Tuesday, 28 August 2012

It's Sony

Aulia Andri

It’s Sony! Slogan inilah yang ditampilkan pada iklan-iklan di seluruh produk Sony Corporation. Perusahaan elektronik asal Jepang ini memang sudah mendunia. Produknya merambah kemana-mana, dari mulai pita kaset, televisi, radio, video recorder hingga yang paling anyar Sony Play Station.



Dalam rentang waktu 57 tahun, Sony Corporation berkembang menjadi produsen segala macam barang-barang elektronik. Bahkan nama Sony kini sudah disejejarkan dengan Coca Cola, minuman bersoda asal Amerika Serikat.



Namun, Sony Corporation punya perjalanan panjang untuk meraih hasil seperti sekarang. Masa-masa sulit itu kini sudah terlewati, berganti dengan masa keemasan. Padahal, ketika didirikan tahun 1946 di Tokyo, Jepang, perusahaan yang bernama asli Tokyo Tsushin Kogyo Kabushiki Kaisha ini hanya mempunyai 20 karyawan. Dan sekarang, siapa sangka Sony Corporation mempunyai karyawan tak kurang 173 ribu di seluruh dunia.



Adalah Akio Morita dan Masaru Ibuka yang menjadi sahabat karib sejak masih kuliah di Jurusan Fisika, Universitas Imperial Osaka, Jepang. Ketika lulus kuliah, di tahun 1944, keduanya acap kali masih bertemu. Mereka mendiskusikan mengenai keinginan menciptakan perusahaan elektronik. Niat itu baru bisa diwujudkan pada May 1946, setelah Jepang di bom atom Sekutu, 16 Agustus 1945. Runtuhnya perekonimian di Jepang, tak memudarkan semangat kedua Fisikawan ini.



Keduanya kemudian bekerja keras untuk mewujudkan impian membuat sebuah perusahaan elektronik besar di dunia. Selain banyak melakukan riset elektronik di Jepang, Morita juga acap kali mengadakan kunjungan ke Amerika. Tujuannya, untuk menjajaki pasar di sana.



Morita melakukan perjalanan pertamanya ke Amerika pada tahun 1953. Dalam perjalanannya ini Morita banyak mempelajari tentang perekonomian dan pasar produk-produk elektronik di Amerika dan Eropa.



Selain memperlajari pasar produksi barang elektronik di Amerika, Morita juga menyempatkan diri berkunjung ke pabrik elektronik Philips. Morita kemudian bertolak ke Belanda tempat kedudukan Philips Electronics. Betapa terkejutnya Morita ketika menyaksikan keberadaan Philips Electronics. Salah satu perusahaan elektronik terbesar di dunia itu ternyata berkantor pusat di Eindhoven, sebuah kota kecil di Belanda.



Morita pun merasa tertantang. Selama ini dalam benaknya ada rasa rendah diri, karena perusahaannya bersama Ibuka berasal dari Jepang, sebuah negara Asia, yang kala itu belum begitu diperhitungkan. Namun demi melihat kenyataan Philips Electronics, Morita menjadi lebih bersemangat. Dia ingin menjadikan perusahaannya Tokyo Tsushin Kogyo Kabushiki Kaisha seperti Philips Electronics. Maka Morita menulis surat pada Ibuka yang mengurusi perusahaan mereka di Jepang. Isinya, Morita menantang Ibuka untuk menjadikan Tokyo Tsushin Kogyo Kabushiki Kaisha sebesar Philips. ”Jika Philips mampu melakukan itu, mengapa kita tidak,” tulis Morita.



Setelah kembali ke Jepang, mulailah Morita membangun mimpinya bersama Ibuka. Mereka memproduksi banyak barang-barang elektronik. Salah satu produk mereka adalah sebuah radio saku yang diciptakan tahun 1955.



Ide membuat radio saku ini sebenarnya terinspirasi dari radio transistor yang sebelumnya sudah ada dan dikembangkan oleh Bell Labs dan diproduksi oleh Western Electric. Morita dan Ibuka kemudian memodifikasi temuan radio transistor itu radio saku. Setelah melewati proses penyempurnaan yang memakan waktu hingga dua tahun, mereka meluncurkan radio saku itu pada tahun 1957.



Kenyataannya, radio saku itu hanya mendapat sedikit respon. Masyarakat Amerika tidak begitu saja bisa percaya produk elektronik dari luar Eropa dan Amerika. Apalagi, sebuah produk elektronik dari Jepang. Namun, Morita dan Ibuka tak mengenal kata putus asa. Radio saku itu tetap dipasarkan di Amerika. Akhirnya, radio saku itu berhasil menembus pasar. Tak hanya di Jepang, di Amerika produk ini mejadi market leader. Permintaan akan radio saku yang bisa didengarkan sambil berjalan atau bersepeda itu meningkat. Tokyo Tsushin Kogyo Kabushiki Kaisha sampai kewalahan untuk memenuhi permintaan pasar.



Produk radio saku ini pula yang pertama kali diembel-embelin “Made In Japan”. Pasalnya, Morita dan Ibuka ingin memperkenalkan produk Jepang kepada dunia. Mereka menginginkan bahwa radio saku itu benar-benar di produksi oleh Jepang, negara yang baru bangkit setelah kalah di perang dunia kedua.



Harapan Morita dan Ibuka untuk mengubah pandangan bahwa barang-barang dari Jepang, murahan dan imitasi dapat dihapus. Apalagi ketika itu, barang-barang produksi Jepang memang dianggap imitasi murahan dan sama sekali tak bermutu. Pandangan itulah yang kemudian ingin berubah. Produk pertama ini ternyata mempunyai dampak positif terhadap persepsi barang-barang buatan Jepang. “Made In Japan” menjadi trade mark barang elektronik yang berkualitas dan bersaing di pasaran.



Menyadari perkembangan perusahaan mereka, Morita dan Ibuka, sepakat merubah nama Tokyo Tsushin Kogyo Kabushiki Kaisha. Maka dicarilah nama yang mudah diingat, simpel dan familiar di masyarakat Amerika. Akhirnya, Tokyo Tsushin Kogyo Kabushiki Kaisha, nama yang mematahkan lidah itu diganti dengan Sony diganti pada tahun 1958. Kata Sony ini diambil dari Sonus –bahasa Latin yang berarti bunyi- yang dianggap akan lebih akrab di telinga publik Amerika.



“Tanpa merek Sony, Sony tidak akan mungkin menjadi sebuah perusahaan global hari ini,” kata Nobuyuki Idei, Presiden of Chief Executive Officer (CEO) Sony Corporation, seperti yang ditulis Martyn Williams dalam Newbytes.com.



Ketika mengganti nama itu, Morita sudah berpikir jauh ke depan bahwa Sony harus menjadi sebuah produk yang mendunia. Maka lima tahun kemudian, Morita memutuskan untuk pindah ke New York, Amerika. Dengan membawa serta keluarganya Morita bertekad menjadikan Sony sebuah perusahaan yang global.



Ketika itu, Morita yang duduk sebagai Wakil Presiden Eksekutif bekerja keras untuk mengembangkan Sony. Dia melakukan berbagai perjalanan untuk mempromosikan produk-produk Sony. Kala itu, pusat perusahaan Sony masih diproduksi di Jepang.



Morita dan Ibuka dengan serius membangun Sony. Mereka menjadikan Sony sebagai perusahaan modern yang siap untuk mendunia. Morita yang sejak tahun 1959 duduk di kursi Wakil Presiden Eksekutif, kemudian menjadi Ketua CEO di tahun 1976. Pada tahun 1989, Morita duduk sebagai Ketua Dewan Sony Corporation, dan kemudian mundur selangkah demi selangkah dari Sony setelah duduk sebagai Ketua Dewan Kehormatan Sony Corporation.



Sony sangat beruntung mempunyai seorang pendiri seperti Morita dan Ibuka. Kedunya tak hanya piawai dalam hal teknologi tetapi juga dalam pemasaran. Morita dengan kepiawaiannya terbukti berhasil meyakinkan pasar untuk membeli produk-produk Sony.



Maka tak berlebihan John Nathan, penulis buku Sony: The Private Life, menyebutnya sebagai master marketer. Citra kosmopolit Akio Morita banyak berpengaruh dalam menggiring Sony keluar dari Jepang. Ia taipan Jepang sejati yang penuh kesantunan Timur dalam berbisnis, sekaligus pengusaha yang mahir berpikir secara "Barat"-salah satu kunci menguasai pasar internasional.






SONY dan Inovasinya


Penemuan yang paling monumental bagi Sony adalah ketika tahun 1979, pabrik Sony di Jepang menemukan walkman. Ide awalnya memang dari Morita. Ketika itu, Morita berpikir untuk menciptakan sebuah alat untuk memutar kaset yang bisa dibawa kemanapun.



Sebelumnya orang memang bisa mendengarkan musik melalui headphone yang menghubungkan telinga dengan radio atau alat pemutar kaset yang terpasang di rumah atau di mobil. Namun, dengan walkman ciptaan Morita memungkinkan orang mendengarkan musik sambil berjalan kian kemari atau melakukan aktivitas lain.



Ide Morita untuk membuat walkman tidak semulus pikirannya. Para staf pemasaran Sony di Jepang merasa ide itu sama sekali tidak realistis, alias jauh api dari panggang. Morita pun menantang para staf pemasaran yang merasa pesismis dengan idenya. Di awal tahun 1980-an, Morita menemui stafnya di Tokyo. Mereka membicarakan walkman penemuan Morita.



Kepada Morita para staf mengungkapkan bahwa mesin penemuan itu tdiak akan laku dipasaran. Penemuan yang kelak dikemudian hari menggegerkan sejarah industri elektronik modern, dianggap tidak akan dapat menjaring pasar karena tidak dilengkapi teknologi perekam.



Namun, Morita malah ganti menantang. Dia menawarkan jika dalam waktu satu tahun Sony tak berhasil menjual 100 ribu unit walkman, Morita akan lengser sebagai Ketua CEO Sony Corporation. Hasilnya? Diluar dugaan, dalam waktu singkat, Sony malah kewalahan memenuhi jutaan unit pesanan walkman dari seluruh dunia.



Maka itu, walkman memang layak disebut sebagai bintang berbagai penemuan Sony. Dunia bahkan mengakui bahwa radio dan mesin pemutar kaset pribadi mini itu sebagai produk khas Sony. Dunia pun mengakuinya sebagai produk revolusioner yang telah mengubah cara orang mendengarkan musik.



Dan inovasi itu tidak pernah berhenti. Dengan plastik yang memberi impak tinggi serta peningkatan sirkuit elektronik yang dilakukan terus-menerus, dari tahun ke tahun walkman tampil makin kecil, ringan, dan menghasilkan suara yang lebih baik.



Inovasi Sony berikutnya adalah menciptakan compact disk. Selanjutnya, Sony mulai memperkenalkan banyak temuan-temuan teknologi. Dibawah kepemimpinan Morita yang duduk di kursi Ketua CEO Sony Corporation, Sony mengembangkan banyak hal. Sony memperkenalkan teknologi stereo. Membuat Betamax, video kaset recorder. Selain itu juga menemukan sistem trinitron, metode baru untuk memproyeksikan gambar berwarna ke televisi. Serta membuat Mavica, kamera tanpa film.



Setelah berhasil mewujudkan impian Morita dengan walkman-nya, para insinyur Sony di Tokyo mulai berpikir ke depan. Mereka tak ingin sekedar mengutak-atik penemuan Morita. Maka pada 1984, Sony menghadirkan walkman untuk memainkan compact disc (cakram padat). Sebuah invovasi yang lagi-lagi membuat nama Sony jadi benar-benar diperhitungkan.



Di tahun 2000, Sony membuat kejutan baru. Dengan menggandeng Philips Electrics, kedua perusahaan ini menciptakan super-audio compact disc (SADC). Kolaborasi dua perusahaan raksasa yang berpusat di Jepang dan Belanda ini menciptakan sosok cakram padat yang tipis, bening dengan kualitas suara yang dahsyat. Inilah format penyimpanan suara digital paling mutakhir (TEMPO NO. 35/ 5 Nov 2000).



Inovasi Sony kemudian merambah kemana-mana. Di pertengahan tahun 1990-an, Sony menggebrak dunia dengan meluncurkan Sony Play Station melalui Sony Computer Entertainment (SCO). Sebuah piranti permainan (game) yang membuat Sony jadi bahan percakapan. Konsep home entertainment yang diusung dengan dukungan teknologi cakram padat hasil inovasi Sony di tahun 1984. Halsilnya di tahun 2001, tercatat pemilik video game PlayStation 1 dan 2 sebanyak 30 juta orang.



Keberhasilan Sony Play Station, membuat Sony Computer Entertainment (SCO) berpikir untuk mengembangkan Sony Play Station 2. Berkolaborasi dengan Sega Corporation, perusahaan video game asal Jepang, kedunya mengembangkan konsep one stop entertainment. Cara kerjanya memungkinkan pengguna produk mainan kedua perusahaan itu memainkan video game melalui internet. Aliansi ini merupakan kerja sama jaringan yang pertama sehingga akan memperluas pasar game melalui media online. Kerja sama antara Sega dan Sony, juga merupakan strategi online Sony yang mengklaim bahwa pembuatan Sony Play Station 2 itu dijadikan sebagai pusat home entertainment, bukan sekedar mesin mainan saja.



Sony memang tak pernah berhenti untuk melakukan inovasi. Dan itulah yang menjadi semangat Morita dan Ibuka. Walau telah meninggalkan Sony, semangat kedua founding fathers Sony itu masih tetap dipertahankan.

"Walaupun keduanya (Morita dan Ibuka) telah meninggalkan kami. Mereka telah mewariskan semangat dan perjuangan kepada kami. Kami yakin visi dan nilai-nilai yang ditanamkan dua orang besar itu akan menyerap dalam akar kehidupan Sony,” kata Nobuyuki Idei, President of Chief Executive Officer (CEO) Sony Corporation.



No comments:

Post a Comment