Sunday, 29 September 2013

Cinta Pertama Saya

Pernah mengalami cinta pertama? Pasti pernah kan? Ngaku sajalah. Saya juga pernah mengalaminya. Tentunya dengan seorang wanita. Nah, saya pernah mencintai seorang wanita dengan begitu dalam, dengan segenap jiwa raga saya. Siapa dia? Nggak perlu tahulah. Tapi yang ingin saya bagi ke anda semua bahwa saya kini yakin bahwa “noktah” cinta pertama saya telah lenyap. Cinta pertama buat saya bukanlah ketika saya pertama kali punya seorang pacar atau teman wanita. Saya berkali-kali jatuh cinta dengan seorang wanita, tapi saya tak pernah benar-benar merasa jatuh cinta. Tapi, suatu ketika saya pernah merasakan cinta yang sangat dalam pada seorang wanita, sebelum saya menikah dengan wanita yang kini menjadi isteri saya. Ini yang menurut saya merupakan cinta pertama. Sebuah cinta yang membekas dan membuat saya tak bisa bergerak dalam mimpi-mimpi indah tapi kosong, selama bertahun-tahun.

Kata cinta buat saya, yang kini berada di usia pertengahan 30, menjadi sesuatu yang menggelikan. Apalagi cinta pertama. Saya bahkan pernah hampir ragu apakah saya mencintai wanita yang kini menjadi isteri saya ketika kami menikah. Apakah saya menikahinya hanya sekedar karena saya memang membutuhkan seorang wanita sebagai pendamping hidup saya. Seorang wanita yang saya inginkan menjadi tempat melahirkan anak-anak saya. Tapi begitulah, saya kemudian menikah dan berjuang untuk meyakinkan diri saya bahwa saya memang mencintainya. Dan kini, saya meyakini bahwa saya memang mencintainya!

Harus saya akui, saya pernah memiliki cinta pertama yang sangat besar pada seorang wanita di luar sana. Seorang wanita yang pernah saya dambakan menjadi isteri saya, pendamping hidup saya hingga menutup mata. Tapi, mimpi-mimpi masa muda saya yang dibalut rasa cinta pertama yang dalam itu tak pernah terwujud. Saya kehilangan cinta pertama saya dengan tragis. Tak terhitung berapa banyak malam saya menangisi kemalangan dan mengutuki kebodohan jiwa muda saya. Tak terhitung berapa banyak waktu yang saya habiskan hanya untuk meyakinkan diri saya sendiri, bahwa saya bisa menemukan cinta yang lain, seperti cinta pertama yang pernah saya miliki. Waktu memang tak bisa diputar ulang seperti kaset. Kenyataannya, hidup terus berjalan dan saya tertatih menyusuri “jalanan” kehidupan dengan rasa kalah, sambil terus berharap bisa kembali ke belakang memperbaiki kesalahan masa muda saya. Tapi itu tak pernah terjadi!

Saya kemudian menemukan cinta-cinta lain yang bertebaran. Saya pernah menemukan cinta dari Serambi Mekkah hingga Papua. Pernah menemukan cinta dalam gubuk-gubuk reot di tepi Danau Sentani. Pernah menemukan cinta dibalik puing-puing tsunami Aceh. Pernah juga menemukan cinta dibalik gemerlap lampu kelap-kelip diskotik Jakarta. Atau pernah pula menemukan cinta dibalik pakaian kantor para wanita karir di perkantoran Jalan Sudirman dan Thamrin. Tapi saya kemudian meyakini ada sebuah cinta yang dalam pada mata seorang wanita yang kini menjadi isteri saya. Sebuah cinta yang tulus, walaupun pada awalnya saya tak pernah meyakini bahwa saya mencintainya seperti mencintai cinta pertama saya.

Cinta pertama memang indah. Karena itu, saya selalu tak bisa menyembunyikan senyum jika mengingat cinta pertama saya. Sebuah cinta yang selama bertahun-tahun, saya simpan dengan rapi di sudut hati saya yang gelap, tanpa seorang pun tahu. Nah, malam ini, saya baru saja menjenguk dan membuka “peti” tempat saya menyimpan cinta pertama saya. Saya terkejut, cinta pertama saya telah pudar. Warna biru yang pernah saya sematkan pada cinta pertama itu telah hilang. Saya mencoba menyentuh cinta pertama saya itu, sekedar untuk meyakinkan bahwa ia telah benar-benar pudar. Ya, cinta pertama itu telah hilang. Musnah. Lenyap. Dan tak berbekas. Saya melipat kembali cinta pertama itu dan kembali menguncinya rapat-rapat dalam peti. Lalu memendam peti itu lebih jauh dari sebelumnya dalam hati saya.

Saya tak tahu apakah harus bahagia atau sedih karena cinta pertama di masa muda saya itu kini telah lenyap. Tapi saya patut bersyukur, ketika memandang ke ranjang empuk peraduan, saya menemukan cinta yang lain. Bukan cinta pertama itu. Tapi cinta yang dalam dari wanita yang kini menjadi isteri saya. Saya menemukan aura cinta bertebaran di ruang tidur kami. Bahkan, ketika ia terlelap dalam tidur, di malam selarut ini, aura cinta itu seolah tak pernah pudar “memeluk” saya. Dan dengan takzim, saya menyambut “pelukan” cinta itu. Karena saya, ternyata, memang mencintainya.

Medan, 17 Januari 2010

No comments:

Post a Comment