Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, mengambil keputusan penting, sehari menjelang penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh jajarannya di tingkat kabupatan dan kota. Keputusan itu adalah menunda pelaksanaan penetapan DPT Pemilu 2014 yang seyogyanya dilaksanakan paling lambat tanggal 7 sampai dengan 13 September 2013. Keputusan KPU RI disaat injury time itu memang bukan perkara gampang. Apalagi sejak awal, KPU RI melalui Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Tahun 2014, sudah menetapkan jadwal penetapan DPT. Keputusan penundaan ini diambil KPU RI setelah melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI, Kemendagri dan Bawaslu yang menyepakati untuk memundurkan jadwal penetapan DPT di tingkat kabupaten/kota. Dalam rapat dengar pendapat itu, KPU diminta mencermati ulang penetapan DPT Pemilu 2014 yang terindikasi masih menyimpan banyak masalah.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang melakukan pengawasan DPT secara nasional mengungkapkan adanya beberapa persoalan, semisal: 1) Adanya selisih jumlah kecamatan antara data yang terungkap di Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2) dengan data yang tercantum di Daftar Pemilih Sementara (DPS). Bawaslu menemukan bahwa data jumlah kecamatan di DPS lebih banyak 72 (tujuh puluh dua) kecamatan yang tersebar di 21 (dua puluh satu) kabupaten/kota di 9 (sembilan) provinsi disbanding dalam data DAK2. 2) Bawaslu juga menemukan adanya 823 kecamatan di 31 provinsi yang tidak mempunyai atau tidak lengkap DPS-nya. 3) Bawaslu juga menemukan ketidakwajaran jumlah pemilih dibanding jumlah penduduk antara 60%-80% di 2.516 kecamatan di 31 provinsi di Indonesia.
Selain persoalan-persoalan diatas yang terjadi secara nasional, Bawaslu Provinsi Sumatera Utara juga menemukan banyak persoalan di lapangan terkait penetapan daftar pemilih. Beberapa persoalan yang muncul adalah, soal legalitas dokumen daftar pemilih, akurasi daftar pemilih, ketidaksesuaian data yang dimutakhirkan oleh PPS dan Pantarlih dengan data sistem Sidalih milik KPU dan minimnya publikasi terhadap daftar pemilih. Bawaslu Sumut melakukan monitoring dan evaluasi dengan sampling terhadap Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP) di 11 kabupaten/kota di Sumut. Hasilnya memang cukup mengejutkan, banyak kabupaten/kota yang legalitas dokumen daftar pemilihnya tidak sesuai. Juga soal akurasi daftar pemilih yang menyangkut soal adanya pemilik yang tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama ganda, atau tidak sesuainya nama dengan alamat pemilih. Terhadap persoalan-persoalan ini, Bawaslu Sumut juga sudah menghimbau ke partai politik agar bisa lebih pro aktif menyikapi soal daftar pemilih ini.
Hasil amatan tim Bawaslu Sumut, rata-rata parpol di Sumut belum melakukan pendataan secara aktif terhadap konstituennya yang tidak terdaftar di daftar pemilih. Sebagai lembaga pengawas pemilu, Bawaslu Sumut kemudian sudah menghimbau kepada papol agar bisa sesegera mungkin melakukan koordinasi dengan jajaran dibawahnya untuk melakukan pendataan pemilih berbasis parpol. Tentunya, semua ini diyakini akan bisa membantu KPU menyelesaikan kisruh soal daftar pemilih yang cenderung kisruh. KPU sendiri memang terkesan melakukan kesalahan yang sama dan berulang terkait daftar pemilih ini. Walaupun harus dimaklumi juga, bahwa KPU merupakan penyelenggara dan pelaksana teknis pemilu, dalam membuat daftar pemilih sementara (DPS) sampai ke DPT masih bergantung pada data yang diserahkan pemerintah. Pemerintah kabupatan/kota menyerahkan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) kepada KPU dengan terlebih dahulu melakukan sinkronisasi. Dari daftar DP4 ini, kemudian KPU melakukan verifikasi melalui perangkatnya dengan membentuk panitia pendaftaran pemilih (Pantarlih).
Selanjutnya, data dari Pantarlih yang sudah diverifikasi diserahkan kepada PPS lalu diteruskan ke KPU melalui PPK. Saya tentu tak bermaksud menyalahkan KPU serta perangkat dibawahnya. Namun, persoalan daftar pemilih ini terkait dengan azas profesionalitas penyelenggara pemilu serta ketaatan pada aturan yang telah dibuat. Profesionalitas disini tentu adalah bahwa KPU harus bisa memastikan bahwa semua proses pendataan pemilih yang dilakukannya sesuai dengan aturan yang sudah dibuat tanpa merugikan siapapun. Tentunya, ketaatan pada aturan ini akan membuat KPU terlindungi dari konflik-konflik sosial yang kemungkinan akan muncul pasca Pemilu 2014. Mencermati persoalan-persoalan diatas serta belajar dari pengalaman Pemilu 2009 dan Pemilukada di Sumut, kiranya, KPU serta jajaran dibawahnya, bisa memanfaatkan tenggang waktu 30 hari yang sudah diberikan untuk memperbaiki daftar pemilih ini. Saya mencermati, bahwa persoalan daftar pemilih ini seringkali menjadi titik sentral bagi partai politik, calon legislatif dan para calon kepala daerah untuk melayangkan gugatan sengketa pemilu.
Di sisi lain, saya juga melihat bahwa partisipasi partai politik dan calon legislatif pada Pemilu2014 sangat minim untuk “berteriak” keras soal daftar pemilih ini. Seolah, masalah daftar pemilih ini sengaja disimpan untuk menjadi “bom waktu” yang akan diledakkan usai perhitungan suara pemilu. Padahal, inilah saatnya partai politik bisa menghimbau konstituennya untuk mengecek namanya terdaftar atau tidak sebagai pemilih di DPS dan DPT.
Penting digarisbawahi, bahwa persoalan daftar pemilih baik itu DPS maupun DPT sejatinya bukanlah hanya urusan tentang penggunaan hak pilih seorang warga negara. Lebih diatas itu semua, persoalan ini menjadi cermin penting terhadap kualitas penyelenggaraan Pemilu 2014. Masih kacaunya persoalan daftar pemilih ini, tentu juga menjadi tanggungjawab Bawaslu, sebagai lembaga pengawas pemilu yang mencita-citakan pemilu yang jujur, adil dan demokratis untuk memilih para wakil rakyat. ///
Aulia Andri, M.Si, Komisioner Bawaslu Sumut (Koordinator Divisi Pengawasan)
No comments:
Post a Comment