Saturday, 19 October 2013

Yuk, Memahami Etika Penyelenggara Pemilu

Pemilu yang merupakan syaratan penting dalam negara demokrasi, tentu harus dijaga dengan baik oleh para penyelenggara pemilu. Menjaga pemilu baik secara kualitas maupun kuantitas tentu bukanlah perkara gampang. Para penyelenggara pemilu, baik itu KPU maupun Bawaslu acapkali mendapat sorotan tajam dari publik.

Sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu yang mempunyai jajaran hingga ke tingkat desa, seringkali seringkali dicurigai digunakan oleh berbagai kepentingan politik untuk mencurangi pemilu. Padahal, harus diingat bahwa harga mati bagi jajaran penyelenggara pemilu adalah independensi dan netralitas. Saya juga mencermati betul apa yang dikatakan Ketua DKPP, Jimly Asshiddiqie dalam orasinya bahwa seorang penyelenggara pemilu tidak hanya dituntut independen dan netral, tetapi juga terlihat independen dan netral. Ini yang kemudian harus menjadi dogma bagi semua penyelenggara pemilu.   

Selain kedua hal tersebut, semua pihak harus juga memahami bahwa para penyelenggara pemilu diikat oleh kode etik yang ketat. Sosilisasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Kota Medan, Sumatera Utara, 17-19 Oktober 2013, menjadi momen pentingnya memahami kode etik bagi jajaran penyelenggara pemilu di Sumut. Kode Etik penyelenggara pemilu yang diatur di dalam Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan DKPP Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 906), yang berlaku sejak tanggal 11 September 2012, membuka cakrawala publik bahwa sejatinya para penyelenggara pemilu harus bekerja berlandaskan kode etik tersebut.

Kode etik penyelenggara pemilu yang diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan, secara jelas sudah diatur dalam peraturan bersama tersebut diatas. Artinya, kode etik penyelenggara pemilu merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku orang-orang yang terlibat didalamnya. Tujuan kode etik tentunya agar para penyelenggara pemilu dapat bertindak profesional.

Saya membaca beberapa referensi mengapa kode etik perlu untuk dibuat. Menurut Adams., dkk, dalam Ludigdo, 2007, kode etik diyakini sebagai cara untuk memperbaiki iklim organisasi sehingga individu-individu yang terlibat di dalamnya dapat berprilaku etis. Selain itu, kode etik juga diyakini sebagai upaya menginstitusionalisasikan moral dan nilai-nilai sebuah organisasi sehingga kode etik tersebut menjadi bagian dari budaya organisasi, dan membantu individu yang terlibat memasuki budaya tersebut. Kode etik para penyelenggara pemilu yang kini sudah dibangun tentunya selaras dengan apa yang disebutkan Chung (1981) bahwa ada empat asas etis; Menghargai harkat dan martabat, Peduli dan bertanggung jawab, Integritas dalam hubungan dan Tanggung jawab terhadap masyarakat.

UU No. 15 Tahun 2011 yang mengamanatkan adanya DKPP sebagai penjaga etika penyelenggara pemilu tentu harus diapresiasi positif. DKPP yang genuine merupakan produk Indonesia, bertugas menegakkan kode etik penyelenggara Pemilu. Tentu saja penegakan kode etik pemilu oleh DKPP harus dilandasi pendekatan Rule of Ethics, serta bukan pendekatan like and dislike. Maka itu, DKPP tentu punya tugas berat menjaga kode etik penyelenggara pemilu yang merupakan satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilu.

Saya meyakini, bahwa sejatinya, DKPP mempunyai tugas menjadi moral guard bagi para penyelenggara pemilu di Indonesia. DKPP menjadi pintu terakhir akan sistem norma yang bisa dipercayai masyarakat terhadap para penyelenggara pemilu. Karena itu, DKPP sebagai instrument kontrol  harus mencitrakan dirinya dengan nilai kebaikan bersama tanpa keberpihakan!

Aulia Andri, Pimpinan Bawaslu Provinsi Sumut
 

No comments:

Post a Comment