Monday, 13 October 2014

Perppu Pilkada

Presiden Susilo Bambang yudhoyono (SBY) diujung masa jabatannya, "melawan" DPR RI dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Langkah presiden ini tentu menimbulkan pro-kontra. Saya melihat, apa yang dilakukan Presiden SBY sangatlah ceroboh karena otomatis, Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilukada ini menganulir UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilukada yang sudah disepakati dalam rapat paripurna DPR RI pekan silam.
Bagi saya, walaupun presiden mengambil langkah populer untuk mengembalikan Pilkada melalui pemilihan langsung, namun prosedur konstitusi yang diambil presiden sangatlah tidak pas. Saya memang mendukung pemilukada dilakukan langsung melalui rakyat, namun, tentu dengan cara-cara yang konstitusional.
Berikut garis besar isi Perppu yang diterbitkan Presiden.

1. Pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota langsung oleh rakyat (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2);
2. Mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur pelaksanaan pilkada secara tidak langsung oleh DPRD (Pasal 205);
3. Adanya uji publik calon kepala daerah agar dapat mencegah calon yang integritasnya buruk dan kemampuannya rendah (Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) huruf b, dan Pasal 7 huruf d);
4. Penghematan atau pemotongan anggaran pilkada secara signifikan (Pasal 3, Pasal 65 ayat (1) huruf c, d, e, dan f, serta ayat (2), dan Pasal 200);
5. Pembatasan kampanye terbuka agar menghemat biaya dan mencegah konflik horizontal (Pasal 69);
6. Pengaturan akuntabilitas penggunaan dana kampanye (Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 76);
7. Larangan politik uang dan biaya sewa parpol pengusung yang dapat berdampak pada tindakan penyalahgunaan wewenang (Pasal 47);
8. Larangan kampanye hitam yang dapat menimbulkan konflik horizontal (Pasal 68 huruf c);
9. Larangan pelibatan aparat birokrasi yang menyebabkan pilkada tidak netral (Pasal 70);
10. Larangan mencopot jabatan aparat birokrasi pasca-pilkada karena dianggap tidak mendukung calon (Pasal 71);
11. Pengaturan yang jelas, akuntabel, dan tranparan terkait penyelesaian sengketa hasil pilkada (Bab XX Pasal 136 sd 159);
12. Pengaturan tanggung jawab calon atas kerusakan yang dilakukan oleh pendukung (Pasal 69 huruf g, Pasal 195);
13. Pilkada serentak (Pasal 3 ayat (1);
14. Pengaturan ambang batas bagi parpol atau gabungan parpol yang akan mendaftarkan calon di KPU (Pasal 40, Pasal 41);
15. Penyelesaian sengketa hanya dua tingkat, yaitu pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (Pasal 157);
16. Larangan pemanfaatan program atau kegiatan di daerah untuk kegiatan kampanye petahana (Pasal 71 ayat (3));
17. Gugatan perselisihan hasil pilkada ke pengadilan tinggi/Mahkamah Agung hanya dapat diajukan apabila memengaruhi hasil penetapan perolehan suara oleh KPU secara signifikan (Pasal 156 ayat (2).

No comments:

Post a Comment