Sejak kembali ke Medan, kota kelahiran saya, tiga tahun lalu, saya heran dengan fenomena maraknya papan bunga di kota ini. Jika ketika tahun 2000 saya pergi meninggalkan Medan, saya merasakan papan bunga yang biasanya dikirim
sebagai pengganti ketidakhadiran sang pengirim dalam sebuah acara, biasa-biasa saja. Artinya tak ada fenomena yang menarik dari papan bunga ini. Nah, kini saya semakin tak tahan soal papan-
papan bunga ini.
sebagai pengganti ketidakhadiran sang pengirim dalam sebuah acara, biasa-biasa saja. Artinya tak ada fenomena yang menarik dari papan bunga ini. Nah, kini saya semakin tak tahan soal papan-
papan bunga ini.
Ihwal papan bunga ini saya punya banyak cerita. Ketika menjadi ketua panitia sebuah acara seminar, saya sempat ditanya salah seorang panitia.
“Pak, apakah kita tidak seharusnya meminta kiriman papan bunga?” kata anggota saya.
“Buat apa?” saya bertanya.
“Ya agar kelihatan ramai saja, pak.”
“Ah nggak usahlah, buat apa,” kata saya lagi.
“Atau kita bayar saja pak. Ntar dikirim atas nama orang lain.”
“Waduh….yang itu malah lebih nggak usah,” tegas saya.
“Buat apa?” saya bertanya.
“Ya agar kelihatan ramai saja, pak.”
“Ah nggak usahlah, buat apa,” kata saya lagi.
“Atau kita bayar saja pak. Ntar dikirim atas nama orang lain.”
“Waduh….yang itu malah lebih nggak usah,” tegas saya.
Papan bunga dan bisnis yang menjadi bagian didalamnya kini menjadi tren di Kota Medan. Lihatlah, ratusan bahkan ribuan UKM papan bunga tumbuh. Ini karena rasa ego orang Medan atau orang Sumatera yang merasa lebih hebat jika
sudah bisa mengirimkan papan bunga atau mendapatkan ucapan papan bunga sebanyak mungkin.
sudah bisa mengirimkan papan bunga atau mendapatkan ucapan papan bunga sebanyak mungkin.
Pernah saya iseng (ketika mendatangi acara pesta kawin) menghitung berapa banyak papan bunga yang dikirim dalam acara ini. Jumlahnya cukup fantastis, bisa mencapai 200 buah. Jika dikalikan saja setiap papan bunga berharga Rp 100 ribu maka dana yang terkumpul untuk papan bunga itu Rp 20 juta. Fantastis bukan. Nah, yang menggelikan lagi, ketika ada seorang teman yang punya sebuah acara dan bercerita dengan bangga soal jumlah papan
bunga yang didapatnya dari teman-temannya.
bunga yang didapatnya dari teman-temannya.
Saya tak habis pikir, apa yang perlu dibanggakan dari jumlah memperoleh papan bunga sebanyak-banyaknya itu. Ini menurut kesimpulan saya merupakan tradisi pamer para kaum urban. Pamer karena dengan papan bunga yang banyak menunjukkan bahwa si pembuat acara merupakan tokoh atau seorang yang punya banyak teman. Urban karena biasanya fenomena ini makin kuat jika di daerah pinggiran kota Medan. Walaupun tak menutup kemungkinan di kompleks perumahan saya di Komplek Setia Budi Indah, banyak juga orang yang bangga dengan papan bunga yang hadir ke rumahnya ketika ada hajatan. Aneh….
Soal lain papan bunga ini adalah ketika saya kini mulai sering di todong mengirimkan papan bunga. Awalnya, persoalan yang muncul adalah soal dana. Bayangkan saja kalau dalam satu bulan, saya harus mengirimkan empat papan
bunga. Maka uang yang harus dikeluarkan sekitar Rp 400 ribu. Tapi sudahlah, saya kemudian menganggap itu merupakan investasi berteman.
bunga. Maka uang yang harus dikeluarkan sekitar Rp 400 ribu. Tapi sudahlah, saya kemudian menganggap itu merupakan investasi berteman.
Persoalan lain yang muncul adalah saya harus menulis apa dan sebagai apa di papan bunga itu. Biasanya kan orang-orang akan menulis begini; dari: Syamsul Arifin (Gubernur Sumut) atau dari: Gatot Pudjonugroho (Wagubsu). Nah, saya
pernah ditanya seorang pengusaha papan bunga ketika hendak mengirim papan bunga.
pernah ditanya seorang pengusaha papan bunga ketika hendak mengirim papan bunga.
“Ini mau dikirim dari siapa, pak?” tanyanya. Saya kebingungan. Iya ya, dikirim dari siapa? tanya saya dalam hati.
“Ya dikirim dari Aulia Andri,” jawab saya sejurus kemudian.
“Aulia Andri itu apa jabatannya pak?” tanyanya lagi.
Saya makin kebingungan.
“Aulia Andri, dosen Unimed saja,” balas saya lagi.
“Waduh….kalau itu sih terlalu umum pak. Yang lebih spesifik. Kan kalau Aulia Andri mungkin banyak yang jadi dosen Unimed. Bapak nggak punya jabatan rupanya?”
Sialan ini pengusaha papan bunga. Saya jadi sewot. Saya memang tak punya jabatan apa-apa. Saya cuma berprofesi sebagai dosen dan lebih banyak bekerja sebagai pekerja lepas.
Gara-gara pertanyaan pengusaha papan bunga itu, saya kemudian urung mengirimkan papan bunga ke acara pesta perkawinan rekan saya. Akhirnya setelah beberapa bulan, saya terpaksa lagi berurusan dengan pengusaha papan bunga.
Kali ini agak aneh.
“Ini papan bunga mau ditulis dari siapa pak?” tanya pengusaha itu lagi.
“Dari Aulia Andri, Hamba Allah!” kata saya mantap.
“Hah….belum pernah saya buat yang seperti itu pak. Lagi pula kayak cuma bapak pun yang hamba Allah,” kata pengusaha papan bunga itu.
“Jadi apa?”
“Yang lain lah pak,”
“Ya sudah, kau buat dari Aulia Andri, Rakyat Indonesia.”
“Walah….itu juga sama saja pak. Banyak kali rakyat Indonesia yang namanya Aulia Andri.”
Kali ini agak aneh.
“Ini papan bunga mau ditulis dari siapa pak?” tanya pengusaha itu lagi.
“Dari Aulia Andri, Hamba Allah!” kata saya mantap.
“Hah….belum pernah saya buat yang seperti itu pak. Lagi pula kayak cuma bapak pun yang hamba Allah,” kata pengusaha papan bunga itu.
“Jadi apa?”
“Yang lain lah pak,”
“Ya sudah, kau buat dari Aulia Andri, Rakyat Indonesia.”
“Walah….itu juga sama saja pak. Banyak kali rakyat Indonesia yang namanya Aulia Andri.”
“Ya sudahlah, kau tulis saja dari Aulia Andri, Warga Kota Medan.”
“Sama saja lah pak. Masih terlalu banyak.”
“Ah macam betul saja pun kau,” saya mulai marah.
“Ya sudah, bagaimana kalau kita buat saja dari
Aulia Andri, Calon Walikota Medan,” tawar pengusaha papan bunga itu.
“Hussss….ngawur…..ntar ada yang sudah mau calon merasa tersaingi. Ya sudah, tak jadi lah membuat papan bunga. Repot,” kata saya.
“Sama saja lah pak. Masih terlalu banyak.”
“Ah macam betul saja pun kau,” saya mulai marah.
“Ya sudah, bagaimana kalau kita buat saja dari
Aulia Andri, Calon Walikota Medan,” tawar pengusaha papan bunga itu.
“Hussss….ngawur…..ntar ada yang sudah mau calon merasa tersaingi. Ya sudah, tak jadi lah membuat papan bunga. Repot,” kata saya.
Dan akhirnya saya terpaksa menebus rasa bersalah karena tidak mengirimkan papan bunga kepada teman saya (yang wartawan) itu.
Ditulis bbrp tahun lalu
No comments:
Post a Comment