Pasca Pemilu 2014, kini DPR dan Pemerintah RI, sedang
menyusun draft revisi UU Pemilu Legislatif (Pileg). Berbagai kekurangan yang
dirasakan dalam Pileg 2014 lalu, akan menjadi bahan perbaikan dalam draft UU
Pileg yang nanti akan digunakan dalam Pileg 2019. Pertanyaannya apakah hal itu
akan mampu menjawab berbagai misi yang diemban sebuah UU Pemilu.
Harus diakui bahwa selama empat kali pemilu di Indonesia,
kondisinya sudah menunjukkan perbaikan yang simultan. Hal ini tentu bisa
dilihat dari apresiasi dunia internasional yang menganggap Indonesia sudah
mampu membangun sistem demokrasinya sendiri. Bahkan, tak dapat dipungkiri
adanya harapan bahwa Indonesia akan menjadi semacam role model bagaimana sistem pemilu dikembangkan. Dunia
internasional juga sudah melihat bahwa Indonesia mampu membangun sebuah sistem
demokrasi secara berkelanjutan melalui pemilu.
Selain itu, pemilu di Indonesia juga sudah berhasil
melahirkan konsensus bahwa pemilu merupakan mekanisme pergantian kepemimpinan
secara regular dan damai. Pemilu 199, 2004, 2009 dan 2014 sudah dilaksanakan
dengan baik serta menghasilkan pergantian kepemimpinan secara damai, dan tidak
berdarah-darah. Sehingga, semua pihak, kemudian berupaya menjaga pemilu agar
tetap on the track.
Walaupun harus disadari, fungsi-fungsi pemilu seperti
menghasilkan pemerintahan yang kuat, membangun parlemen yang berdayaguna,
peningkatan partisipasi politik serta membangun sistem kepartaian yang sehat,
belumlah sepenuhnya tercapai.
Dalam sebuah diskusi Sindikasi Pemilu dan Demokrasi
(SPD), sebuah lembaga non-profit yang memperhatikan pemilu di Indonesia,
didapati beberapa fenomena dari empat kali pemilu yang sudah dilaksanakan di
Indonesia. Sebagai contoh misalnya, munculnya gejala parlementarisasi sistem
presidensialisme, fragmentasi sistem kepartaian yang semakin meluas, volatilitas
sistem kepartaian yang tinggi, serta kecenderungan penurunan partisipasi warga
negara dalam memilih.
Beberapa indikator yang kemudian bisa menjadi acuan untuk
melihat fenomena diatas adalah: 1)
Disproporsionalitas Hasil Pemilu. Ini menunjukkan seberapa jauh tingkat
ketidaproporsionalan hasil pemilu. Proporsionalitas sendiri diukur berdasarkan
senjang antara persentase suara partai dibanding persentasi kursinya. Jika
persentase suara partai sama dengan persentase kursi, maka hasil tersebut
dinyatakan proporsional. Sedangkan jika terjadi kesenjangan, maka hasil pemilu
disebut disproporsional. Sebenarnya, disproporsional sendiri harus diyakini
bukanlah fenomena acak. Jelas ini merupakan sesuatu yang berpola dan
sistematis. Sebagai ukuran, maka formula yang ditemukan oleh Michael Gallagher
yang disebut sebagai Least Square Index
(LSq) atau Gallagher Index
dianggap oleh para ahli pemilu sebagai ukuran yang paling mencerminkan tingkat
disproporsional hasil pemilu. Berdasarkan indeks tersebut, hasil pemilu di
Indonesia bisa dibaca sebagai berikut: Pemilu 1999 (LSq 3,50), Pemilu 2004 (LSq
4,59), Pemilu 2009 (LSq 6,16) dan Pemilu 2014 (LSq 2,58). Ini menunjukkan
semakin tinggi angka LSq maka dapat dikatakan semakin tidak proporsional hasil
pemilu.
2) Fragmentasi Sistem
Kepartaian.
Untuk mengukur fragmentasi sistem kepartaian, para ahli pemilu bersepakat menggunakan
ukuran jumlah efektif partai di parlemen atau effective number of parliamentary parties (ENPP) yang dikembangkan
oleh Laakso dan Tageeper. Ukuran ini menunjukkan apakah sistem kepartaian yang
terbentuk di sebuah negara masuk
kategori sistem kepartaian sederhana atau meluas/ekstrim. Maka itu, pemilu 2014
yang masuk dalam kategori ENPP 8,2 menunjukkan sistem multipartai ekstrim.
3) Tingkat Volatilitas
Sistem Kepartaian.
Volatilitas dimaksudkan sebagai fenomena porsi perolehan suara partai sebagai cermin
kekuatan politiknya dari satu pemilu ke periode pemilu berikutnya. Ini juga
menunjukkan tingkat keajegan sistem
politik dan kepartaian dari sisi pemilih.
Kepercayaan pemilih kepada suatu partai dari satu pemilu
ke pemilu menjadi indikator utama untuk mengukur indeks ini. Indeks Volatilitas
sendiri dikembangkan oleh Mogens N Pedersen, karena itu acap kali disebut
sebagai Volatility Pedersen.
Kesimpulannya terhadap pemilu di Indonesia, tingkat volatilitas sistem
kepartaian di Indonesia masih berada pada kisaran diatas 20 persen. Ini tentu
berbeda dengan tingkat volatilitas di negera-negara Eropa Barat yang angkanya
berada pada kisaran 7-10 persen.
4) Tingkat Partisipasi
Pemilih.
Sejatinya tak ada faktor tunggal yang mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi
pemilih dalam menggunakan hak suaranya. Namun, satu hal yang harus diperhatikan
bahwa tinggi rendahnya partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu merupakan
cermin apakah harapan para pemilih untuk merubah sesuatu masih dapat
disandarkan pada pemilu. Jika melihat data empat kali pemilu, data partisipasi
pemilih pada Pemilu 1999 (92,99%), Pemilu 2004 (84,07%), Pemilu 2009 (70,99%)
dan Pemilu 2014 (75%). Data-data ini menunjukkan tren partisipasi pemilih di
Indonesia berkisar antara 70 persen sampai 92 persen.
Data ini menunjukkan bahwa bayang-bayang penurunan jumlah
pemilih akan masih tetap ada, walaupun harus diakui bahwa Pemilu 2014 secara
nasional berhasil mengangkat pemilih hingga 5%. Walaupun tentu, tingkat
partisipasi pemilih di Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, masih jauh dan menjadi
pekerjaan rumah bagi semua pihak.
5) Tingginya Suara Tidak
Sah.
Potret lain dari pemilu di Indonesia terkait dengan masih tingginya suara tidak
sah. Lihatlah data tentang suara tidak sah dari pemilu ke pemilu di Indonesia ini:
Pemilu 2009 (3,33% atau setara dengan 3,6 juta suara), Pemilu 2004 (9,66% atau
setara dengan 10,9 juta suara), Pemilu 2009 (14,43% atau setara dengan 17,5
juta suara) dan Pemilu 2014 (10,76% atau setara dengan 14,3 juta suara).
Dari data tingginya suara tidak sah pada pemilu di
Indonesia ini, menjadi pertanyaan besar apakah memang sistem pemilu atau tata
cara pemberian suara yang kita terapkan masih dianggap rumit oleh para pemilih.
Dari lima indikator yang telah dipaparkan diatas, harapan
bahwa draft revisi UU Pemilu yang kini sedang disusun oleh DPR dan Pemerintah
RI akan bisa menjadi lebih komprehensif. Potret-potret persoalan yang muncul
dalam Pemilu 2014 tentu akan masih kental dalam ingatan, sehingga diharapkan
muncul kesadaran membangun sistem pemilu yang lebih baik di Indonesia.
Perbaikan sistem pemilu di Indonesia tentu harus menjadi keniscayaan, karena
tanpa sistem pemilu yang baik dan adil, pemilu di Indonesia akan terus berjalan
ditempat, bahkan tak mustahil mundur.
Aulia Andri
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sumut
*)opini ini bukanlah merupakan pandangan lembaga
No comments:
Post a Comment