Sejak lama, saya punya kebiasaan unik. Kebiasaan itu adalah meninggalkan uang di bawah piring di tempat saya makan. Kebiasaan ini saya dapatkan usai membaca kisah Andy Noya. Presenter kondang itu yang menginspirasi saya untuk melakukan kebiasaan itu.
Saya selalu merasakan sensasi berbeda setiap meninggalkan uang di bawah piring tempat saya makan. Saya mengira-ngira siapa gerangan diantara para pramusaji yang menemukan uang itu. Atau bagaimana kira-kira ekspresi sang pramusaji ketika mendapati uang di bawah piring yang diangkatnya. Ada rasa bahagia dalam hati saya, setiap melukis sensasi itu di perasaan. Tapi sungguh saya tak pernah menyaksikannya secara langsung. Saya tak pernah mencoba mengintip uang yang saya sudah letakkan di bawah piring. Biarlah itu menjadi rahasia hidup. Rahasia antara saya dan Tuhan. Termasuk, si pramusaji tak akan pernah tahu siapa yang meletakkan uang itu.
Kebiasaan "aneh" itu kini bertambah. Suatu hari, beberapa pekan lalu, saya membaca sebuah posting di Path oleh seorang teman. Ceritanya soal kebiasaan juga. Saya tergugah dengan cerita itu dan kemudian menerapkannya.
Begini ceritanya, suatu siang saya mengenderai mobil dan bersiap untuk mengisi bensin. Setelah mematikan mesin mobil dan turun dari mobil, saya membuka tangki bensin.
"Diisi berapa, pak?" tanya si petugas Pom Bensin. Perempuan berusia 20-an.
"Tolong diisi 95 ribu," jawab saya.
Si petugas kemudian menuliskan jumlah nominal uang yang saya minta di panel digital di pompa. Sambil jari-jarinya menekan tombol, si petugas ini berujar pada saya yang berdiri tak jauh.
"Kenapa tidak diisi 100 ribu saja, pak?" tanyanya.
"Nggak usah. isi 95 ribu saja," tegas saya.
Sedetik kemudian selang nozel bensin dimasukkan ke tangki mobil dan mengalir deras. Saya menunggui sambil membuka dompet. Meraih selembar uang Rp 100.000. Usai bensin terisi, saya menyerahkan uang berwarna merah itu ke petugas tadi. Sigap ia meraih selembar uang lain bernominal Rp 5.000. Saya menolaknya dengan ayunan jari.
"Yang kembali 5 ribu untukmu saja," bilang saya.
Si petugas itu melongo, saya melihat ekspresi yang berbeda sekitar 3 menit yang lalu. Ketika, saya mengatakan ingin membeli bensin Rp 95.000, saya melihat mimik yang agak tidak senang. Mungkin ia heran, mau isi bensin tapi nanggung. Atau mungkin dia berpikir, saya cuma punya duit pas-pasan. Tapi, sungguh, kini ekspresi merendahkan, atau kesal itu lenyap. Ia tampak bergembira. Saya lihat senyumnya mengembang, sembari bilang,"Terimakasih ya, pak".
Saya melambaikan tangan dan melajukan mobil untuk meneruskan perjalanan. Saya tersenyum karena bisa memberi. Bukan soal jumlah uang yang diberikan tetapi soal cara memberi yang menurut saya pasti akan berkesan bagi petugas itu.
Ini terbukti, ketika dua hari kemudian saya datang lagi ke Pom Bensin itu dan menjumpai si petugas itu lagi. Ia langsung menyapa saya dan memberikan senyum terbaiknya. Saya tertawa. Kejadian yang sama kemudian terulang. Isi bensin dengan nominal Rp 95.000.
Kawan, saya mungkin bukan orang baik. Saya banyak meninggalkan kewajiban saya sebagai muslim. Saya juga bukan orang kaya. Tetapi, saya berupaya agar bisa berbagi dengan sebanyak-banyaknya orang. Kebiasaan-kebiasaan yang saya ceritakan punya dimensi berbeda. Kalau kebiasaan meletakkan uang di bawah piring adalah kebiasaan agar tangan kiri tak boleh tahu, maka kebiasaan mengisi bensin dengan nominal nanggung itu adalah agar tangan kiri tahu. Saya menikmati semua kebiasaan itu sembari berharap terus diberi kelapangan rezeki dan kesehatan oleh sang kuasa.
Hidup ini terlalu singkat jika tak digunakan untuk berbagi dengan sesama. Bagian terpenting dalam kehidupan kita sebagai manusia adalah bagaimana suatu saat kita dikenang atas kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan. Selamat berbuat kebajikan kawan.
GA 197, antara Medan-Jakarta
23 Februari 2015
No comments:
Post a Comment