Saya
adalah sebuah jalan. Kau juga. Dia juga. Jadi kita semua adalah jalan. Walau
tak sama bentuk, tapi kita semua dibilang jalan.
Saya, jelas adalah jalan
beraspal. Dengan trotoar yang rapi berwarna hitam dan putih. Dengan tiang
listrik terpancang di kiri kanan. Dengan lampu merkuri menggantung di tengah.
Dengan rambu-rambu lalu lintas yang mengatur.
Kau
juga jalan. Berbatu dan berlubang dalam menganga. Rumah gembel dan comberan
kotor di sisimu. Tempat anak-anak kampung berlarian seenaknya. Gelap dan
menyeramkan saat malam menyerbu siang. Tanpa rambu yang membawa bencana.
Dia
juga sebuah jalan. Di kompleks perumahan mewah. Yang dilapisi oleh conblock indah. Yang disisi kiri dan
kananya terdapat pohon rindang. Yang biasanya dipakai para supir mencuci mobil
majikannya. Yang terang benderang. Yang selalu resik karena dikibas sapu lidi
setiap hari.
Jadi
kita ini semuanya jalan. Ada yang beraspal. Ada yang penuh lubang menganga. Ada
yang rapi lagi teratur.
Saya
adalah sebuah jalan. Jalan Panjang nama saya. Orang-orang yang menamai saya
seperti itu. Katanya, saya jalan yang panjang. Membentang dari utara ke timur.
Melewati barat dan selatan.
Kau
juga sebuah jalan. Jalan Setan kau dinamakan. Karena banyak orang yang mati
disini, kau disebut seperti itu. Karena kau dianggap mencelakakan, diberi kau
dengan nama makhluk terkutuk itu.
Dia
juga jalan. Jalan Nusa Indah namanya. Kontraktor yang membangun kompleks
perumahan ini yang memberi nama itu. Katanya agar orang-orang bisa damai dengan
nama bunga.
Jadi
kita ini semuanya jalan. Jalan Panjang, Jalan Setan dan Jalan Nusa Indah,
dan inilah ceritanya:
Jalan Panjang
Jalan
saya bagus. Mulus bak perawan. Dilapisi aspal hitam mengkilap. Membuat tuan dan
puan selalu nyaman melewati saya. Saya pun senang bisa menghantarkan tuan dan
puan melewati jalan saya. Tuan dan puan jadi tak perlu repot-repot melalui
jalan buruk seperti jalan teman saya itu. Jalan Setan namanya. Jalan yang bisa
mengundang celaka. Kan kasihan, kalau tuan dan puan sampai celaka. Sudah lama
saya tahu, kalau teman saya si Jalan Setan itu iri dengan saya. Dia iri karena
saya adalah sebuah jalan yang beraspal dan bagus. Yang selalu dilalui banyak
orang.
Tapi
sudahlah, saya tak mau menceritakan keburukan teman saya si Jalan Setan itu.
Takut nanti dia tersinggung. Saya hanya ingin bercerita tentang diri saya saja.
Sebuah jalan, Jalan Panjang namanya.
Tuan
dan Puan, tentu pernah melewati saya. Mungkin ketika tuan dan puan ingin menuju
Pondok Indah dari arah Daan Mogot. Atau dari Kedoya menuju Kebayoran Lama. Nyamankah
saya? Ah pasti tuan dan puan tak akan segera menjawab. Karena tuan dan puan,
akan sejenak berpikir. Tapi saya tahu apa yang tuan dan puan pikirkan.
Tuan
dan puan pasti berpikir dengan kemacetan yang melanda diri saya. Tuan dan puan
pasti menggerutu karena tak tahan dengan kemacetan yang menggila ini. Sabarlah.
Ini Jakarta. Dan saja, Jalan Panjang. Tuan dan puan harus membiasakan diri
antri dan bersikap legowo. Kalau ada
yang menyerobot di lampu merah, tuan dan puan tak harus ikut-ikutan menyerobot.
Mendongkol boleh saja. Tapi tuan dan puan harus tetap sabar. Inilah Jakarta.
Saya pun sebenarnya tak suka dengan kemacetan. Persis seperti tuan dan puan.
Tapi itulah resikonya sebagai sebuah jalan. Saya kan tak punya hak untuk protes
agar mereka tak menyerobot jalan. Atau melarang orang-orang seperti tuan dan
puan tidak melewati saya. Agar lalu lintas yang melalui saya tidak bertambah
padat dengan mobil. Mana mungkin itu! Tuan dan puan pasti akan protes.
Tapi saya juga akan sangat
iba, jika tuan dan puan harus melewati Jalan Setan itu, teman saya itu.
Bukankah tuan dan puan ingin kenyamanan? Bukankah tuan dan puan ingin lekas
sampai ke tujuan? Apalagi saya yakin, mobil tuan dan puan tidak akan sanggup
melalui Jalan Setan itu. Mobil tuan dan puan akan cepat jadi rusak. Saya tahu
itu. Jadi, saya memang pilihan tepat untuk tuan dan puan.
Saya ini sebenarnya telah
letih menjadi sebuah jalan. Tetapi saya mau jadi apalagi? Saya pernah menjadi
pohon. Menjadi mobil. Menjadi bintang di langit. Menjadi katak. Menjadi pintu.
Menjadi jendela. Menjadi kunang-kunang. Bahkan pernah menjadi seperti tuan dan
puan.
Tapi saya mau bilang apa
lagi. Karena saya kini sebuah jalan. Jalan Panjang namanya. Jalan yang selalu membentuk
barisan mobil seperti semut setiap hari. Jalan yang mulus tapi tak pernah
lancar seperti papan luncur.
Saya ini sebuah jalan. Jika
tuan dan puan melewati saya, selalu ingatlah cerita saya. Karena saya, tuan dan
puan juga sama. Kita sama-sama membenci kemacetan ini.
Jalan Setan
Saya jalan yang buruk. Penuh
lubang menganga dan rumah reot serta bau got yang menyengat. Membuat orang jijik.
Tapi walaupun buruk, saya ini juga prihatin dengan tuan dan puan. Tuan dan puan
sudah termakan bujuk rayu teman saya itu, si Jalan Panjang. Dia mengatakan saya
iri padanya. Puiiihhh....Itu fitnah! Tuan dan puan harusnya tak percaya dengan
dia. Dia hanya berusaha menghibur tuan dan puan agar bisa betah menjalaninya.
Tuan dan puan pasti merasa sebal dengan dia. Karena macetnya. Karena semrawutnya
jalan disana. Bukankah begitu tuan dan puan?
Saya heran. Dia kok
tega-teganya mengejek saya. Dia mengatakan saya iri padanya. Buat apa sih saya iri? Saya sudah menerima dengan
lapang dada dikatai sebagai Jalan Setan. Diejak bahwa saya jalan maut. Dibilang
saya ini jalan yang angker. Tidak cukupkah itu?
Tuan dan puan. Saya memang
bukan jalan yang mulus seperti teman saya itu, si Jalan Panjang. Tapi saya bisa
mengantarkan tuan dan puan tepat waktu. Bukankah waktu bagi tuan dan puan
berharga? Waktu adalah uang buat tuan dan puan.
Sudahlah, saya tak mau terus
membicarakan masalah ini. Saya bisa jadi emosi nanti. Tuan dan puan pun nanti
jadi tak sedap lagi membaca cerita saya ini. Biarkan sajalah si keparat Jalan Panjang itu mengejek saya. Toh nanti mulutnya
juga yang capai.
Tuan dan puan. Saya ini jalan
yang buruk. Melintasi perkampungan gembel dan dibatasi comberan bau. Tak ada
aspal hitam disini karena pemerintah tak mau membuang duit untuk memperbaiki
saya disini. Apalagi, di perkampungan ini partai politik penguasa itu tidak
menang dalam pemilu kemarin. Jadi sempurnalah ketidakpedulian pemerintah pada
saya.
Saya mungkin tidak seperti si
Jalan Nusa Indah. Yang dengan gampang mendapatkan fasilitas. Lihat saja, dia
enak-enakan menjadi jalan di kompleks mewah. Diberi fasilitas pohon rindang
buat berteduh. Diberi lampu penerangan otomatis. Diberi penyapu jalan yang
setia membersihkan. Wah, enak tenan
dia. Tuan dan puan tahu tidak? Teman saya si Jalan Nusa Indah itu cengeng.
Sedikit-sedikit kalau ada jalannya yang berlubang, selalu minta diperbaiki.
Selalu minta segera ditempel dengan conblock
yang baru. Dia memang tak tahan menderita. Dia sudah terbiasa hidup enak. Tuan
dan puan harusnya sadar, bukankah perawatan diri si Jalan Nusa Indah itu dari
uang tuan dan puan juga. Jangan biarkan dia bermanja-manja. Jangan biarkan dia
bermalas-malas tanpa mau mengurus dirinya sendiri. Tuan dan puan jangan mau
dibodohi dia.
Ah sudahlah, nanti teman saya
si Jalan Nusa Indah itu marah sama saya. Nanti dia tersinggung. Tuan dan puan
jangan bilang-bilang ke dia ya!
Tuan dan puan. Saya memang
sebuah jalan. Jalan Setan nama saya. Tetapi tuan dan puan tak perlu takut
melewati saya. Walaupun jalanan saya penuh lubang dan batu. Diapit oleh
gubuk-gubuk reot dan dibatasi got hitam, tuan dan puan tak perlu khawatir.
Penghuni gubuk reot itu juga manusia seperti tuan dan puan. Mereka juga bekerja
seperti tuan dan puan. Cuma bedanya mereka jadi pemulung kertas sedang tuan
jadi pialang saham.
Tuan dan puan tak perlu cemas
bahwa mereka akan mengganggu mobil yang lewat. Kalaupun mata mereka mencorong
melihat mobil yang tuan dan puan kenderai, itu karena mereka belum pernah
melihatnya. Itu karena mereka membayangkan jika saja mobil tuan dan puan itu
dijual, tentu bisa membangun ratusan rumah yang lebih layak ketimbang yang
mereka tempati sekarang.
Tuan dan puan tak perlu gemas
dengan tingkah anak-anak kecil yang berlarian dan bermain engklek di jalanan saya. Itu karena pemerintah tak memberikan
fasilitas bagi mereka. Anak-anak itu tak punya duit untuk datang ke Dunia Fantasi. Tak punya modal untuk
berenang di Water Boom.
Tuan dan puan cukup memberi
senyum pada mereka. Meminta mereka memberikan jalan pada mobil yang tuan dan
puan kenderai. Tetapi kalau tuan dan puan punya rezeki lebih, apalah salahnya
jika tuan dan puan melempar beberapa keping uang lima ratusan. Mereka tentu
akan sangat senang.
Saya
memang sebuah jalan. Jalan Setan nama saya. Jadi jika tuan dan puan sesekali
ingin melewati saya. Ingatlah cerita saya ini. Saya yakin tuan dan puan akan
lebih cepat sampai ke tempat tujuan dengan melewati saya. Karena saya yakin,
tuan dan puan sudah sangat membenci kemacetan di Jakarta ini, khususnya di
jalan teman saya itu, Jalan Panjang.
Jalan Nusa Indah
Saya benci jalan yang munafik. Saya benci
dengan kepura-puraan. Tuan dan puan yang terhormat, izinkan saya bercerita.
Tuan
dan puan tentu sudah membaca cerita dua teman saya. Apa yang mereka ceritakan
itu semuanya berisi kemunafikan. Mereka saling mengejek dan memfitnah. Bahkan
saya yang tak tahu apa-apa juga ikut diejek mereka. Sakit sekali hati saya
mendengar cerita mereka. Teman saya si Jalan Setan itu memang keterlaluan.
Mengatai diri saya manja. Mengejek diri saya tidak bisa mengurus diri.
Huh...kurang ajar sekali dia. Saya jadi tak sabar ingin melabrak dia. Tapi
sebelum melabraknya saya ingin menjelaskan dulu cerita saya pada tuan dan puan.
Ini penting, agar tuan dan puan tidak termakan cerita busuk mereka.
Saya
ini sebuah jalan. Jalan Nusa Indah nama saya. Saya ada di sebuah kompleks
perumahan yang tuan dan puan huni. Jadi tuan dan puan pasti sudah mengenal
saya. Pasti tuan dan puan sudah bisa menilai diri saya. Tapi saya belum puas
kalau belum menyampaikan pembelaan ini pada tuan dan puan.
Saya
heran, apa sih maksudnya teman saya
si Jalan Setan itu mengejek-ejek saya? Saya sebelumnya tidak kenal dia. Terus
terang, saya baru mengenal dia ketika mendengar tuan dan puan membaca
ceritanya. Karena dia menyebut saya sebagai teman, ya terpaksa juga saya
menyebutnya sebagai teman. Tetapi ceritanya itu membuat saya geram. Dasar jalan
buruk. Jalan Setan!
Maafkan
saya tuan dan puan. Saya sangat marah dengan mereka. Si Jalan Panjang itu jelas
hanya berapologi dengan tuan dan puan. Dia cuma ingin menunjukkan bahwa dia
prihatian dengan kemacetan yang tuan dan puan alami setiap hari. Dia cuma ingin
mengambil simpati dari tuan dan puan, dengan mengatakan bahwa seolah-olah
kemacetan itu bukan salahnya. Saya katakan itu jelas salah dia. Sebagai sebuah
jalan, dia harus pandai-pandai mengatur dirinya. Jangan menyalahkan pengendera
mobil seperti tuan dan puan. Ah, keterlaluan sekali dia.
Tuan
dan puan yang saya hormati. Kalau hendak dikatakan siapakah diantara kami
(Jalan Panjang, Jalan Setan, dan Jalan Nusa Indah) yang tidak bisa mengatur
diri, saya bisa tunjuk langsung, bahwa teman saya si Jalan Panjang itulah
jalannya. Dia yang tak bisa mengatur para pengendara mobil untuk antri. Dia
tidak memberi contoh bagaimana menunggu di lampu merah secara tertib. Maaf,
saya bukan menyidir tuan dan puan seperti pengendara yang tidak tertib itu.
Karena saya yakin tuan dan puan tidak seperti itu. Tapi itulah, teman saya si
Jalan Panjang itu yang tak punya ketegasan. Dia membiarkan saja para pengendara
yang tak disiplin itu. Padahal kalau dia mau, bisa saja dia menindak mereka.
Saya mengerti sekarang tuan dan puan. Si Jalan Panjang itu cuma ingin menahan
tuan dan puan berlama-lama bersamanya. Tapi saya yakin tuan dan puan tak
mungkin menghabiskan waktu di jalanan seperti Jalan Panjang itu. Urusan tuan
dan puan masih banyak dan pasti lebih penting. Lihatlah, dari cara bertuturnya
si Jalan Panjang itu kelihatan menjilat perhatian tuan dan puan. Menyebalkan
sekali. Cuih.....
Sekarang
saya ingin berkomentar soal teman saya si Jalan Setan. Saya kira teman saya ini
memang tak tahu diri. Harusnya dia dibelikan cermin raksasa untuk mematut
dirinya. Agar dia sadar keadaannya. Seenaknya saja dia membujuk-bujuk tuan dan
puan untuk melewati jalanannya. Bagaimana kalau nanti mobil yang tuan dan puan
kenderai rusak. Atau terperosok ke dalam got bau itu. Atau bagaimana kalau
orang-orang kampungan dengan gubuk reot itu marah dengan kemewahan yang tuan
dan puan tunjukkan. Dan mereka lantas akan merusak mobil tuan dan puan
beramai-ramai. Menyuruh tuan dan puan keluar dari mobil dan memanggangnya di
terik cahaya matahari. Lalu mereka beramai-ramai akan membakar mobil tuan dan
puan. Kemudian menguras habis isi dompet tuan dan puan. Ih....saya ngeri
membayangkannya.
Kalau
kejadiannya seperti itu, apakah si Jalan Setan itu mau bertanggung jawab? Tentu
tidak! Tuan dan puan harus sadar bahwa sedang diperdaya si Jalan Setan itu.
Namanya saja Jalan Setan, tentu kerjanya ya memperdaya tuan dan puan.
Si
Jalan Setan itu mengajari tuan dan puan untuk melemparkan beberapa keping uang
lima ratusan kepada anak-anak gembel yang bermain di tengah jalan itu.
Huh....apa dia tidak tahu, tuan dan puan sudah sering mendermakan harta kepada
fakir miskin. Saya saksikan, tuan dan puan selalu memanggil anak-anak yatim ke
rumah. Memberi mereka makan dan membagikan uang. Saya rasa itu sudah cukup.
Tuan dan puan adalah pahlawan bagi orang-orang miskin.
Anak-anak
gembel yang bermain di jalanan itu hanya ingin menghambat tuan dan puan. Mereka
cuma ingin mencari perhatian tuan dan puan. Alasan tidak punya uang ke Dunia Fantasi atau tak punya modal ke Water Boom itu cuma dibuat-buat. Kalau
mereka tak punya duit, ya sudah jangan mengkhayal datang kesana. Cukuplah
memandang Monas saja dari kejauhan.
Teman saya si Jalan Medan Merdeka Barat tentu masih sudi menyediakan pohon
rindangnya sebagai tempat mereka memandang Monas
dari kejauhan. Saya yakin, mereka juga nanti pasti beralasan tak punya duit
untuk masuk ke Monas.
Ya...nasib....nasib....
Saya
sudah terlalu banyak mengomentari tentang kedua teman saya itu. Tuan dan puan
tentu sudah letih membaca cerita saya. Maka itu saya akan mengakhiri cerita
ini. Oh ya, soal cerita pribadi saya sendiri, tuan dan puan tentu sudah
mengerti. Tak perlulah saya ceritakan disini, karena nanti kedua teman saya itu
bertambah iri pada saya.
Jalan
Tanpa Nama
Saya
memang tidak disebut-sebut diatas. Itu karena saya tidak punya nama seperti
mereka. Dan mereka pun rasaku tak sudi menyebut-nyebut sebuah jalan yang tanpa
nama. Tuan dan puan juga pasti tak pernah menjumpai sebuah jalan seperti saya:
yang tanpa nama.
Saya
sebenarnya adalah titik temu dari ketiga teman saya diatas tadi. Si Jalan
Panjang, Si Jalan Setan, dan Si Jalan Nusa Indah bermuara pada diri saya.
Tetapi mereka selalu tidak mengakui hal itu. Mereka membantahnya. Itu karena
saya memang tidak punya nama. Jadi apalah arti sebuah jalan seperti saya yang
tanpa nama ini. Padahal, seorang mahaguru di dari tempat tuan dan puan pernah
berkata, “Apalah arti sebuah nama.” Tapi itu tidak berlaku disini. Dunia
jalanan itu memang harus
punya nama. Kalau tidak yang pasti bukan sebuah jalan. Mungkin jadi cuma seperti
segaris pematang di sawah atau lorong sempit yang tak layak diberi nama.
Bahkan, sepupu saya saja yang tidak lebih luas ruas badannya dari saya, diberi
nama gang anu atau gang itu. Inilah nasib saya tuan dan puan.
Saya
tahu, tuan dan puan sudah mendengarkan cerita dari ketiga teman saya itu.
Mereka saling mengejek dan mencaci. Sebuah kelakuan yang tak pantas. Saya harap
tuan dan puan bisa memaklumi. Begitulah dalam kehidupan kaum jalanan. Selalu
ada rasa iri dan dengki. Mungkin di dunia tuan dan puan tak jauh berbeda.
Saya
tidak bisa berkata-kata lagi, tuan dan puan. Saya tak ingin terjebak menjadi
jalan yang banyak bicara. Asal bicara tapi tak punya akal. Tuan dan puan tentu
bisa menilai sendiri kualitas jalan yang mana yang bisa dipercaya. Hati nurani
tuan dan puan tentu bisa membisiki hal tersebut. Saya yakin itu.
Pancoran, September 2004
No comments:
Post a Comment