Wednesday, 13 July 2016

MEMAHAMI PROBLEMATIKA PEMILU INDONESIA


Pasca Pemilu 2014, kini DPR dan Pemerintah RI, sedang menyusun draft revisi UU Pemilu Legislatif (Pileg). Berbagai kekurangan yang dirasakan dalam Pileg 2014 lalu, akan menjadi bahan perbaikan dalam draft UU Pileg yang nanti akan digunakan dalam Pileg 2019. Pertanyaannya apakah hal itu akan mampu menjawab berbagai misi yang diemban sebuah UU Pemilu.
Harus diakui bahwa selama empat kali pemilu di Indonesia, kondisinya sudah menunjukkan perbaikan yang simultan. Hal ini tentu bisa dilihat dari apresiasi dunia internasional yang menganggap Indonesia sudah mampu membangun sistem demokrasinya sendiri. Bahkan, tak dapat dipungkiri adanya harapan bahwa Indonesia akan menjadi semacam role model bagaimana sistem pemilu dikembangkan. Dunia internasional juga sudah melihat bahwa Indonesia mampu membangun sebuah sistem demokrasi secara berkelanjutan melalui pemilu.
Selain itu, pemilu di Indonesia juga sudah berhasil melahirkan konsensus bahwa pemilu merupakan mekanisme pergantian kepemimpinan secara regular dan damai. Pemilu 199, 2004, 2009 dan 2014 sudah dilaksanakan dengan baik serta menghasilkan pergantian kepemimpinan secara damai, dan tidak berdarah-darah. Sehingga, semua pihak, kemudian berupaya menjaga pemilu agar tetap on the track.
Walaupun harus disadari, fungsi-fungsi pemilu seperti menghasilkan pemerintahan yang kuat, membangun parlemen yang berdayaguna, peningkatan partisipasi politik serta membangun sistem kepartaian yang sehat, belumlah sepenuhnya tercapai.
Dalam sebuah diskusi Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), sebuah lembaga non-profit yang memperhatikan pemilu di Indonesia, didapati beberapa fenomena dari empat kali pemilu yang sudah dilaksanakan di Indonesia. Sebagai contoh misalnya, munculnya gejala parlementarisasi sistem presidensialisme, fragmentasi sistem kepartaian yang semakin meluas, volatilitas sistem kepartaian yang tinggi, serta kecenderungan penurunan partisipasi warga negara dalam memilih.
Beberapa indikator yang kemudian bisa menjadi acuan untuk melihat fenomena diatas adalah: 1) Disproporsionalitas Hasil Pemilu. Ini menunjukkan seberapa jauh tingkat ketidaproporsionalan hasil pemilu. Proporsionalitas sendiri diukur berdasarkan senjang antara persentase suara partai dibanding persentasi kursinya. Jika persentase suara partai sama dengan persentase kursi, maka hasil tersebut dinyatakan proporsional. Sedangkan jika terjadi kesenjangan, maka hasil pemilu disebut disproporsional. Sebenarnya, disproporsional sendiri harus diyakini bukanlah fenomena acak. Jelas ini merupakan sesuatu yang berpola dan sistematis. Sebagai ukuran, maka formula yang ditemukan oleh Michael Gallagher yang disebut sebagai Least Square Index (LSq) atau Gallagher Index dianggap oleh para ahli pemilu sebagai ukuran yang paling mencerminkan tingkat disproporsional hasil pemilu. Berdasarkan indeks tersebut, hasil pemilu di Indonesia bisa dibaca sebagai berikut: Pemilu 1999 (LSq 3,50), Pemilu 2004 (LSq 4,59), Pemilu 2009 (LSq 6,16) dan Pemilu 2014 (LSq 2,58). Ini menunjukkan semakin tinggi angka LSq maka dapat dikatakan semakin tidak proporsional hasil pemilu.
2) Fragmentasi Sistem Kepartaian. Untuk mengukur fragmentasi sistem kepartaian, para ahli pemilu bersepakat menggunakan ukuran jumlah efektif partai di parlemen atau effective number of parliamentary parties (ENPP) yang dikembangkan oleh Laakso dan Tageeper. Ukuran ini menunjukkan apakah sistem kepartaian yang terbentuk di sebuah negara  masuk kategori sistem kepartaian sederhana atau meluas/ekstrim. Maka itu, pemilu 2014 yang masuk dalam kategori ENPP 8,2 menunjukkan sistem multipartai ekstrim.
3) Tingkat Volatilitas Sistem Kepartaian. Volatilitas dimaksudkan sebagai fenomena porsi perolehan suara partai sebagai cermin kekuatan politiknya dari satu pemilu ke periode pemilu berikutnya. Ini juga menunjukkan tingkat keajegan sistem politik dan kepartaian dari sisi pemilih.
Kepercayaan pemilih kepada suatu partai dari satu pemilu ke pemilu menjadi indikator utama untuk mengukur indeks ini. Indeks Volatilitas sendiri dikembangkan oleh Mogens N Pedersen, karena itu acap kali disebut sebagai Volatility Pedersen. Kesimpulannya terhadap pemilu di Indonesia, tingkat volatilitas sistem kepartaian di Indonesia masih berada pada kisaran diatas 20 persen. Ini tentu berbeda dengan tingkat volatilitas di negera-negara Eropa Barat yang angkanya berada pada kisaran 7-10 persen.
4) Tingkat Partisipasi Pemilih. Sejatinya tak ada faktor tunggal yang mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi pemilih dalam menggunakan hak suaranya. Namun, satu hal yang harus diperhatikan bahwa tinggi rendahnya partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu merupakan cermin apakah harapan para pemilih untuk merubah sesuatu masih dapat disandarkan pada pemilu. Jika melihat data empat kali pemilu, data partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 (92,99%), Pemilu 2004 (84,07%), Pemilu 2009 (70,99%) dan Pemilu 2014 (75%). Data-data ini menunjukkan tren partisipasi pemilih di Indonesia berkisar antara 70 persen sampai 92 persen.
Data ini menunjukkan bahwa bayang-bayang penurunan jumlah pemilih akan masih tetap ada, walaupun harus diakui bahwa Pemilu 2014 secara nasional berhasil mengangkat pemilih hingga 5%. Walaupun tentu, tingkat partisipasi pemilih di Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, masih jauh dan menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak.
5) Tingginya Suara Tidak Sah. Potret lain dari pemilu di Indonesia terkait dengan masih tingginya suara tidak sah. Lihatlah data tentang suara tidak sah dari pemilu ke pemilu di Indonesia ini: Pemilu 2009 (3,33% atau setara dengan 3,6 juta suara), Pemilu 2004 (9,66% atau setara dengan 10,9 juta suara), Pemilu 2009 (14,43% atau setara dengan 17,5 juta suara) dan Pemilu 2014 (10,76% atau setara dengan 14,3 juta suara).
Dari data tingginya suara tidak sah pada pemilu di Indonesia ini, menjadi pertanyaan besar apakah memang sistem pemilu atau tata cara pemberian suara yang kita terapkan masih dianggap rumit oleh para pemilih.
Dari lima indikator yang telah dipaparkan diatas, harapan bahwa draft revisi UU Pemilu yang kini sedang disusun oleh DPR dan Pemerintah RI akan bisa menjadi lebih komprehensif. Potret-potret persoalan yang muncul dalam Pemilu 2014 tentu akan masih kental dalam ingatan, sehingga diharapkan muncul kesadaran membangun sistem pemilu yang lebih baik di Indonesia. Perbaikan sistem pemilu di Indonesia tentu harus menjadi keniscayaan, karena tanpa sistem pemilu yang baik dan adil, pemilu di Indonesia akan terus berjalan ditempat, bahkan tak mustahil mundur.

Aulia Andri
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sumut
*)opini ini bukanlah merupakan pandangan lembaga
  








No comments:

Post a Comment