Para anggota DPR RI periode 2009-2014 diujung masa jabatannya membuat keputusan penting. Mereka memutuskan untuk mengembalikan mandat memilih kepala daerah kembali ke tangan DPRD. Isu ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah yang merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Salah satu pokok penting RUU ini adalah mengembalikan lagi mandat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memilih pemimpin lokal, seperti gubernur, wali kota, atau bupati. Mayoritas fraksi di DPR ingin agar RUU Pemilihan Kepala Daerah dapat disahkan menjadi undang-undang sebelum masa jabatan berakhir pada 30 September 2014 mendatang.
Mereka beralasan, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat selama ini menimbulkan ongkos politik yang sangat mahal bagi para kandidat. Di sisi lain, pemilihan langsung dinilai tidak menjamin terhentinya politik uang, bahkan dipandang turut menyuburkan praktik negatif itu. Namun, bagi banyak pihak, RUU ini juga dipandang menciderai cita-cita reformasi.
Bagi kubu penentang, pengesahan RUU tersebut sama dengan memasung hak rakyat dalam memilih pemimpin mereka di tingkat daerah. Selain itu, pengembalian mandat kepada DPRD untuk memilih pemimpin daerah sama halnya praktik yang dilakukan era Orde Baru. Padahal sejak tahun 2004, rakyat Indonesia sudah diberi mandat untuk memilih secara bebas kepala daerahnya sendiri.
Pro-kontra soal ini menjadi isu nasional. Dibahas hampir di semua media massa di Indonesia. Sebagai penyelenggara pemilu, saya memang kecewa (jika) keputusan ini diambil oleh parlemen. Jelas, keputusan DPR RI untuk menarik mandat dari rakyat akan berdampak pada rezim penyelenggara pemilu. Dan saya pasti akan segera merasakan dampaknya.
Kawan-kawan saya, sesama penyelenggara pemilu, galau berat. Ini jelas persoalan serius. Tapi, saya ingin menjelaskan kira-kira mengapa parlemen Indonesia mengambil keputusan ini. Dalam perspektif saya sebagai penyelenggara pemilu, sejumlah fraksi di parlemen seperti menjilat ludahnya sendiri. Mereka menghendaki pilkada via DPRD dengan bersandar pada argumentasi yang pernah digunakan pemerintah yang dulu, yakni mahalnya biaya politik yang memasifkan budaya politik uang, konflik horizontal pasca-pilkada yang menelan korban tak sedikit, serta terjeratnya sejumlah kepada daerah dalam kasus korupsi akibat politik transaksi yang marak.
Alasan diatas tentu sangat absurd. Saya menilai, rezim pemilu yang sudah bekerja sejak dimandatkannya rakyat untuk memilih langsung terus melakukan perbaikan. Bawaslu-KPU, sebagai instrumen rezim pemilu terus berbenah untuk membangun sistem pemilu yang bermuara membangun demokrasi yang adil dan jujur bagi semua pihak.
Selain itu, para anggota parlemen (pendukung pilkada lewat DPRD) pun menggunakan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di mana menegaskan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis, sebagai dasar hukum menolak pilkada langsung.
Alibi mereka, kata dipilih “demokratis” tidak selalu menunjuk pada pengertian dipilih secara langsung. Pertanyaannya, kenapa kata “demokratis” di sisi lain malah dimaknai sebagai pemilihan langsung dalam konteks pemilu legislatif atau pemilu presiden. Jelas ini mencerminkan sebuah bentuk dekonstitusionalisasi liar terhadap ruh demokrasi dan penghukuman terhadap mandat rakyat.
Pilkada lewat DPRD juga dipastikan akan meredupkan partisipatoris kerakyatan dalam demokrasi. Dampaknya tentu makin derasnya arus kekuatan oligarki di daerah-daerah yang bermuara rusaknya substansi kedaulatan politik rakyat.
Sebuah keniscayaan, rakyat dengan sendirinya akan terdelegitimasi oleh imperium politik oligarkis yang mengendalikan seluruh putusan, kebijakan dan sumber daya lokal di daerah-daerah.
Sejujurnya, yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana menegakkan hukum dan merekayasa agar sistem dan manajemen pemilu serta kelembagaan partai politik dapat berjalan dengan demokratis. Ya, sejujurnya, karena ini sebuah penolakan!
%20besar.jpg)
No comments:
Post a Comment