Thursday, 23 August 2012

Kepada Yth

Surat beramplop putih agak kekuningan itu diantar bersama dengan setumpuk surat-surat lainnya. Terselip, terhimpit dan terjepit surat-surat dinas untuk pak Lurah. Tak ada yang istimewa dari surat itu. Lihat saja warna amplopnya yang putih sudah agak kekuningan. Pasti surat itu sudah terlampau lama ditumpuk di kantor pos. Juga prangko yang tertempel di sudut kanannya, sudah hampir terkelupas dan tidak fashionable. Dari tangan hansip kelurahan yang menerima setumpuk surat yang di dalamnya ada surat beramplop putih agak kekuningan itu. Lalu jatuh kepada sekretaris kelurahan. Wanita muda dan cantik dengan seragam pegawai negeri itu lantas memeriksa satu per satu surat-surat. Memisahkannya, menurut penting atau tidaknya surat-surat itu untuk segera diketahui pak Lurah.
   
Tangannya begitu cekatan, "Dari Parmin di Desa Timbul," bibirnya bergumam pelan.
Wuzzz.... Surat itu melayang ke keranjang sampah di dekat kakinya, bersama surat-surat lain yang sudah terlebih dahulu mendiaminya.
    "Dari.....???" Wanita itu membalik-balik surat beramplop putih agak kekuningan yang ada di jarinya. Matanya sibuk mencari sesuatu ke setiap sudut amplop merek AA itu. Rasa penasaran tergambar jelas diwajahnya. Dibolak-baliknya surat itu beberapa kali tetapi tak dijumpainya tertulis nama pengirim.
    "Dasar usil, ngirimi surat kaleng kok ke kelurahan, ke presiden kek. Biar di-tin-dak-lan-juti," katanya mengeja kata terakhir.
    "Tapi......" sekretaris kelurahan itu jadi terkejut ketika memperhatikan tujuan surat itu.
    "Kepada: Yang Terhormat," dia bergumam membaca tulisan yang ada di bagian depan
surat beramplop putih agak kekuningan itu. Tak ada lagi tulisan lain selain itu. Wah ini surat misterius amat, batin wanita itu. Mungkin buat pak Lurah, wanita itu berkata dalam hati. Tanpa pikir panjang lagi surat itu diletakkannya dengan baik-baik di atas meja, bersama surat-surat penting lain untuk pak Lurah.
    Menikmati siaran HBO dari televisi kabel, sambil ditemani sebatang rokok Marlboro, pak Lurah sibuk membaca surat-surat buatnya yang diantar sekretaris kelurahan. Ditangannya kini ada surat dari pak Gubernur yang mengabarkan akan berkunjung ke kelurahan ini pekan depan. Ini sih urusan kecil, besok dia tinggal memerintahkan masyarakat untuk bergotong royong membersihkan jalan dan parit-parit.
    Pak Gubernur tentu akan senang karena kawasan kelurahannya bersih. Dan dia tentu akan dipuji, begitu kata pak Lurah dalam hati. Berikutnya, dengan tangan kiri dia mengambil surat lain di atas meja. Kali ini sebuah surat dari sebuah lembaga sosial yang diketuai isteri seorang pejabat tinggi. Isinya, juga tak jauh berbeda. Mengabarkan kedatangan mereka ke sini. Pak Lurah meraih surat berikutnya. Keningnya lantas berkerut. Di bolak-baliknya surat beramplop putih agak kekuningan itu. Sudah tiga kali dia membaca tujuan
surat itu.
    "Asihhh.......," pak Luruh berteriak memanggil wanita sekretaris kelurahan tadi.
    "Kamu tahu surat ini untuk siapa?" diacungkannya surat beramplop putih agak kekuningan itu, begitu Asih, sang sekretaris kelurahan berada di depannya.
    "Ini pasti surat buat pak Camat. Coba kamu baca Asih, di sini tertulis, Kepada: Yang Terhormat. Kirim segera surat ini ke pak Camat," perintah pak Lurah tegas.
*****
    Di kantornya pak Camat bersafari masih sibuk dengan handphone-nya. Bicaranya
tampak begitu berhati-hati. Pun raut wajahnya menunjukkan kecemasan. Persoalannya, beberapa proyek perintah pak Bupati belum dapat diselesaikannya. Sebenarnya ini karena masalah ganti rugi tanah penduduk kampung di tepi kali. Kata mereka ganti rugi itu terlalu kecil. Huh..mana ada sih yang namanya ganti rugi malah untung.
    "Baik pak. Ya....ya, saya mengerti, pak,"
    "Akan segera saya laksanakan, pak," pak Camat mengakhiri pembicaraanya, nafasnya ditarik dalam-dalam. Matanya nanar memandang ke seluruh ruangan. Cepat diraihnya sebotol coca cola dingin dari kulkas di sudut ruangan. Setelah nafasnya kembali teratur, pak Camat kemudian duduk kembali di kursinya. Ringan tangannya meraih surat-surat yang menumpuk di atas meja dihadapannya. Matanya kemudian membaca satu per satu surat-surat tersebut. Surat berwarna kekuningan itu lagi!
    Mata pak Camat mendelik, dibacanya lagi dengan seksama tujuan surat itu. Hampir saja dia terjatuh dari kursi empuknya karena buru-buru meraih handphone-nya di sudut meja.
    "Selamat pagi, pak. Ya, saya lagi, pak," ujarnya terburu-buru.
    "Ada sesuatu yang penting, pak. Sebuah surat, saya yakin ini pasti untuk bapak," pak Camat bersafari ini berhenti sebentar.
    "Ya, segera saya antarkan, pak," tukasnya dengan mantap.
*****
    Surat beramplop putih agak kekuningan itu berada di tangan pak Bupati. Di bolak-baliknya surat itu, ditimang-timangnya. Otaknya bekerja keras. Dia benar-benar ragu untuk membuka surat yang ditujukan kepada yang terhormat itu. Entah sudah berapa kali dibacanya sebaris tulisan di bagian depan amplop itu. Mondar-mandir dia memikirkan persoalan surat yang ada di tangannya itu.
    "Surat itu pasti untuk, bapak," pak Camat bersafari mencoba memberi pertimbangan. Langkah pak Bupati berhenti, matanya menatap tajam pak Camat yang duduk di sofa di depannya.
    "Tidak mungkin, disini hanya tertulis, Kepada: Yang Terhormat. Anda pasti mengerti, saya bukanlah orang yang terhormat di sini. Masih banyak orang yang terhormat di negeri ini. Bayangkan saja, diatas saya masih ada pak Gubernur, pak Dirjen, pak Menteri bahkan pak Presiden. Kamu bayangkan itu! Kedudukan saya bakal terancam jika saya berani-beranian membaca surat untuk mereka ini," pak Bupati berhenti bicara sambil mengacungkan surat itu ke wajah pak Camat.
"Tapi, pak......" pak Camat mencoba membantah.
"Tidak ada tapi-tapian. Sekarang juga kita mengahadap pak Gubernur. Surat ini harus segera sampai ke tangan beliau," tukas pak Bupati.
*****
Surat beramplop putih agak kekuningan itu kembali tersuruk di tumpukan surat-surat buat pak Gubernur. Setelah pak Camat dan pak Bupati mengantarkan surat itu sore tadi, pak Gubernur belum sempat membacanya. Saat malam turun dengan jubah-jubah kegelapannya. Saat orang-orang bermimpi tentang negeri di awan. Saat benda-benda mati bangkit dari kebisuannya. Saat mereka bercerita satu dan yang lainnya. Di ruangan kantor pak Gubernur yang dingin ber-AC, setumpuk surat masih asyik ngobrol. Berisik sekali kedengarannya. Mereka bahkan tak memperdulikan ketika jam dinding berteriak-teriak memperingatkan mereka untuk beranjak tidur. Surat-surat itu tetap saja dengan santai berbagi cerita. Mereka duduk mengelilingi sebuah surat amplop putih bersih dengan lambang lembaga tinggi negara. Menunggunya bercerita. Dengan pongah surah itu menyombongkan kesaktiannya untuk menundukkan pak Gubernur. Dia juga sangat yakin, isi suratnya akan membuat pak Gubernur mati ketakutan ketika membacanya besok. Surat itu terus bercerita hingga berjam-jam. Dan surat-surat yang lain hanya bisa mendengar terkagum-kagum. Begitu juga surat beramplop putih agak kekuningan. Ia terdiam sambil melipat tubunya lebih kecil.
"Hei..." Tiba-tiba saja sebuah surat yang lain menoleh padanya. Surat beramplop putih agak kekuningan tersebut terkejut. Ia tersentak.
"Dari tadi kau hanya diam saja. Bisakah kamu menceritakan isi suratmu itu?" kata surat itu.
"Ya, ya, ya..." serempak surat yang lain menjawab.
"Rupamu paling aneh dari kami semua. Lihatlah warnamu yang sudah agak kekuningan itu. Tentunya kau sudah lama sekali mengembara. Kabar apa yang kau bawa sebenarnya," sahut sebuah surat beramplop bagus yang lain. Surat beramplop putih agak kekuningan itu betul-betul bingung. Ia jadi malu dengan keadaanya. Tapi dipaksakan hatinya untuk bercerita. Ia sebenarnya takut untuk menceritakan hal ini pada surat-surat yang lain. Ceritanya nanti tentu tak akan lebih menarik dan lebih seru dibanding cerita surat yang lain.
Tapi setelah menarik nafas dan memejamkan mata, ia pun mulai bercerita. Bagai sebuah tirai layar mengalirlah sebuah cerita klasik. Sebuah pergumulan antara si kuat dan si lemah. Di sebuah desa di tepi kali. Wajah ibu-ibu hamil. Pos ronda tempat para bapak berkumpul malam hari. Anak-anak SD yang berlarian di gang sempit. Semua mengalir dari surat beramplop putih aagak kekuningan itu. Namun, tiba-tiba saja semua gambaran kedamaian itu lenyap. Diberangus sepatu-sepatu lars. Suara bising bulldozer. Teriak kesakitan. Ceceran darah.
Dan asap yang mengepul dari rumah yang sengaja dibakar. Si lemah berduka. Surau yang mereka dirikan dengan bergotong royong sudah rata dengan tanah. WC umum juga sudah duluan habis dibakar. Pos ronda cuma tersisa atapnya saja. Semua tertunduk. Mereka tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menangis. Ya, cuma menangis.
Surat beramplop putih agak kekuningan itu cepat-cepat mengakhiri ceritanya. Nafasnya terengah-engah. Nafasnya sesak. Matanya berkunang-kunang karena digenangi air mata. Sejurus kemudian ketika memandang ke sekeliling ia terkejut. Karena semua surat menangis. Tubuh mereka tersentak-sentak menahan haru yang dalam. Lalu meja pak Gubernur basah oleh air mata.
Surat beramplop putih agak kekuningan itu terdiam. Ia sudah tak bisa menangis lagi. Menjelang pagi surat-surat itu berangkulan. Mereka berpelukan erat berbagi kedukaan.
Kemudian atas kesepakatan bersama, surat beramplop putih agak kekuningan itu diletakkan pada tumpukan paling atas. Agar besok ia yang dibaca pak Gubernur pertama sekali.

No comments:

Post a Comment