Sunday, 20 September 2015

Romantisnya Sungai Seine

Sejak lama, saya ingin sekali datang ke Perancis. Masih ingat dalam ingatan saya, ketika tahun 1995, saya mendapat kesempatan untuk belajar Bahasa Perancis di IKIP Medan. Melalui seleksi mahasiswa baru, saya kemudian memperoleh tiket belajar bahasa yang terkenal romantis tersebut. Walaupun tak sampai memperoleh gelar sarjana, saya merasa kemampuan berbahasa Perancis saya lumayan. Saya bisa bicara dengan santai dengan para bule Perancis tanpa merasa terkendala soal bahasa. Menyenangkan sekali.

Bergaul dan berbicara dengan banyak warga Perancis atau warga negara penutur Bahasa Perancis (biasa disebut Francophone) membuat saya mengagumi Perancis. Cita-cita untuk menginjakkan kaki di Perancis menjadi semacam obsesi saya sejak mahasiswa. Ketika beberapa senior saya di kampus mendapatkan kesempatan berkunjung ke Perancis, saya hanya bisa memendam iri. Tapi saya yakin, suatu saat, kesempatan untuk mengunjungi Perancis akan terlaksana!

Dan....inilah dia. Saya berhasil mencapai Paris, Perancis. Melalui penerbangan maskapai Air France 259, langsung dari Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta dan Tiba di Bandara Paris-Charles de Gaulle. Perjalanan 12 jam yang melelahkan itu cuma diisi transit di Bandara Changi, Singapura selama 2 jam. Dan ketika menginjakkan kaki pukul 07:55 waktu Paris, saya seperti bermimpi. Malam tadi, saya masih berada di Jakarta. Dan pagi ini, saya sudah menginjakkan kaki di Paris. Mimpi yang lama saya pendam dan tak pernah saya ceritakan pada siapapun.

“Bienvenue en France” atau Selamat Datang di Perancis! Saya memandang tulisan di dinding koridor bandara dengan beragam perasaan. Perempuan di sebelah saya yang sejak dari Jakarta bersama saya, menggenggam lebih erat tangan saya.

“Kita tiba di Paris, sayang,” bisiknya mesra di telinga saya.
Senyum saya mengembang. Saya tatap matanya dengan tatapan dalam. Kami mendekatkan wajah dan saling menggosokkan hidung.

Koridor panjang menuju terminal kedatangan dilengkapi travelator alias “lantai berjalan”. Saya menggenggam tangannya menuju travelator. Walaupun bisa berjalan untuk lebih cepat, tapi kami memilih untuk tetap diam. Beberapa penumpang melewati kami. Travelator memang disediakan agar orang-orang bisa berjalan lebih cepat. Tapi sungguh saya dan dia tak mau cepat, kami ingin menikmati kedatangan kami di Paris dengan santai.

Usai mengurus masalah administrasi dan barang-barang bawaaan, kami kemudian mengambil kereta menuju Paris. Lumayan membingunkan. Tapi setelah tanya sana-sini, saya kemudian memahami jalur kereta yang bisa membawa kami keluar dari stasiun bandara ini. Bermodal 9,5 euro per orang, tiket kereta menuju Chatelet-Les Halles harus dilalui dengan berpindah naik Metro M4 menuju Saint-Germain des Pres di arah menuju Porte d’Orleans. Hanya memakan waktu lebih kurang 45 menit, kami sudah menginjakkan kaki di Rue des Canettes. Ya, ini Paris. Kita sudah sampai di Paris.

Tujuan kami adalah menuju Pont de Arts. Melewati beberapa stasiun, kami akhirnya sampai di Pont de Arts, sebuah jembatan yang menghubungkan Institute de France dan Louvre Museum. Jembatan besi yang dibangun tahun 1980-an ini terkenal dengan “Jembatan Gembok Cinta” nya. Maka itu, saya dan dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Pont des Arts yang mempunyai panjang 155 meter dan lebar 11 meter ini, menyebrangi Sungai Sein yang termasyur itu.

Langit musim semi yang biru dan kesejukan yang menembus kulit kami, membuat suasana pagi menjelang siang itu sangat romantis. Saya menggenggam jemarinya lebih erat ketika kami memasuki areal Pont de Arts. Jantung saya seketika berdegup kencang.

Beberapa pasangan kami saksikan sedang duduk sambil tersenyum mesra di areal jembatan. Beberapa pasangan lagi tampak asyik berciuman. Oh....ini benar-benar romantis. Dua buah gembok yang sudah saya siapkan dari Jakarta, saya keluarkan dari ransel. Tak ada yang istimewa dari gembok itu. Sama tak ada yang istimewa dari diri saya yang mencintai dia. Sebuah gembok yang saya beli di sebuah toko kelontong tradisional, kemarin malam. Sebuah spidol kemudian menjadi pelengkap. Saya menuliskan inisial nama saya disana disertai simbol hati. Dia menatap saya dengan berjuta perasaan. Namanya saya ukir sama di gembok berikutnya. Kami berpandangan. Tersenyum bahagia. Dia mengusulkan sebuah tempat, di pagar, yang masih agak kosong di Pont de Arts untuk menempelkan gembok cinta itu. Saya setuju saja. Ketika dua gembok itu menyatu, kami tertawa bahagia. Saya memeluknya dengan erat. Kunci gembok kami buang bersama-sama di Sungai Sein. Dan matahari menyinari kami dengan hangat.

Sekian dulu.....

(ini cerita imajinatif ya. Jangan percaya, kalau saya pernah ke Paris)

No comments:

Post a Comment