Tuesday, 28 August 2012

Cerpen - Sebuah Jawaban untuk Cinta

Lelaki itu termenung dalam diamnya. Kegelisahan telah juga menyergapnya sejak tadi. Telepon genggam miliknya bermerek Nokia, telah banjir oleh keringatnya sendiri. Dari tadi telapak tangannya basah. Dia mendengarkan wanita itu berbicara. Nadanya jelas menunjukkan dia dan wanita itu sangat gelisah.
“Katakanlah sekali lagi, kamu cinta padaku.”
Wanita itu kembali mengulang pernyatannya. Mungkin juga sebuah pertanyaan. Sudah 30 menit berbicara di telepon seperti ini, wanita itu masih saja mengulang-ngulang soal cinta.
“Kamu benar-benar cinta padaku? Sampai kapan?”
Ah, wanita ini memang benar-benar nekat. Ia masih saja mengulang pertanyaan itu. Padahal sudah sejak tadi dia menebar tanda bahwa tak suka dengan pertanyaan itu. Apa sih sebenarnya arti sebaris kalimat “cinta”. Lelaki itu termenung, memikirkan kata-kata yang tepat untuk diucapkannya pada wanita itu.
“Terus terang aku sayang kamu. Kamu wanita paling cantik yang pernah aku temui. Kamu wanita terindah, wanita paling menggairahkan sepanjang hidupku,” lelaki itu berkata.
“Kamu gombal, kamu juga mengatakan hal yang sama dengan pacar-pacarmu.”
“Tidak....Kamu kok nggak percaya sama aku sih?Aku sudah berkata jujur.”
Wanita itu diam saja. Mungkin dia berpikir. Lelaki itu mendengar beberapa gerutuan di belakang wanita itu. Suara orang yang kesal karena menunggu terlalu lama. Wanita itu pasti menelepon dari telepon umum. Pantas saja berisik sekali suaranya.
Gila lelaki itu tidak habis pikir, jika wanita itu menelepon dirinya dari telepon umum. Mereka sudah berbicara di telepon ini selama 30 menit. Pasti banyak orang yang antri di belakang wanita itu.
“Kok lama banget sih nelponnya?”
Lelaki itu tersentak, suara Nova, sekretarisnya memanggil dari ruangan lain. Dia menggenggam telepon genggamnya dengan lebih erat, lalu menjulurkan kepala dari pintu kamar mandi, sambil berkata ,”Maaf sayang, ini teman lama yang nelpon.”
Nova cuma mendengus. Tubuhnya yang dibalut selimut masih terlentang di ranjang. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke pesawat televisi yang ada di depan ranjang.
Lelaki itu kembali menutup pintu kamar mandi dan melanjutkan pembicaraan yang terputus tadi.
“Aku cuma salah satu di antara mereka, aku cuma salah satu dari wanita-wanita itu, aku tidak ada artinya bagimu.”
“Ah, siapa bilang. Kamu tahu, cuma kamu wanita yang ada di hatiku. Aku tak akan bisa melupakanmu. Bahkan saat aku bersama wanita lain.”
“Ternyata kamu memang bohong, kamu tidak mencintaiku,”katanya.
“Tidak, sayang....”
“Kamu ini bagaimana sih? Kamu tahu kan aku sayang padamu, aku selalu kangen padamu. Aku cinta sekali padamu, kamu jangan begitu, dong!”
Lelaki itu terdiam lagi. Diberondong pertanyaan dan pernyataan bertubi-tubi seperti itu, dia jadi tak bisa berkata-kata lagi.
“Sayang, kamu kok lama banget sih? Aku sudah nggak tahan nih. Kamu tega deh, ninggalin aku sendiri,” suara Nova kembali memanggil lelaki itu di pintu kamar mandi.
Lelaki itu tergagap. Buru-buru dibukanya pintu kamar mandi. Lalu dilihatnya Nova berdiri di depan pintu, dengan rambut kusut masai, dengan tubuh setengah telanjang dan hanya dibalut selimut, dengan mata redup nan sendu.
“Sabar ya sayang, ini urusan maha penting. Sebentar lagi aku menyusul.” Lelaki itu lantas menutup pintu kamar mandi dan menguncinya dari dalam.
Lelaki itu kemudian menarik nafas dalam-dalam dan menyadari dirinya terjebak dalam situasi yang sulit. Wanita itu, yang berada di ujung kawat telepon, masih memaksanya untuk mengucapkan kata cinta. Sedangkan, di kamar hotel yang disewanya selama dua jam, Nova menunggu dengan pasrah di atas ranjang.
****
“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Walaupun kau akan jadi peyot dan jelek. Tak ada wanita lain yang bisa menggantikanmu. Kamu tahu cuma kamu wanita yang bisa mengerti aku,” lelaki itu berkata sambil berbisik. Suaranya sengaja ditekan dalam-dalam saat mengucapkan kata cinta. Dia seolah takut kata-kata cinta itu menyusup keluar dari kamar mandi yang kini mengungkungnya. Dia tak ingin kata-kata itu menebar bagai virus yang bisa melenakan siapa pun.
“Kapan pun, dimana pun, kamu tetap satu-satunya wanita yang aku cintai. Tak ada yang lain,” lelaki itu menyambung bisikannya.
Wanita diseberang telepon itu mendesah. Aroma keriaan bertebaran, bahkan hingga mengalir dari kabel-kabel telepon.
“Sudah cukupkah aku mengatakan kata cinta. Sudah percayakah kamu akan cintaku padamu?”
Wanita itu diam saja. Dia belum bisa menenangkan hatinya. Kata cinta yang diharapkan dari lelaki ini telah dilunaskannya. Apalagi yang ditunggunya, dia kini bisa tenang membayangkan lelaki itu.
“Satu koin lagi, ya? Ngomong cinta lagi, dong.”
Lelaki itu terhenyak. Lantas dia mendengar bunyi klik yang berarti satu koin lagi telah meluncur.
“Masih cintakah kamu pada istrimu?”
Lelaki itu diam saja. Tadi dia berpikir setelah mengucapkan kata cinta wanita itu akan puas dan segera mengakhiri pembicaraan ini. Tetapi sekarang dia malah bertanya macam-macam. Diaraihnya tisu kloset untuk mengelap wajahnya yang berkeringat. Dipandanginya wajah tua itu dari cermin yang ada di toilet. Raut wajah itu sudah kelihatan tua. Ada sebaris kumis yang melintang di atas bibirnya. Ada alis yang tak lagi bisa dikatakan hitam. Ada rambut yang mulai ditumbuhi uban.
“Katakan yang jelas, apakah kamu masih mencintainya?”
“Kamu masih tidur dengan dia?”
“Tentu saja aku masih mencintainya. Aku juga masih tidur dengannya. Aku masih menjadi suaminya kan?”
Wanita itu terdengar tersentak. Dia sepertinya benar-benar tak siap untuk mendengar jawaban seperti itu. Sebuah isak keluar juga dari tenggorokannya. Lalu terdengar dia mendengus seperti membuang ingus.
“Kamu kok bisa, sih? Kamu tega sekali padaku. Sebetulnya kamu tidak mencintai aku.”
“Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku apa sih artinya cinta?”
Lelaki itu baru saja akan menjelaskan banyak hal ketika dia mendengar nada sambung telepon yang terputus.
Tut...tut....tut....
Lelaki itu menghempaskan kepalan tangannya yang masih menggenggam handphone ke udara kosong. Dia seperti menyalurkan kekesalannya karena belum sempat memberi jawaban pada wanita itu. Sebuah jawaban tentang cinta yang selama ini disimpannya. Sebuah jawaban untuk cinta yang selama ini dipahaminya.
“Sayang......sayang.......ayo dong.....kamu cinta gak sih sama aku?” Suara Nova dari balik pintu kamar mandi memanggil lelaki itu. Dia diam saja tak menyahut panggilan itu. Wanita yang tadi meneleponnya juga dulu sekretarisnya. Mereka terlibat hubungan badani yang tak pernah diartikannya sebagai cinta.
Sayang....sayang.....kalau kamu tidak juga keluar, aku akan minggat!” suara Nova mengancam setelah lama lelaki itu tak juga menjawab.
Brak.....terburu-buru lelaki itu membuka pintu dan melihat Nova berdiri di depan pintu dengan wajah kesal.
“Apa aja sih yang kamu bicarakan. Kamu punya pacar lagi ya? Kamu gak cinta sama aku lagi ya?”
“Siapa bilang. Aku cinta kamu kok!”
“Jadi siapa yang tadi menelepon kamu. Kok bisik-bisik gitu suaranya?”
“Kan tadi sudah aku bilang, cuma seorang teman.”
“Dasar lelaki! Kalau saja aku tidak terlanjur mencintaimu tak akan mau aku diperlakukan begini.”
“Kok kamu begitu sih?” lelaki itu menyeringai mendengar ucapan Nova.
“Lha iya, kamu memang lelaki gombal. Rupanya bukan hanya aku wanita yang ada di hatimu. Mungkin saja kamu sudah punya pacar lain. Mungkin saja kamu sudah punya istri. Dasar lelaki!”
“Menyesal aku menyerahkan tubuhku padamu. Dua minggu menjadi sekretarismu aku terlalu cepat terlena. Menyesal aku!”
Lelaki itu tak mau menambah runyam persoalan dengan menjawab semua perkataan Nova.
“Sudahlah aku mencintaimu: selalu dan selamanya,” lelaki itu kemudian merangkul Nova yang cuma dibalut selimut. Dibopongnya wanita bertubuh mungil itu menuju ranjang. Sebentar kemudian tawa mereka sudah terdengar. Dan ruangan kembali panas.
Saat gelombang panas dalam dada mereka hampir mencapai ubun-ubun. Saat desahan telah berganti menjadi rintihan, telepon genggam milik lelaki itu kembali berdering.
Kring....kring......kring.....
“Biarkan saja, biarkan saja. Aku tak akan melepaskanmu kali ini,” Nova mengerang sambil mendekap lelaki itu.
Sambil melirik telepon genggamnya di tepi ranjang, lelaki itu sudah tahu siapa yang menghubunginya. Karena dia memang belum memberikan jawaban untuk cinta.

@ tebet, 6 Maret 2005

*) Judul dan cerita ini merupakan “jawaban” dari cerpen “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta” karya Seno Gumira Ajidarma. Beberapa kalimat yang bercetak miring merupakan kalimat dari cerpen tersebut.

No comments:

Post a Comment