Minggu malam (13/05/07) saya tak sengaja lewat di depan rumah mantan pacar saya ketika SMA. Bisa dibilang, dia lah cinta pertama saya. Maka, seketika kenangan manis itu menyeruak saling berebut muncul dalam ingatan saya. Dulu, ketika masih pacaran, saya selalu deg-degan kalau lewat di depan rumahnya. Entahlah, hingga kini perasaan itu pun tak berubah.
Namanya Diah. Kami berpacaran mungkin hampir empat tahun. Kalau saya tidak salah ingat, kami mulai akrab sejak sama-sama kelas dua di SMAN Medan. Saya lupa awal kami berkenalan. Tapi saya masih ingat ketika saya mengatakan cinta padanya. Malam itu, saya menjemput Diah di rumahnya di kawasan Perumnas Helvetia Medan. Kami tidak nge-date di kafe atau bioskop. Sambil naik sepeda motor, saya bilang cinta padanya. Sengaja saya bilang sambil naik motor, karena kalau di tolak saya mau langsung bunuh diri saja (ancaman saya ketika itu, padahal nggak mungkin juga, hehehehe). Saya bilang cinta padanya. Saya bilang sayang padanya. Gombal banget lah. Dia menerima saya dengan syarat saya harus setia. Soalnya, saya memang punya track record buruk yakni mata keranjang di sekolah (hehehehe). Kami akhirnya pacaran. Seingat saya, Diah baru saja putus dengan pacar terdahulunya bernama Badri (kok ya saya masih ingat, heran juga).
Hubungan kami, menurut saya, harmonis sekali. Diah tipe perempuan yang tidak agresif. Dia selalu menerima saya apa adanya. Dia selalu menjadi perempuan yang siap menasehati saya. Siap membantu saya dalam persoalan apapun. Sedangkan saya adalah tipe lelaki yang ingin dimanja perempuan. Saya selalu butuh perhatian untuk meyakinkan diri saya bahwa saya bisa melakukan sesuatu.
Usia kami yang berbeda juga menjadi pendorong saya untuk sangat mencintainya. Diah lebih tua satu tahun di atas saya. Maka secara psikologis, dia tentu lebih dewasa ketimbang saya (karena wanita kan kabarnya lebih cepat dewasa). Harus saya akui saya memang lelaki yang mungkin mengidap penyakit odipus complex (mencintai perempuan yang lebih tua).
Dalam perjalanan hubungan cinta kami, Diah banyak membantu saya. Walaupun kami beda kelas, karena saya ambil jurusan Sosial, sedang dia di Biologi, saya merasakan dia membantu saya all out. Jika saya punya masalah dengan pelajaran, Diah akan selalu ada untuk bisa menjadi inspirator bagi saya.
Pada perjalanan hubungan kami juga perkembangan kreatif saya meningkat. Cerpen saya pertama kali terbit di Harian SIB, ketika kami memasuki bulan-bulan awal berpacaran. Entahlah, dalam perjalanan selanjutnya saya merasakan kreatifitas saya meningkat jika saya selalu didampingi oleh seorang perempuan.
Ketika cerpen saya dimuat di Harian SIB, dia tak bisa membendung rasa bangganya pada saya. Dia bilang, sebagai pacar di bangga dengan saya. Alamak, waktu itu, saya melambung setinggi-tingginya.
Hubungan kami yang begitu dekat membuat gerah orang tua saya. Emak saya tak setuju jika saya (karena alasan masih sangat muda) berpacaran. Padahal saya sudah bilang bahwa pacaran saya ini tidak akan sampai mengganggu sekolah saya. Tapi tetap saja, emak menentang saya. Saya pun tak bisa bilang apa-apa.
Kami kemudian pacaran back street. Pasalnya, jika ketahuan datang ke rumahnya, saya bisa-bisa tak diberi uang jajan. Diah menanggapi ini dengan santai. Dia bilang wajar jika orang tua khawatir anaknya tidak sekolah. Wah.....saya sangat kagum ketika itu dengan kedewasaannya.
Setelah tamat SMA, kami masih terus berhubungan. Bahkan rasa cinta saya makin besar padanya. Saya bahkan punya mimpi (ketika itu) untuk menikahinya. Saya ingin menjadikannya isteri saya. Diah sampai terharu dan menangis ketika saya melamarnya (tidak resmi) untuk kelak menjadi isteri saya.
Saya kemudian kuliah di IKIP Medan. Sedangkan Diah, atas pertimbangannya sendiri memilih untuk mengambil program komputar D3 di salah satu lembaga pendidikan di Medan (saya lupa namanya). Namun saya ingat, saya mengantarkannya mendaftar dan kuliah ke lembaga pendidikan yang terletak di gedung BPDSU Medan.
Tapi entah kenapa. Atau mungkin karena saya lagi jenuh ditentang terus-terusan oleh orang tua saya, saya meninggalkan Diah setelah kami satu tahun tamat kuliah. Saya kemudian menyibukkan diri dengan kuliah tanpa pernah berusaha untuk menghubunginya. Saya hilang bagaikan ditelan bumi. Saya tak lagi ke rumahnya. Saya tak lagi meneleponnya (sebuah kebiasaan yang selama ini saya lakukan). Semua itu saya lakukan tentunya dengan tekanan perasaan. Saya harus akui saya rindu (teramat rindu malah). Tapi saya lelah. Saya ingin lari dan lepas dari persoalan ditentang pacaran oleh orang tua saya.
Saya baru kembali lagi menghubunginya setelah saya dapat pekerjaan sebagai wartawan di Harian Realita Pos. Waktu itu saya minta ia kembali jadi pacar saya. Diah mulanya enggan. Kami bicara banyak. Saya ingat kami pergi ke Brastagi sambil bicara banyak hal dalam perjalanan. Diah tetap tidak mau. Lantas, sepekan kemudian saya datang ke rumahnya lagi. Kali ini dalam keadaan setengah mabuk. Saya memang sedang dilanda frustasi. Saya takut kehilangan dia. Apa yang saya lakukan selama ini sebenarnya untuknya juga. Saya ingin punya kerja, punya uang lalu melamarnya jadi isteri saya. Saya ingin menikahinya sesegera mungkin. Dan jika kini saya sudah punya kerjaan, tapi saya tak mendapatkannya kembali, buat apa lagi saya ada. Saya betul-betul patah hati.
Karena kegigihan saya, Diah akhirnya menerima saya kembali. Kami rujuk dan sepakat untuk saling tetap mencintai. Hubungan manis kami kembali terurai. Saya benar-benar bahagia. Saya kini sudah punya pekerjaan (walau gajinya kecil, tapi saya sudah tak minta-minta lagi sama orang tua), saya kini juga sudah punya calon isteri.
Tapi entah kenapa, saya tergoda dengan banyak perempuan. Ketika kami berpacaran, saya merasakan ada yang kurang dalam diri saya. Selama ini saya memang bertualang, berpindah dari hati satu wanita ke hati wanita lainnya. Jadi ketika saya harus berhubungan dengan satu wanita saja, ada bagian dalam diri saya yang merontah-rontah.
Saya kemudian mulai bermain api. Hubungan saya dengan Diah tetap berjalan, tetapi saya juga punya affair dengan banyak wanita. Saya memacari teman saya di kampus IKIP Medan maupun di UMSU. Saya juga punya pacar di beberapa kampus lain. Saya bertualang. Saya berharap Diah bisa memahami gejolak dalam diri saya. Saya cuma ingin mencari pengalaman dan diri saya sebenarnya.
Hubungan kami mulai merenggang. Saya mulai tak lagi rajin apel malam minggu. Saya mulai tidak meneleponnya. Saya mulai tak memberi perhatian. Akhirnya, kami berpisah. Tanpa kata-kata. Seperti dulu, saya cuma hilang di telan bumi.
Satu tahun berlalu. Saya tersentak ketika suatu hari mendapat kabar Diah menikah. Shit! Saya memaki-maki diri saya. Saya tak bisa memaafkan diri saya sendiri yang bodoh ini. Saya kembali patah hati. Saya merasakan bahwa ternyata saya sangat mencintai Diah.
Saya kemudian melanjutkan petualangan cinta saya dengan banyak perempuan. Sampai akhirnya ketemu Silvianingsih (isteri saya sekarang). Namun ternyata tak mudah melupakan Diah. Saya selalu teringat dia. Terus terang, jika mau disamakan, Silvianingsih sangat mirip dengan Diah. Bahkan kalau saya lihat mereka satu tipe. Sama-sama tipe wanita yang keibuan. Sama-sama wanita yang mau menerima lelaki gombal kayak saya (hehehe).
Untuk melupakan Diah, saya mengikuti Silvianingsih ke Jakarta. Tahun 2000 saya merantau ke Jakarta. Selama tiga tahun saya dan Diah tak punya hubungan. Pada tahun 2001 saya menikah dengan Silvianingsih.
Tahun 2003 saya sempat pulang ke Medan karena emak saya sakit. Ketika itu, saya berjumpa Diah di depan rumahnya. Antara disengaja dan tidak, saya memang ingin mengenang cinta saya padanya. Maka saya melewati rumahnya. Tak disangka ia sedang bermain-main dengan anaknya disana. Saya turun dari mobil dan menyapanya. Dia terkejut. Saya tak bisa menyembunyikan rasa cinta saya. Anaknya pertama telah berumur 3 tahun. Saya senang melihatnya. Kami hanya bercakap sekitar 10 menit. Saya tak enak hati jika nanti ketemu suaminya.
Tapi rasa penasaran saya menjadi-jadi. Keesokan harinya, saya menelepon Diah. Kami bicara hampir satu jam. Intinya, saya minta maaf karena telah mengecewakannya. Saya juga bertanya kenapa dia tiba-tiba menikah.
“Habis, kamu nggak jelas sih. Katanya mau nikah, tapi masih pacaran juga dengan banyak cewek.” Diah.
“Saya akui itu kesalahan saya. Saya sudah menebusnya sekarang. Saya sudah kehilangan kamu. Tapi terima kasih, kamu sudah menjadikan saya lelaki dewasa.” Saya.
Kami kemudian bicara anak, bicara tentang suaminya. Bicara tentang masa depan. Bicara tentang isteri saya. Setelah itu, saya tak pernah lagi bicara dengannya. Terakhir saya melihatnya pada lebaran tahun 2006 di depan rumahnya. Masih tetap cantik. Tapi ketika itu saya bersama isteri saya, makanya saya tak berani menyapa.
Dan malam ini saya kembali lewat di depan rumahnya, berbagai kenangan kembali menyeruak. Karena saya mungkin tak akan bisa melupakannya.
No comments:
Post a Comment