Thursday, 3 December 2015

Sang Kekasih


Pagi ini, sambil duduk di teras rumah, saya termenung-menung. Langit biru berarak awan putih membentuk berbagai siluet. Angin yang berhembus semilir menyejukkan suasana. Saya duduk termenung di sebuah kursi batu yang merupakan kursi "kebesaran" saya. Disana, setiap pagi saya menghabiskan waktu sekedar menyukuri nikmat atas hidup yang diberikan Allah.

Entah kenapa, tiba-tiba seekor burung berwarna hitam hinggap di pagar rumah. Dia tepat berdiri di depan saya. Matanya biru seperti langit di atas sana. Saya bersiul memanggil burung hitam itu, ia tampaknya senang. Sambil mengangguk-anggukkan kepala ia mengikuti siulan saya. Aneh, belum pernah ada seekor burung datang ke rumah saya. Hinggap dan seolah jinak.

Sungguh saya tak pernah melihat jenis burung ini sebelumya. Bulu-bulunya yang berwarna hitam mengkilap diterpa matahari pagi. Kepalanya kecil dan sedikit berjambul. Mulanya, saya menyangka burung ini burung gagak. Tapi burung gagak pasti lebih besar. Burung yang ada di depan saya ini tak lebih besar dari burung Kutilang. Oh, ini pasti burung Jalak. Tapi saya buru-buru membantahnya. Burung Jalak terkenal liar. Ia tak akan mau berdiri berlama-lama di dekat orang yang belum dikenalnya. Akhirnya, saya berdiam diri saja sambil menikmati pemandangan unik ini.

Mata burung hitam itu memandang saya tajam. Kepalanya diam tak bergerak. Ia seperti mempunyai pesan. Saya mulanya tak menyadari. Burung itu menatap saya dalam-dalam. Kami beradu pandangan. Matanya yang biru seperti membawa banyak cerita. Saya kemudian penasaran. Saya menatap lama burung hitam ini. Matanya yang biru saya tatap. Mencoba untuk melihat pesan apa yang dibawa burung hitam ini.

Tiba-tiba, saya seperti terlontar. Tubuh saya tiba-tiba menjadi ringan dan saya seolah terbang. Sekejab kemudian, kedua lengan saya berubah menjadi sayap dan saya sedang terbang di ketinggian. Darah saya berdesir. Saya sebenarnya orang yang takut ketinggian. Tapi, menjelma menjadi seekor burung membuat saya kebingungan.

Sedetik kemudian saya baru menyadari bahwa saya bukan terbang di sekitar rumah. Tak ada rumah-rumah. Rumah saya pun tak tampak lagi. Kini, dihadapan saya cuma terhampar gurun pasir. Hah....saya terpana. Saya sedang berada di sebuah gurun pasir yang dilihat kearah manapun cuma menghasilkan fatamorgana. Tak ada apapun selain pasir dan pasir. Saya terus terbang, melesat diantara angin semilir yang berhembus. Entah kemana. Saya tak mengerti.

Setelah terbang sekitar 10 menit, dari kejauhan saya melihat setitik hitam. Cepat saya menuju ketitik tersebut. Rupanya, sebuah pohon rindang ada di bawah sana. Saya bersyukur. Akhirnya saya menemukan tempat untuk sekedar beristirahat. Menenangkan diri dari keterkejutan yang saya alami ini.  Saya kemudian mengepakkan sayap menuju pohon itu. Lengan-lengan saya yang berbentuk sayap sudah pegal, saya ingin beristirahat sebentar.

Hupff....saya berhasil hinggap di dahan pohon itu. Saya tak tahu, pohon apa ini. Mirip seperti pohon kelapa. Tapi ini jelas bukan pohon kelapa. Pelepahnya berbeda. Saya menebak ini mungkin pohon kurma. Saya pernah memakan buah kurma, namun baru sekali ini melihat pohonnya. Ada beberapa buah kurma menggantung. Saya berniat memakannya, lumayan lah, saya memang belum sarapan tadi. Namun, sebuah suara mengejutkan saya.

Seorang lelaki dengan jubahnya sedang terduduk di bawah pohon. Ia kelihatan sedih. Tubuhnya yang besar dan tegap tertutup oleh pakaian putihnya yang bersih. Wajahnya keras namun penuh dengan kelembutan. Ia baru saja usai bersujud dan merenung. Duduknya bersila. Disandarkannya tubuh kekarnya di batang pohon. Tiba-tiba pohon kurma bergetar hebat. Daun-daun kurma kemudian bergerak menutupi sinar matahari. Membuat lelaki itu tak terkena terpaan matahari. Saya terkejut. Sambil tetap berdiri diatas dahan, saya mencoba mendengarkan bisikan lelaki itu.

"Ya Allah, sungguh berat tugas yang engkau berikan padaku. Semua perintahmu sudah kulaksanakan. Tak pernah aku membangkang perintahMu. TitahMu adalah hal yang tak mungkin ditolak oleh siapapun di muka bumi ini. Ya Allah, kuatkan aku untuk menjalankan perintahmu."

Saya mendengar lelaki itu berdoa. Bisikannya yang lirih itu memang seperti doa yang mengiba-iba. Lelaki itu menangis sesengguk. Ia menghapus airmatanya dengan ujung kain di tubuhnya. Airmatanya terus berlinang. Ia seperti tak bisa membendung kesedihannya.

Lalu ia berdiri dan berlari secepat kilat. Saya kebingungan. Refleks, saya juga ikut terbang. Lelaki itu sudah tak nampak di depan. Tapi saya tetap terbang ke arah lelaki tadi hilang. Tak lama saya menemukan daerah pemukiman. Ada banyak rumah berdiri. Ya, mungkin ini sebuah kota. Akhirnya saya menemukan sebuah kota. Saya berputar-putar di kota itu. Mata saya menyusuri jalanan kota yang bersih. Orang-orang sedang berlalu lalang. Di sebuah tempat, saya menemukan sekumpulan burung. Mereka terduduk diam. Saya memutuskan menghampiri mereka.

Ketika mengambil tempat di dekat kerumunan burung itu, saya langsung diam. Kawanan burung itu tak banyak bicara. Semua diam. Beberapa ekor burung hanya melihat saya dengan sudut mata. Setelah itu suasana hening. Semua seolah enggan mengepakkan sayap. Semua burung menatap ke arah sebuah rumah.

Hei....disana kulihat lelaki dibawah pohon kurma itu berdiri. Ia sedang mengetuk pintu. Tangannya kulihat terjulur gemetar mengetuk pintu. Suaranya mengucapkan salam dengan serak dan parau. Sisa airmatanya masih menggantung di ujung mata. Saya memperhatikan saja.

Sejuruh kemudian, keluar seorang perempuan. Lelaki itu bertanya, apakah ia boleh masuk ke dalam rumah. Perempuan itu berkata, "Maafkanlah, ayahku sedang demam", katanya. Perempuan itu kemudian membalikkan badan dan menutup pintu kembali.

Tapi tak lama perempuan itu kembali membuka pintu. Ia mempersilahkan lelaki itu masuk ke dalam rumah. Sempat kudengar perempuan itu berbisik," Kata ayahku,  engkau yang ditugaskan untuk menghapus kenikmatan sementara, yang memisahkan  pertemuan di dunia?" Lelaki itu mengangguk dengan sopan. Wajahnya tertunduk dalam-dalam. Kemudian pintu tertutup.  

Burung-burung gelisah. Saya melihat semua tertunduk dalam. Melihat ke kiri dan kanan, semua burung menangis. Saya pun merasakan aura kesedihan yang amat sangat. Seekor burung di sebelah saya dengan suara parau berbisik,"Siapakah yang sanggup melihat kekasih Allah itu direnggut ajal!"

Tiba-tiba tubuh saya bergetar. Airmata saya tak tertahankan tumpah. Tubuh saya lunglai seperti tak bertulang. Kesedihan menyelimuti seantero bumi. Langit yang tadinya terang mendadak mendung. Awan yang tadi berarak mengikuti angin terdiam. Angin pun tak berhembus. Pohon-pohon berhenti bergerak. Pasir dan debu terdiam ditempatnya. Semua membeku, membisu dalam kesedihan.

Suara tangis perempuan kemudian meledak kesunyian. Pasti tangis perempuan tadi.
Suasana semakin murung. Orang-rang ramai berkumpul. Semua menangis. Seorang lelaki berbadan besar berjalan menuju rumah sambil menghunus pedang. Wajahnya merah. Matanya berlinang airmata. Berjalan gontai ia bertanya pada siapapun yang ditemuinya,"Kau percaya kekasih Allah itu menemui ajal?" Hanya itu ucapan yang keluar berkali-kali dari bibirnya yang bergetar. Ia seolah tak bisa mempercayai. Tangisnya terisak kencang. Pedang di lengan kirinya berguncang-guncang. Tak ada seorang pun yang berani mendekat padanya.

Sejurus kemudian saya menyaksikan, pintu langit terbuka. Tak bisa dipercaya, selarik cahaya putih tampak melesat cepat. Di kiri dan kanan cahaya putih itu berpendar-pendar berbagai cahaya berwarna-warni. Aroma harum tercium dimana-mana. Kejadian itu hanya sekejab, dan tanpa bisa diikuti mata, sesaat kemudian pintu langit tertutup. Semua sudah selesai. Angin kembali berhembus. Awan kembali berarak di langit. Debu dan pasir kembali beterbangan.

Saya tersadar. Seperti mimpi. Bulu-bulu burung telah hilang. Saya kembali terduduk di teras rumah. Tak ada yang berubah. Saya merasakan pandangan mata kabur. Jari saya menyeka airmata yang menggenang. Saya masih menangis. Sambil tertunduk, saya teringat ceramah KH Zainuddin MZ yang sejak kecil saya dengar.

Cerita Kiai Zainuddin MZ, ketika Jibril menghampiri Rasullah menjelang ajalnya, ditanyakannya, "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?". Lalu Jibril menjawab "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," katanya.

Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan, ia melanjutkan, "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ''Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya", kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini".

Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.

"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal", kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.

"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku". Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum, peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu".

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku". Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.

Dan saya masih terus menangis sambil terus mengingat ceramah KH Zainuddin MZ yang mengharukan itu.

Medan, 3 Desemberi 2015

No comments:

Post a Comment