Tuesday 28 August 2012

Film - Naga Bonar Jadi 2

Sabtu (21/4/07) sore kemarin saya bersama teman-teman dosen FISIP UMSU menonton Film Naga Bonar (Jadi) 2. Film ini menurut saya sangat asyik untuk ditonton bersama keluarga. Banyak hal yang bisa dipelajari dalam film ini. Diantaranya soal prinsip, perasaan mencintai dan harga diri (saya sengaja tak ingin menyebut nasionalisme). Terlihat dengan gamblang Naga Bonar sangat mempertahankan ketiga hal diatas dengan kepolosannya.

Soal prinsip, Naga Bonar jelas punya karakter yang sangat kuat untuk memegang prinsip. Sejak film pertama Naga Bonar yang dirilis tahun 1980-an, kita sudah sangat mahfum bahwa sosok ini sangat memegang teguh prinsipnya. Dia rela berjuang (meninggalkan profesinya sebagai copet) untuk mempertahankan kemerdekaan.

Pada jilid ke dua film Naga Bonar ini, diceritakan bahwa si Bon Naga ingin “menjual” kebun kelapa sawit milik Naga Bonar di Medan. Naga Bonar menolak karena banyak hal. Pertama, dia tak setuju kebun sawit itu dijual karena disana ada makam Kirana, Emak dan Si Bujang. Kedua, karena kecintaannya yang sangat dalam pada ketiga orang ini, Naga Bonar sangat tak tega dan merasa sangat tak elok jika sampai ketiga makam itu tergusur. Dan ketiga, Naga Bonar menolak menjual tanahnya karena akan dibeli orang Jepang.

Tiga alasan masalah prinsip ini memang saling berbaur dengan hal-hal lain yang mungkin bisa dipelajari dalam film ini. Soal tiga makam yang ada di kebun sawit itu, Naga Bonar sudah menunjukkan bahwa dia sangat mencintai ketiga orang yang telah dikubur disana. Soal Harga diri, Naga Bonar tak ingin tanahnya (yang didapatnya dari hasil berperang) kembali jatuh ke tangan “penjajah” Jepang.

Adegan lain yang mengharukan buat saya adalah ketika Naga Bonar meminta patung Jenderal Soedirman menurunkan tangannya untuk menghormat. Sesuatu yang absurd memang, tapi adegan ini menurut saya sangat kuat satirnya. Kalau dipikir-pikir, buat apa sih patung Jenderal Soedirman dibuat dengan sikap menghormat. Toh jika pun patung itu dibuat dengan sikap biasa saja, orang pasti sudah sangat mengenal sosok Jenderal Soedirman. Terus terang, saya sangat suka adegan ini.

Ada lagi hal menarik yang layak disimak dalam film ini, misalnya soal sepak bola. Naga Bonar sangat bersikukuh agar di proyek yang sedang di bangun Bon Naga ada lapangan sepak bola. Ini perlu, menurutnya, agar bangsa ini tidak lagi selalu kalah dalam berbagai pertandingan sepak bola, dimanapun juga. Sebuah satir dengan cara pengungkapan yang cerdas menurut saya.

Tetapi bukan berarti film ini tak punya cela. Saya melihat ada sebuah scene yang dipaksakan. Contoh, ketika Naga Bonar ketemu dengan Si Maryam (temannya yang pejuang dan sama-sama pencopet di Medan). Pertemuan ke dua orang ini berlangsung ketika seorang menteri hendak meresmikan proyek Bon Naga. Saya melihat tak ada korelasi scene ini dengan scene-scene lainnya. Bahkan, jika dipikir-pikir kalau pun tak ada scene ini, tak akan mengganggu film ini. Maka menurut saya, scene ini sangat tidak pantas sebenarnya ditampilkan. Jika mau menampilkan Si Maryam, kenapa tak diselipkan saja pada scene-scene lainnya. Biar tidak mengganggu.

Kelemahan lainnya adalah ketika Naga Bonar berputar-putar naik bajaj hingga ke Tanjung Priok. Pada adegan ini sopir bajaj diperankan seorang yang berasal dari etnis Jawa Timur-an. Lantas adegan di Pelabuhan Sunda Kelapa ketika Naga Bonar meminta sopir bajaj itu terus jalan.

“Kalau kita terus jalan, pak. Kita masuk ke laut. Maaf bajaj saya ini bukan kenderaan ampibi,” begitu kira-kira kata si sopir bajaj.

Masak iya, seorang sopir bajaj punya pengetahuan soal kenderaan ampibi. Saya pikir ini dialog yang berlebihan.

Lantas adegan beralih lagi dengan Naga Bonar berganti sopir bajaj. Kali ini yang jadi sopir seorang Betawi (diperankan Opik). Opik kecapekan setelah membawa-bawa Naga Bonar keliling Jakarta. Ketika sampai di pool bajaj, si sopur mengeluh. Dia kemudian meninggalkan Naga Bonar untuk sholat yang masih terlelap di bajaj-nya.

Adegan ini saya rasa agak kurang masuk akal. Mana mungkin ada orang yang bisa tertidur di bajaj. Saya pernah naik bajaj dan hampir bisa dipastikan sulit sekali tidur dalam kondisi bising dan terguncang-guncang. Tapi oke-lah, kita anggap saja hal ini mungkin. Tetapi, apa mungkin juga seorang sopir bajaj meninggalkan penumpangnya terlelap tanpa membangunkannya?

Adegan di pool bajaj ini kemudian disambung dengan bangunnya Naga Bonar dari tidur. Dia kemudian menunjukkan sebuah kartu nama yang berisi alamat. Ada sebaris alamat yang ditulis di kartu nama (yang saya tebak milik Bon Naga).

Lalu disini muncul sosok Umar, sopir bajaj juga. Menurut seorang rekan sopir bajaj yang menunggui Naga Bonar, alamat itu dekat dengan rumah Umar. Umar kemudian mengantarkan Naga Bonar pulang ke rumah Bon Naga.

Menurut saya sampai di adegan ini, agak tidak masuk akal. Kenapa tidak si Umar saja yang menjadi sopir bajaj. Kenapa mesti ada dua sopir bajaj sebelumnya yang menjadi “jembatan” mengenalkan Umar ke Naga Bonar?

Dari perkenalan Naga Bonar dan Umar inilah sebenarnya film dimulai. Adegan demi adegan yang sudah dibangun sejak awal film kemudian menjadi berbagai kebetulan. Rumah Umar, sang sopir bajaj ternyata di belakang rumah Bon Naga, dimana Naga Bonar pernah melihat ada lapangan sepak bola. Nah di dekat lapangan sepak bola itulah rumah Umar. Umar dan masyarakatnya sejak awal memang digambarkan merupakan kelompok masyarakat Jakarta yang tidak beruntung.

Yang tak masuk akal juga, ketika Naga Bonar meminta Umar mengantarkannya ke makam Jenderal Soedirman. Saya sendiri hampir lupa kalau makam jenderal ini ada di Yogyakarta. Nah, si Umar dengan enteng bilang makam Jenderal Soedirman di Yogya. Wah, pintar sekali sopir bajaj ini ya!

Lantas kebetulan lagi muncul. Naga Bonar mengaku sebagai seorang jenderal. Umar kemudian mengatakan anaknya ingin sekali diceritakan soal peperangan. Katanya, ayah Umar tak pernah mau bercerita soal peperangan padahal juga seorang pejuang. Kok ya, kebetulan ya? Ada penumpang bajaj yang kemudian mengaku jenderal dan di sisi lain ada sopir bajaj yang anaknya ingin tahu soal perang kemerdekaan. Wah, terlalu dibuat-buat ini menurut saya. Agak tidak masuk akal.

Adegan ini menurut saya dipaksakan untuk memasukkan sindiran terhadap ketidakadilan yang dialami oleh TNI Angkatan Udara (AU). Adegan ini dijelaskan ketika Umar memperlihatkan piagam pejuang ayahnya, terlihat logo TNI AU. Kita kan tahu TNI AU “terlibat” G30S/PKI sehingga banyak perwira tingginya jadi korban. Ini yang membuat TNI AU terpasung tak bisa berbicara (bahkan membela diri) selama puluhan tahun.

Secara jujur harus saya katakan film ini cukup bagus. Logika film yang dibangunnya cukup masuk akal penonton awam. Walau untuk orang-orang muda (remaja) soal patung Jenderal Soedirman yang menghormat dan logo TNI AU mungkin tidak akan memicu berkerutnya kening.

Begitupun soal ending film ini dibuat tidak mudah ditebak. Saya sejak awal menonton menebak-nebak kemana arah film ini. Saya sempat menebak bahwa Bon Naga akan deal menjual kebun sawit itu setelah urusan soal kuburan Kirana, Emak, dan si Bujang selesai. Tapi tebakan saya salah besar ketika Bon Naga malah menolak deal dengan orang-orang Jepang. Film ini saya lihat sengaja dibuat dengan ending tergantung agar penonton bisa membawa sendiri pikirannya.

Ah, mudah-mudahan sekuel ke tiga film Naga Bonar ini bisa kita tonton lagi. Mudah-mudahan juga om Dedy Mizwar juga tetap sehat untuk terus berkarya memperbaiki mutu film Indonesia. Bahagia juga, setelah sekian puluh tahun tak ada film Indonesia yang bermutu dan hanya dipenuhi film seks dan horor.

Medan, 22/4/07

No comments:

Post a Comment