MEDAN PUTRI, sebuah kampung kecil di dekat pertemuan Sungai Babura dan Sungai Deli. Menurut Tengku Lukman Sinar dalam bukunya “Riwayat Hamparan Perak”, kampung ini dibangun pada tahun 1590, oleh Raja Guru Patimpus, nenek moyang Datuk Hamparan Perak (Duabelas Kuta) dan Datu Suka Piring yaitu, dua dari empat kepala suku Kesultanan Deli. Sejarah perkembangan kampung Medan Putri menjadi kota Medan, memang tidak terlepas dari keberadaan Kesultanan Deli.
Dalam bukunya “Mission to The Eastcoast of Sumatera”, Jhon Anderson, seorang pegawai pemerintah Inggris yang berkedudukan di Penang dan pernah berkunjung ke Medan tahun 1823, menyatakan bahwa Medan masih merupakan sebuah kampung kecil yang berpenduduk sekitar 200 orang.
Tanah Deli, mulai terkenal setelah orang-orang Belanda, yang dipelopori Nienhuys, membuka perkebunan tembakau di sekitar Medan. Daun tembakau Deli, terkenal ke seluruh dunia dengan daun pembungkus cerutu yang paling baik. Hal ini telah menarik investor asing untuk membuka perkebunan tembakau, serta mendorong banyak orang pindah ke Deli untuk mencari nafkah. Nienhuys sendiri, kemudian memindahkan kantornya dari Labuhan ke kampung Medan Putri. Sejak itu pula, kampung Medan Putri mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Perkembangan tersebut, mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk memusatkan kegiatannya di kota Medan. Pada tahun 1870, Belanda membentuk k\Keresidenan Sumatera Timur dan menetapkan Medan sebagai ibukotanya pada tahun 1884.
Pada tahun 1918, pemerintah kolonial Belanda, menetapkan Medan sebagai kotapraja, setelah membeli tanah seluas 15,83 km2 dari Sultan Deli untuk kepentingan kota.
Ketika itu, penduduk Medan telah berjumlah 43.826 jiwa yang terdiri dari 409 bangsa Eropah, 25.000 orang bangsa Indonesia, 8.269 orang bangsa Cina dan 130 orang bangsa Asia lainnya. Artinya, sejak dahulu kala, Medan telah dihuni oleh beragam bangsa.
Untuk mendukung fungsi kota Medan, tahun 1908 Belanda membangun gedung Gemente, yang kemudian dikenal sebagai Balai Kota (sekarang sudah dijadikan perpustakaan Pemda Medan). Pada tahun 1911, dibangun pula gedung Kantor Pos, yang sampai sekarang tetap digunakan dengan fungsi yang sama.
Tidak jauh dari Kantor Pos dan Balai Kota, terdapat daerah pertokoan Kesawan yang mulai berdiri pada tahun 1876. Selama beberapa dasawarsa, daerah pertokoan ini, menjadi pusat perbelanjaan masyarakat Eropah dan mengalami kejayaan sampai tahun 60-an. Dengan sejarah yang sedemikian panjang, maka ditetapkan tanggal 1 Juli 1590, sebagai hari jadi Kotamadya Medan.
Tjong A Fie, lahir di Moy Hian (Kheh) Canton, Cina. Sewaktu muda dia berlayar bersama abangnya dan akhirnya mendarat di Kampung Laboean, Medan tahun 1870.
Disana mereka mendirikan kedai grosir. Kebetulan di sekitar wilayah itu banyak dihuni para kuli perkebunan yang juga baru dibuka. Keberadaan Tjong perlahan-lahan dikenal warga Medan sebagai penyedia berbagai keperluan. Pergaulannya pun meningkat sampai ke kalangan Istana Kesultanan Deli. Suatu saat, dia bersahabat dengan Tengku Radja Moeda yang sedang berkuasa.
Kehadiran Tjong A Fie di Medan, memperkaya khasana wisata Sumatera Utara dengan meninggalkan satu bangunan bersejarah yang terlupakan, yang menyimpan kenangan akan pembauran di kota ini.
Sebagai seorang pengusaha Cina, nama Tjong A Fie hingga kini melegenda. Kekayaan dan semangat pembaurannya tetap disebut-sebut warga kota ini. Ingatan itu kini hanya tersisa dengan sebuah bangunan antik berarsitektur Cina yang terletak di Jl Ahmad Yani, kawasan Kesawan, Medan
Melewati pintu gerbang bergaya Tiongkok, kita langsung dihadapkan pada suasana khas Cina. Gerbang penuh lumut itu kini lebih sering ditutup dan hanya menyisakan celah kecil untuk keluar masuk.
Dari luar, kekayaan arsitektur bangunan sudah terlihat. Beberapa pilarnya dihias ukiran antik. Sayangnya, sejumlah penyangga yang terbuat dari batu berukir, satu persatu mulai patah tidak berdaya menahan usia. Masuk ke dalam rumah, kita akan menjumpai satu ruangan luas di mana pintu dan langit-langitnya penuh ukiran serta lukisan antik. Bahkan lantainya terbuat dari batu pualam asli Tiongkok. Namun bagian ini praktis sudah tidak digunakan lagi. Sementara di bagian sayap rumah besar itu, beberapa penerus Tjong A Fie masih menggunakannya untuk tempat tinggal.
Salah seorang cucu Tjong A Fie, Fon P Tjanoto tinggal di sayap kanan rumah tua itu. Fon yang lahir dan besar di rumah tersebut sejak dua tahun lalu aktif melakukan kegiatan dukungan untuk melestarikan rumah kakeknya itu.
Bagian dalam rumah itu terbagi beberapa bagian. Kedua sayapnya berlantai dua yang hingga kini masih digunakan. Di bagian tengah, ruangan dihias dengan pilar-pilar besar.Berbagai kamar di lantai dua itu menyimpan banyak barang antik. Sedang di bagian belakang, lantai bawah dan atas, terdapat ruangan untuk melakukan ritual keagamaan. Di ruang ini, pintu dan jendelanya juga penuh dengan hiasan.
Menurut Fon, semangat pembauran di Medan sudah terwujud saat Tjong A Fie hidup seabad silam. Bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari, semangat pembauran juga diwujudkan Tjong A Fie pada arsitektur rumahnya. Rumah besar dengan 40 kamar itu dibangun dengan perpaduan gaya arsitektur Cina, Melayu, dan Islam. “Merah melambangkan Cina, kuning Melayu, dan hijau melambangkan Islam,” ujar Fon yang memeluk Islam dan mempersunting dara Mandailing.
Puluhan foto Tjong A Fie terawat rapi di ruangan yang kini didiami Fon. “Ruangan ini tempat kakek beristirahat, karena itu saya menempatinya,” ungkapnya. Fon yang juga menyimpan foto-foto kegiatan Tjong A Fie pada zamannya.
Pada tahun 1880, Tjong A Fie diangkat Belanda sebagai mayor sampai akhir hayatnya. Saat itu pemerintah Belanda melalui Jacob Nien Huys membuka perkebunan tembakau di Tanah Deli, mereka mendatangkan ribuan pekerja dari daratan Cina. Pengangkatan Tjong A Fie untuk menghindari gejolak sosial, dan mengatur pendatang dari daratan Cina tersebut.
Semasa hidup, Tjong A Fie menumbuhkan rasa pembauran di antara warga Medan yang saat itu mulai tumbuh menjadi kota besar dan mulai didatangi pendatang dari berbagai daerah, beragam suku, golongan, dan agama. Warna pembauran juga
diwujudkan Tjong A Fie dengan membangun berbagai sarana umum. Dia mendirikan masjid, gereja, kuil, kelenteng, rumah sakit lepra di Sicanang, rumah jompo, dan jembatan Titi Berlian di Perkampungan Madras yang dihuni pendatang dari India.
Saat ini, kondisi rumah antik Tjong A Fie sangat memprihatinkan. Sebagian relief dan lukisan di dinding mulai dimakan jamur. Sejumlah balok kayu dibuat untuk membantu menopang langit-langit. Di lantai dua, papannya banyak yang ditambal papan baru. Bahkan satu ruang besar berisi barang-barang antik sudah tidak bisa dimasuki lagi mengingat lantainya yang rapuh.
Kondisi rumah antik itu, menurut Fon, memiliki dilema. “Untuk merawatnya dibutuhkan dana, sementara jika dibuka untuk umum kami takut keburu ambruk,” ujarnya. Mengingat wasiat kakeknya, Tjong mengatakan para penerus Tjong tidak akan mengubah susunan arsitektur bangunan itu.
Fon mengatakan sudah mencoba berbagai upaya mencari dukungan dana. “Walikota, gubernur, bahkan UNESCO sudah dihubungi,” tuturnya. Namun hingga kini, Fon belum mendapat bantuan apa-apa untuk merenovasi sisa bangunan yang melambangkan pembauran itu. Tahun lalu, Fon bahkan menghadiri pertemuan UNESCO di Malaysia. Di sana, UNESCO menjanjikan akan menjadikan rumah Tjong A Fie sebagai salah satu warisan dunia bersama Danau Toba. “Namun perhatian pemerintah belum maksimal,” ungkapnya.
Menurut Fon, untuk merenovasi bangunan itu butuh biaya besar. “Kalau merenovasi sebagian saja, kami takut akan merusak keutuhan gedung,”katanya. Seorang arsitek asing, jelasnya, pernah mengatakan untuk merenovasi rumah antik itu diperlukan dana sekitar US$1 juta. “Sementara pihak luar negeri baru mau memberi bantuan bila pemerintah daerah juga menjamin dan membantu,”lanjutnya. Masyarakat Cina di Medan sendiri, menurut Fon, kurang memberi perhatian terhadap kerusakan rumah tua itu. “Mereka menganggap kami masih kaya seperti kakek,” ungkap Fon. Padahal keberadaan warga Cina di Medan tak terlepas dari peran Tjong A Fie.
Sejarah berkembangnya kota Labuhan Deli dimulai dengan penanaman tembakau sekitar tahun 1863. Karena hasilnya menggembirakan, penanaman tembakau diperluas dan tahun 1866 dibentuk De Del Maatchappij oleh Jannsen P.W Clemen, Nienhuys serta Cremer. Kuli-kuli perkebunan tembakau ini umumnya orang-orang Cina yang didatangkan dari Swalow (Tiongkok) atau Singapura, Malaya dan orang-orang Tamil yang didatangkan dari Penang.
Pada tahun 1867 sudah ada seribu pedagang Cina di Labuhan Deli. Keadaan Labuhan Deli pun bertambah maju dengan adanya lampu-lampu di jalan raya sampai ke Kampung Baru serta berdirinya kawasan ruko Nienhuys yang mula-mula mendirikan kantor pusat Deli Maatcshappij di kampung Medan Putri (sekarang PTP IX). Kemudian maskapai itu dipindahkan dari Labuhan ke Medan. Alasan karena letaknya agak tinggi, tak mudah kebanjiran di musim hujan dan berada di tengah-tengah pusat perkebunan.
Akibatnya Sultan Deli pun memindahkan pusat pemerintahannya dari Labuhan Deli ke Medan dan mendirikan Istana Maimun. Ibu kota residen Sumatra Timur itu, juga dipindahkan ke Medan tepatnya pada tanggal 1-3-1887.
Pesatnya perkembangan kota Medan, mengakibatkan kota Labuhan Deli mulai dilupakan orang. Kawasan ruko yang dulu sangat maju dan pernah berubah menjadi tempat judi dan pelacuran, sudah tidak terawat.
Yang kelihatan tersisa dari sejarah kota tua itu, adalah Masjid Al Osman Labuhan Deli. Bangunan ini satu-satunya monumen Sultan Deli, sebagai pusat pemerintahan kerajaan yang pertama sebelum pindah ke Medan. Bekas istana di depan mesjidpun sudah dihancurkan tanpa jejak sama sekali dan lahannya digunakan untuk bangunan sekolah.
Masjid ini dibangun pada akhir abad ke-19 dan telah direkonstruksi pada tahun 1980-an. Bangunan utama dengan satu kubah besar dan empat menara di setiap sudutnya. Arkade dibentuk dengan colonnades melengkung yang kaya dengan
ornamen. Desain bangunan ini dipengaruhi arsitektur Moorish.
Masjid ini, menurut sumber horasbah.com, didirikan oleh Sultan Deli Ali Osman, sebagai upaya membentengi iman masyarakat di sekitar, agar tidak terpengaruh terhadap kemajuan yang sedemikian pesat. Apalagi dengan semakin beragamnya etnis pendatang ke Labuhan Deli. Tidak sekadar itu, masjid ini, juga dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan bernuansa islami.
Tradisi yang tidak dapat dihapuskan begitu saja di masjid ini, adalah kebiasaan di bulan suci Ramadhan, dimana setiap harinya dilaksanakan buka puasa bersama. Kegiatan itu, tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat setempat, juga kaum muslim yang sengaja datang atau musafir. Makanan berbuka puasa, yang sudah menjadi tradisi, adalah bubur pedas.
//ditulis oleh Harian KOMPAS//
No comments:
Post a Comment