Oleh : Zaim Saidi
Poligami (tepatnya: poligini: seorang pria menikahi lebih dari satu perempuan) selalu memicu kontroversi. Para penentang poligini menganggap berbagi suami oleh dua atau lebih (dalam Islam dibatasi hanya sampai empat) istri sebagai sumber ketidakadilan dan merugikan kaum perempuan. Sebaliknya, pandangan yang pro poligini, memberikan argumentasi yang relatif standar bahwa poligini adalah perbuatan halal, sebagai pilihan lebih baik daripada berbuat zina yang haram.
Argumen pendukung lainnya adalah bahwa persoalan yang muncul dari praktek poligini adalah pada cara dan pelakunya, bukan perbuatannya itu sendiri.Tulisan ini mengajak kita untuk melihat persoalan poligini secara lebih rasional.Dalam pandangan modern pria dan wanita dianggap setara, memiliki peran, posisi, hak, dan kedudukan yang sama. Yang membedakan keduanya hanyalah jenis kelaminnya. Istilahnya kesetaraan jender.
Dengan latar belakang seperti ini maka argumen arus utama antipoligini selalu berpusar pada dua hal pokok, yang secara ideologis berkaitan.
Pertama, poligini dianggap merupakan bentuk pelanggaran hak individu – dalam hal ini hak si perempuan – yang umumnya diinterpretasikan sebagai kekerasan (psikologis) atas perempuan. Kedua, implikasi demografis dan dampaknya pada ekonomi, yang juga dianggap merugikan. Dari kedua argumen ini, tentu saja, yang kedualah yang sebenarnya lebih menjadi alasan ketidaksukaan para penganut ideologi individualis-kapitalis pada poligini. Alasan pertama, yang tampak berpijak pada moralitas dan etika, lebih sebagai fasadnya semata.
Posisi kaum monogamis, atau antipoligini, merupakan bias langsung dari paham individualisme-materialis yang mendasari kapitalisme, ideologi yang kini mendominasi kehidupan masyarakat. Paham persamaan individu menyetarakan posisi pria dan wanita, yang dalam implikasi praktisnya menempatkan keduanya sebagai ‘sumber daya manusia yang sama potensinya’. Dalam kenyatannya keduanya diperlakukan sebagai stok pasar tenaga kerja, sebagai buruh, di satu sisi, dan sebagai konsumen di lain sisi, bagi industri yang dilayaninya.
Eksploitasi secara sempurna atas seseorang, dalam posisi ganda buruh-konsumen, dapat dilakukan manakala setiap individu manusia, pria atau wanita, dapat dipastikan teratomisasi, terisolasi sebagai individu-individu yang terpisah-pisah, tanpa jaring pengaman sosial sama sekali. Sistem ekonomi kapitalis, yang berbasiskan pada riba, selanjutnya membuat seseorang sepenuhnya menjadi budak bagi sistem ini. Posisinya sebagai buruh-konsumen membuatnya tidak mampu menjalani kehidupan dengan wajar, karena pendapatannya telah dipatok, sementara biaya hidup – akibat sistem riba yang berlipat ganda- terus meningkat. Ekonomi kapitalisme memberikan ‘solusi’ berbentuk aneka rupa kredit: KPR, kredit kendaraan, kredit alat-alat rumah tangga, kredit pendidikan, asuransi kesehatan, dsb.
“Solusi” semacam ini, tentu saja, bukan menjadi jalan keluar, tetapi memerosokkan lebih dalam lagi sang buruh-konsumen, menjadi kreditor. Tiap-tiap individu menjadi pengutang, dan karenanya, terus dapat diperbudak oleh sistem riba ini.Utang-piutang berbasis riba itu pun, dalam ekonomi model kapitalis ini, lebih jauh ditransformasikan menjadi keniscayaan setiap orang melalui statusnya sebagai warga negara. Negara dipastikan setiap tahunnya berutang kepada para bankir melalui APBN, yang selanjutnya dilimpahkan kepada setiap orang, sebagai warga negara, untuk mencicilnya melalui pajak. Pajak yang ditarik secara berlapis-lapis mulai dari pajak bumi dan bangunan, pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, cukai, pungutan, dsb. Setiap individu digencet oleh dua instrumen riba: utang dan pajak.Sementara itu, pilihan cara hidup poligini – sebagaimana berlangsung dalam kebanyakan masyarakat tradisional di mana pun – akan menghasilkan extended-family, menjamin berlangsungnya social security alamiah. Akibatnya ketersediaan pasokan buruh (perempuan) di satu sisi, dan pemosisian mereka sebagai konsumen di sisi lain, sangat terbatasi. Peluang untuk memperbudak seseorang pun mengecil.Dalam konteks ini kita akan dengan mudah menemukan banyaknya penelitian para penentang poligini yang secara tipikal akan menunjukkan bahwa pernikahan pria dengan beberapa perempuan akan menurunkan umur pernikahan serta meningkatkan fertilitas perempuan di satu sisi, dan menurunkan rasio capital/out put serta produktifitas agregat (output/capita) masyarakat di sisi lain. Akibatnya, menurut paham ini, masyarakat yang polygynous, akan lebih rendah berinvestasi, karenanya akan underdeveloped. Artinya menghambat kapitalisme.
Peluang bagi berbagai jenis industri (terutama yang berbasis riba: aneka kredit dari perbankan, asuransi, jasa layayan panti jompo, industri farmasi/kesehatan, dsb), karena berlangsungnya jaringan sosial alamiah berkat terbangunnya keluarga-keluarga besar (dengan lebih dari satu istri dan banyak anak-anak), juga terbatasi. Maka, poligini tidak cocok, bahkan menghambat, kapitalisme. Maka propaganda antipoligini selalu disertai dengan program pengekerdilan keluarga melalui program Keluarga Berencana (KB). Selanjutnya, institusi keluarga itu sendiri akan dihancurkan, digantikan dengan kebebasan memilih – misalnya memalui kumpul kebo atau legalisasi pasangan sejenis (homoseksual dan lesbian). Maka, perkawinan yang sah (dilabeliasi sebagai ‘nikah siri’ didiskreditkan dan dikriminalisasi), sementara kebebasan seksual ditolerir, bahkan dilegalisasi.
Sesungguhnya berbagi suami secara realistik dan rasional memberikan peluang bagi kaum perempuan untuk lebih jauh mengaktualisasikan dirinya. Dengan jaminan ekonomi di rumah seorang perempuan akan terbebas dari belengu kaharusan menjadi budak-bayaran, dan berkompetisi-hidup-mati dengan kaum pria di dunia industri, ia dapat seoptimalnya memerankan diri dalam kehidupan sosial, terutama dalam urusan-urusan kesejahteraan umum (pendidikan, kesehatan, dan sejenisnya). Masyarakat secara umum akan sangat diuntungkan oleh peran sosial kaum perempuan yang bebas-merdeka dan terlindungi ini.Berbagi suami memberikan peluang bagi sang perempuan untuk melepaskan diri dari ’kungkungan domestik 100% mengurus suami dan anak-anak’.
Potensi kaum perempuan dapat sepenuhnya bermanfaat bukan saja bagi keluarganya, tapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Dalam masyarakat monogamis, peran sosial kaum perempuan terhapuskan, jasa sosial ditransformasikan menjadi jasa komersial dan diambilalih oleh kaum kapitalis sebagai ladang bisnis. Dengan kaum perempuan menjadi konsumen-buruh-kreditor, dengan dalih persamaan hak individu, industri riba menjadi teramat subur. Kaum perempuan sendiri, dan anak-anak, adalah korban utamanya. Masyarakat monogamis lebih misoginis, dan merugikan kaum perempuan.
Secara etnografis poligini dianut dan diterima di hampir 75% kelompok masyarakat di dunia, termasuk yang ada di Eropa dan Amerika Serikat, bahkan yang beragama non-Islam sekalipun. Namun demikian, baru dalam seabad terakhirlah, poligini dipersoalkan. Dengan kata lain poligini merupakan ’problem modern’, problem kapitalisme.
Secara sosiologis poligini yang merupakan kelumrahan dan menjadi bagian dari solusi sosial sepanjang sejarah manusia,didefinisikan sebagai persoalan baru di abad modern-kapitalis ini.Lebih dalam dari itu, keluarga dengan istri banyak, akan menghasilkan pasangan manusia sebagai, dalam istilah Shaykh Abdalqadir as-Sufi, collaborative couple.
Pasangan mitra pria-wanita sejati yang membebaskan. Pria yang beristri banyak akan terbebaskan dari fenomena neoerotik oidipus complex, sementara kaum perempuan yang berbagi suami, akan membebaskan diri dari neurosis-rasa-ketergantungan. Neurosis sosial yang, lagi-lagi, sangat menguntungkan kapitalisme – dalam beragam industri berbasis riba di atas. Suami istri yang merdeka, sebaliknya, akan tumbuh menjadi pasangan mitra pria-wanita yang menjalani hidup melampaui proyek rumah tangga pribadi, akibat ketergencetan pada utang, pajak, dan inflasi .
Maka, poligini dapat dipandang bukan saja solusi bagi kaum pria yang menginginkan dan memerlukannya, tapi juga bagi pembebasan umat manusia dari sistem sosial ribawi yang menindas saat ini. Cara pandang yang realistis ini akan menghadirkan kemungkinan yang berbeda: poligini sebagai alat pembebasan, terutama, bagi kaum perempuan dan anak-anak. Dengan kata lain berbagi suami merupakan jalur pembebasan (liberasi) yang paling alamiah bagi kaum perempuan, beserta keluarga dan masyarakat sekelilingnya, dari penindasan sistem perbudakan kapitalisme. Mono dan poligini merupakan dua institusi perkawinan yang terbuka bagi setiap individu, baik pria maupun perempuan, yang membutuhkan dan memilihnya. Penyalahgunaan atas institusi perkawinan, baik monogini maupun poligini, yang menimbulkan ketidakadilanlah, yang harus diselesaikan. Bukan soal beristri satu atau lebih. Keluarga besar dengan satu suami dan empat istri pun bisa jauh lebih adil ketimbang keluarga kecil hanya dengan satu suami dan satu istri, dengan atau tanpa anak-anak.
No comments:
Post a Comment