Sudah puluhan
tahun surau itu berdiri. Pendirinya kabarnya para tetua kampung ini. Tapi tak
ada yang tahu siapa tetua kampung itu. Semua orang tua di kampung ini memang
sudah menghadap ilahi. Jadi tak ada lagi yang bisa ditanyai tentang siapa yang
membangun surau itu.
Sudah puluhan
tahun surau itu berdiri. Tak ada yang tahu persis kapan surau itu dibangun.
Tetapi melihat dari bentuknya tentu sudah lama sekali. Dinding-dindingnya
terbuat dari papan kayu jati tua, sementara sementara atapnya ditutup dengan seng
yang sudah keropos.
Sudah puluhan
tahun surau itu berdiri. Surau bernama Al-Ikhlas. Nama itu pun tak ada yang
tahu siapa yang memberikan. Tapi semua orang di kampung menyebutnya surau
Al-Ikhlas. Walaupun tanpa papan nama.
Sudah puluhan
tahun surau itu berdiri. Menjadi oase bagi penduduk kampung untuk mendekatkan
diri pada penciptanya. Setiap waktu sholat, surau itu selalu ramai oleh
penduduk kampung. Surau itu paling tidak bisa menampung 100 jemaah. Cukuplah
untuk sebuah kampung kecil. Mereka membuat syaf rapi dan menjalankan sholat
dengan takzim.
Sudah puluhan
tahun surau itu berdiri. Tapi tak ada yang menjadi nazir di surau itu, tetapi
surau itu tetap bersih dan terawat. Penduduk kampung memang selalu membersihkan
surau secara bergotong royong. Pintu surau pun dibiarkan saja tidak pernah
terkunci. Jadi siapapun yang ingin beribadah bisa dengan leluasa masuk ke dalam
surau.
Sudah puluhan
tahun surau itu berdiri. Tak ada yang pernah mempersoalkan arah kiblat surau.
Pokoknya surau itu menghadap ke arah laut. Soal arahnya ke timur atau barat,
tak ada yang memikirkannya.
Sudah puluhan
tahun surau itu berdiri. Ketika seorang musafir yang entah datang darimana
mengunjungi surau itu. Disinilah awal persoalannya.
Musafir yang
sudah berusia puluhan tahun itu mengatakan mesjid itu tidak menghadap kiblat. Penduduk
kampung terperangah. Setelah puluhan tahun, mereka baru menyadari bahwa kiblat
surau mereka salah. Tak ada yang tahu mengapa kiblat itu tiba-tiba menjadi salah
arahnya.
No comments:
Post a Comment