Mencegah Bencana Komunitas
Bencana alam yang terjadi silih berganti di negeri yang tercinta ini seolah tak pernah habis. Belum lagi selesai satu soal, muncul lagi permasalahan lain. Bencana memang sebuah peristiwa yang tak terduga. Ia hadir atas kehendak tuhan, yang dibaliknya tersembunyi rencana besar.
Gempa bumi yang mengguncang Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah, lantas gempa dan tsunami di Pangandaran, lalu yang terakhir bencana kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan yang mengakibatkan kabut asap di kawasan Asia Tenggara, menjadi pembicaraan hangat beberapa pekan ini. Pertanyaan yang paling sederhana muncul dalam benak kita adalah apa yang sebenarnya sedang terjadi? Jika para ahli geologi berpendapat macam-macam soal bencana gempa dan tsunami ini, kita mungkin sudah banyak membacanya. Tetapi apa yang akan terjadi dalam struktur sosial masyarakat kita, perlu lah untuk dicermati lebih jauh.
Dalam banyak kasus penanganan bencana, kita selalu berhadapan dengan sebuah momok kesemrawutan penanganan bencana. Lihat saja di penanganan bencana di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nias. Pemerintah terpaksa membentuk Badan Rekonstruksi dan rehabilitas (BRR) untuk menangani proses recovery pascabencana. Namun, selesaikah persoalan ketika BRR dibentuk? Tentu saja tidak. Sederet persoalan yang sebagian besar persoalan koordinasi dan berujung pada rasa ketidakadilan muncul. Pemerintah memang telah membentuk Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (Bakornas PBP). Bahkan disetiap daerah juga dibentuk Bakorda yang diketuai oleh para pejabat daerah. Tapi persoalan ini tak kunjung selesai. Setiap ada bencana, carut-marut penanganan bencana dan pengungsi selalu menjadi hal yang menyertainya.
Bisa dikatakan, penanganan bencana dan pengungsi yang dilakukan pemerintah saat ini masih bersiap partial (terpisah-pisah). Namun hal ini boleh dimaklumi karena negeri ini memang belum punya perangkat payung hukum yang mengatur tentang bencana nasional. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanganan Bencana sudah mendesak untuk segera disahkan agar menejemen penanganan bencana dan pengungsi tak lagi menjadi soal pelik.
Disester Communication
Bencana (disester) yang terjadi sering kali diikuti dengan bencana komunikasi (disester communication). Keterbukaan informasi, merupakan sebuah kata sakti yang harus menjadi kepercayaan bersama. Jumlah dana bantuan, jumlah pengungsi yang membutuhkan pertolongan dan jangka waktu penanganan bencana haruslah dibuka selebar-lebarnya kepada publik. Krena dalam menghadapi berbagai bencana yang melanda negeri ini, kita seharusnya membangun sebuah menejemen krisis (crisis management) secara benar. Terjadinya bencana (disaster) tentu tidak harus diikuti dengan bencana komunikasi (disaster communication). Publik harus tahu apa yang telah dikerjakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Publik harus percaya bahwa pemerintah tidak pernah diam, apalagi tidur menghadapi derita rakyatnya. Maka itu, keterbukaan informasi, haruslah menjadi sebuah kata sakti yang menjadi kepercayaan kita.
Mencegah Bencana Komunitas
Keterbukaan informasi juga penting untuk mencegah bencana komunitas yang mungkin terjadi dalam proses recovery sebuah wilayah yang terkena bencana. Pembagian dana recovery serta adanya penjelasan tentang mekanisme pembagian dana tersebut penting dilaksanakan dengan baik. Konflik horizontal akibat pembagian dana yang tidak merata, sangat berpeluang terjadi dalam setiap bencana yang melanda. Di tengah keputusasaan masyarakat korban bencana, mereka sering kali berpikiran kalut. Seperti api dalam sekam, warga korban bencana alam, sering kali merasa menjadi warga negara kelas dua. Mereka merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah, sehingga sering kali hal ini menjadi bibit-bibit konflik yang tak mungkin padam dalam waktu singkat. Bukan saja menjadi bibit konflik horizontal, ancaman bencana komunitas akibat kurangnya keterbukaan dalam penanganan bencana ini juga akan bisa merembet ke konflik vertikal. Tentunya, masyarakat akan mudah menempelkan stigma bahwa pemerintah tidak peduli pada rakyatnya. Dalam keadaan yang sudah tidak tercipta lagi saling percaya ini, bagaimana berbagai pihak bisa bekerja untuk bersama-sama melakukan proses recovery?
Pelajaran demi pelajaran berharga memang telah kita petik. Bencana demi bencana tentunya tak hanya dimaknai sebagai cobaan yang datang dari tuhan, tetapi juga menjadi pelajaran bagaimana kita mengatasi ujian itu. Tangis dan air mata karena bencana, tentu tak boleh diperpanjang dengan munculnya bencana komunitas. Ketika sesama anak bangsa seharusnya saling bahu membahu membantu sesama, tak perlu ada saling curiga. Karena keterbukaan informasi menjadi kata kunci. Agar, tak ada dusta diantara kita.
Aulia Andri, S.Sos, M.Si, Dosen FISIP UMSU, Alumni Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Koordinator Program Semangat Bangun Yogya Kembali (www.sbykembali.org).
No comments:
Post a Comment