Tentang Minoritas— Abul Fazl Ezzati, intelektual berkebangsaan Iran, dalam sebuah artikel menyoal Konsep Mayoritas dan Minoritas dalam Islam. Menarik mencermati pemikiran Fazl yang melihat bahwa term minoritas maupun mayoritas merupakan seludupan dari dunia barat kedalam “kosakata” kaum muslim.
Kata “minoritas” (al-aqaliyyah) sebagai lawan dari “mayoritas (al-aksariyyah) sama sekali tak ditemukan dalam al-Qur’an. Menurut Fazl, istilah yang digunakan dalam al-Qur’an untuk ummat Yahudi, Nasrani dan beberapa lainnya yang juga menganut agama-agama monoteis —termasuk kaum Muslim— adalah “Ahli Kitab” (the people of scripture). Maka sesungguhnya al-Qur’an tidak memandang apakah mereka berada dalam posisi minoritas atau mayoritas
Sedangkan istilah yang digunakan dalam literatur Islam bagi komunitas non-muslim dalam pemerintahan Islam adalah “Ahl al-Dzimmah” (komunitas yang dilindungi). Hal ini dapat dipahami sebagai berikut: (a) Pemilihan istilah “dilindungi” memberikan konsekuensi kewajiban bagi pemerintahan Islam untuk melindungi (bahkan melayani) warga non-Muslim, dan dengan demikian kata “dzimmi” (dilindungi) memberikan kepastian terjaminnya keamanan serta keselamatan mereka; dan ini tidak bisa diartikan sebagai “ketidakberdayaan” atau “inferioritas”; (b) Istilah “dilindungi” berkaitan dengan kehidupan kelompok non-Muslim dalam pemerintahan Islam, di mana negara bertindak sebagai pelindung serta pemegang mandat yang patuh, dan tak boleh berkhianat atas kewajiban serta tanggung jawab ini; (c) Istilah “dzimmi”, yang tidak bisa dipersamakan dengan kata “minoritas”, bukan menempatkan komunitas non-Muslim dalam komunitas Muslim pada suatu posisi antagonis (saling berhadap-hadapan), dan dengan demikian hubungan di antara mereka tidak didasarkan pada kebencian atau permusuhan, tetapi justru persaudaraan dan kasih sayang.
Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan komunitas muslim yang berada di negeri-negeri non-muslim seharusnya juga tidak boleh diperlakukan sebagai kelompok minoritas. Istilah yang digunakan bagi kaum Muslimin di seluruh dunia adalah “ummah” yang merupakan konsep multidimensi yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu, ikatan ras, dan sebagainya.
Istilah “ummah” tersebut paling tidak memiliki empat dimensi: (a) Ia meliputi kaum Muslimin yang hidup di setiap zaman dan babakan sejarah, sejak datangnya Islam hingga alam baqa; (b) Ia mencakup kaum Muslimin di seluruh dunia tanpa memandang batasan geografi; (c) Ia meliputi segala ras, warna kulit atau pun bentuk tubuh; dan (d) Ia memperkokoh ikatan kerjasama di antara berbagai kelompok dan anggota masyarakat yang meliputi segala bidang kehidupan manusia, baik itu bersifat fisik, spiritual, keuangan, sosial, dan sebagainya.
Oleh karena Islam juga tidak mengenal rasialisme minoritas dan mayoritas, maka kaum Muslimin tidak mengharapkan dilindungi dengan berdasarkan ketidakadilan.
Sejatinya, Islam tidak mendukung praktik-praktik kehidupan nasional yang didasarkan pada pengelompokan minoritas dan mayoritas. Atas dasar itu, kaum Muslimin tidak menghendaki perlindungan yang disertai prasangka karena mereka pun tidak menginginkan melakukan hal yang sama.
Karena kaum Muslimin tidak menganggap diri sebagai suatu kelompok yang menduduki posisi dominan, meskipun misalnya mereka adalah kelompok mayoritas, maka mereka tidak menempatkan diri sebagai yang memiliki privilige dengan hak-hak khusus untuk mengatur kelompok minoritas. Bahkan, dalam keadaan demikian, kaum Muslimin harus berperan sebagai pelindung bagi kelompok minoritas. Sebaliknya, bila kaum Muslimin merupakan kelompok minoritas dalam sebuah negeri (negara), mereka pun mengharapkan kaum non-Muslim, sebagai pihak mayoritas, bisa melindungi mereka dengan perlakuan yang sama.
Semoga tulisan singkat ini bisa membuka mata kita tentang konsep mayoritas dan minoritas di Indonesia. Sehingga, kebutaan semu terhadap supremasi mayoritas tidak akan menjangkiti Muslim di Indonesia. Karena sungguh, itu jauh dari nilai-nilai ke-Islaman.
#AANotes
#RenunganMalam
No comments:
Post a Comment