Tuesday, 28 August 2012

Cerpen - Anakku


Anakku, saat kau membaca tulisan ini, mungkin ayah akan sudah tiada. Ayah, pasti akan sudah meringkuk menjadi tulang-belulang. Menjadi seonggok tengkorak di kubur yang tak pernah kau tahu dimana.
Anakku, bukan salahmu karena menjadi anakku. Kehadiranmu merupakan cintaku pada ibumu. Karena itu, tak ada yang salah dari dirimu. Walaupun mereka bilang aku seorang koruptor, tetapi yakinlah, tak setetes darah pun yang mengalir di tubuhmu berasal dari uang haram.
Anakku, aku memang mati di penjara. Mati dalam keadaan sebagai terdakwa. Ayahmu memang harus menjalani hukuman yang diciptakan manusia. Mungkin, saat kau membaca tulisanku ini, aku sedang menghadapi hukuman yang lain. Hukuman dari Tuhan atas dosa-dosaku.
Anakku, melalui tulisan ini aku hanya ingin menjelaskan padamu. Ketika kutinggalkan engkau di era reformasi, kau memang masih belum mengerti apapun. Jaman memang sedang berubah anakku. Maka itu dengan terpaksa kutinggalkan engkau dan ibumu. Aku sangat sedih ketika ibumu menceritakan padaku, bagaimana engkau bertanya-tanya tentang aku.
“Kemana, Bapak?” Pertanyaanmu cuma dibalas dengan tangisan pedih ibumu. Aku paham, ketika itu ibumu memang tak bisa menjelaskan sepotong kalimat pun padamu.
Anakku, aku memang didakwa sebagai koruptor. Aku terpaksa mendekam di penjara pengap ini selama puluhan tahun. Harta yang kutinggalkan padamu disita hingga ludes. Rumah yang kusiapkan bagimu dan isteriku berteduh dirampas dengan semena-mena.
Jadi, maafkan aku kalau membiarkanmu hidup dalam kemelaratan. Yang perlu kau ingat ketika membaca tulisanku ini, bahwa kemelaratan bukanlah musuh. Jadikanlah dia teman, tetapi jangan kau akrabi. Biarkanlah kemelaratan itu menemanimu, tetapi jangan biarkan dia membelenggumu. Jika memang suatu saat digariskan Tuhan, yakinlah, kemelaratan itu bakal sirna dalam hidupmu.
Anakku, ketika kau membaca tulisanku ini, mungkin kau berpikir aku sedang membela diri dihadapanmu. Sungguh, pikiranmu itu benar-benar salah. Aku tidak akan membela diri lagi. Aku sudah capek membela diri dihadapan pengadilan yang mengadiliku 15 tahun lalu. Pengadilan yang sesungguhnya tidak menyisakan sepotong pun keadilan buatku.
Jadi baca saja tulisanku ini dengan lapang dada, seperti kau membaca cerita pendek, yang sejak kecil aku tahu kau gemari. Kau juga bisa menganggap ceritaku ini sebagai cerita fiksi murahan, karena aku memang tak mahir menulis cerita khayalan.
Anakku, yang kusesali dalam hidup ini hanyalah aku tak bisa melihatmu tumbuh menjadi dewasa. Tembok-tembok penjara yang mengungkungku, terpaksa membuat aku cuma membayangkan dirimu tumbuh dan besar diluar sana. Kuharap dengan tulisanku ini, kau bisa memaafkanku, sekaligus memahami penyesalanku.
Anakku, 15 tahun lalu, aku memang didakwa sebagai koruptor. Aku dijebak dan kemudian dituduh sebagai koruptor. Aku di penjara, dinistakan orang, dan akhirnya harus mendekam di dalam jeruji besi hingga mati.
Aku sebenarnya sudah membela diriku anakku. Mati-matian kusampaikan bahwa diriku tak bersalah. Kukatakan bahwa ini hanyalah kekhilafan yang mungkin bisa dimaafkan. Tetapi aku tetap didakwa bersalah.
Kehidupan keluarga kita seketika remuk. Harga diriku pun tak jauh berbeda. Aku, yang biasanya dihormati dimanapun sebagai tokoh masyarakat, tokoh LSM, pengamat politik, akhirnya harus menerima kenyataan ini.
Anakku, ketika kau membaca tulisanku ini, mungkin dunia di luar sana telah berubah. Orang-orang yang dulu menjebakku mungkin kini disebut pahlawan. Tahukah kau anakku? Batas antara seorang pahlawan dan penjahat itu cuma selembar rambut dibelah tujuh. Banyak contoh yang bisa kau baca di buku-buku sejarah kelak. Maka itu, aku minta kau rajin-rajin membaca.
Anakku, pesanku yang paling penting dalam tulisan ini, cuma satu. Janganlah kau mendendam pada orang-orang yang telah menghancurkan hidup keluarga kita. Janganlah kau menyimpan benci pada pengadilan yang telah menistakanku seperti ini. Janganlah kau memberontak pada pemerintah yang telah berlaku tak adil padaku.
Ketika tulisan ini aku buat, aku mendengar banyak orang putus asa dan membenci orang lain dengan meledakkan bom bunuh diri. Aku harap, dan ini merupakan permintaan terbesarku, janganlah kau menganggap perbuatan seperti itu sebagai hal yang paling benar. Banyak hal yang bisa kau kerjakan selain membunuhi orang dengan berdalih jihad.
Anakku, sepekan ini asmaku mulai sering kambuh. Mungkin umurku sudah tak lama lagi. Maka itu atas semua dosaku padamu, juga ibumu, aku memintakan maaf. Kuharap dengan pesan ini, kau bisa mengerti dan sedikit mengenal siapa aku. Bahwa aku bukanlah seorang koruptor seperti yang didakwakan pengadilan manusia itu.

Cipinang, 7 November 2005

Tertanda


Bapakmu

NB: Kepada sipir penjara yang menemukan catatan ini, tolong sampaikan pesan ini kepada isteriku.

No comments:

Post a Comment