sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU No 9 Tahun 2013
tentang Penyusunan Daftar Pemilih untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sangat
berpotensi menghilangkan hak pilih warga negara. Alasannya, karena pendaftaran
pemilih dengan memberikan kesempatan kepada pemilih menentukan tempatnya
memilih tidak disertai Peraturan KPU tentang Tata Cara Pemungutan, Penghitungan
Rekapitulasi dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum.
Hal ini karena dalam Pasal 18 Ayat (4) Peraturan KPU No.9 Tahun 2013, disebutkan
“Dalam hal Pantarlih menemukan Pemilih berdomisili di wilayah kerjanya tetapi
memiliki identitas kependudukan dari daerah lain, maka Pantarlih menanyakan
kepada Pemilih di mana akan menggunakan hak pilihnya.” Pilihan memilih di
tempat kerjanya ditur dalam ayat (5) dan jika memilih sesuai dengan alamat KTP
nya ---ayat (6).
Ini dapat diartikan bahwa, seandainya ada pemilih penduduk Kota Pematang
Siantar sesuai KTP, maka ia bisa terdaftar di Kota Medan sesuai dengan tempat
kerjanya, atau tempat menyelesaikan pendidikan. Sementara, UU No 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, jelas disebutkan bahwa
anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah dewan mewakili rakyatnya – sesuai dengan daerah
pemilihan.
Sementara pada Pasal 27 ayat (1) UU No 8 Tahun 2012 disebutkan: “Daerah
pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan, atau gabungan
kecamatan.” Kaitannya antara penduduk dan keterwakilan dilihat dengan mekanisme
penetapan kuota kursi di DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No 8 Tahun 2012.
Nah, pertanyaanya, apakah pemilih asal Kota Pematang Siantar tadi dapat
memilih wakilnya di Kota Medan? Atau pemilih itu akan kehilangan hak untuk
memilih anggota DPRD di tingkat Kabupaten/Kota, karena dia bukan penduduk Kota
Medan? Lantas, Surat suara setingkat mana yang diperolehnya saat di Tempat Pemungutan
Suara (TPS) pada saat hari pemilihan? Kerumitan dari pemilih asal Kota Pematang
Siantar ini semakin bertambah ketika daerah pemilihan untuk keterwakilannya di
tingkat DPRD Provinsi Sumut dan DPR RI juga berbeda.
Hingga kini, KPU belum mengatur masalah ini, padahal kerumitan seperti ini
akan terjadi di banyak tempat dan banyak pemilih. Sebagai bagian dari pengawas
pemilu, saya melihat, akan ada banyak potensi konflik dan pelanggaran jika KPU
tidak segera mengeluarkan aturan mengenai hal ini.
Dampak dari Peraturan KPU No 9 Tahun 2013, juga menyebabkan pekerja lintas daerah
dan mahasiswa, terdaftar di alamat yang tidak sesuai dengan identitas
kependudukanya. Ini tentunya akan berakibat mendongkrak jumlah pemilih di
sebuah daerah.
Contohnya dapat dilihat pada Daftar Pemilih Sementara (DPS) di Kecamatan
Medan Tuntungan yang ditetapkan sebanyak
56.153 pemilih dan DPS Hasil Perbaikan
sebanyak 58.606 pemilih. Ini menunjukkan terjadi penambahan sebesar 2.453
pemilih. Memang ada
banyak faktor yang menyebabkan membengkaknya jumlah pemilih di Kota Medan; 1)
pekerja antardaerah; 2) mahasiswa; 3) penduduk tidak tetap.
Bertambahnya pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih dan tidak disertai
Peraturan KPU yang tegas, tentu akan berpotensi munculnya pelanggaran. Beberapa
potensi pelanggaran yang bisa dideteksi adalah, pengarahan memilih calon tertentu
untuk tingkatan DPRD Kabupaten/Kota dengan melakukan tekanan serta memainkan
politik uang.
Saya
berharap, KPU akan segera menelurkan aturannya seperti yang disebutkan diatas
guna mencegah kehilangan hak pilih setiap warga negara. Tentunya, seperti yang
sudah disebutkan diawal, bahwa partisipasi politik merupakan inti dari
demokrasi, akan menjadi mantra sakti kita bersama.
Aulia Andri, M.Si, Pimpinan Badan Pengawas Pemilu Sumatera Utara (Bawaslu
Sumut) Bidang Pengawasan dan Humas
No comments:
Post a Comment