Tuesday 18 October 2016

Status Facebook, Cermin Retak dengan Maksud


Ketika dulu kuliah di UI sekitar tahun 2002, saya pernah dengan bangga memberi “label” tentang sosial media sebagai “cermin” kehidupan seorang pengguna (user). Ketika itu saya mempertahankan mati-matian bahwa kehidupan pengguna sosial media akan selalu bisa dilihat bak cermin dalam kehidupan nyatanya. Media sosial akan menggambarkan secara gamblang personaliti seseorang dalam kehidupan nyatanya.

Kini, saya kemudian menyadari kekeliruan itu. Seiring bertambahnya bacaan dan pengalaman, saya harus mengakui kebodohan saya selama bertahun-tahun itu. Saya akhirnya menyadari betapa naïf nya saya member “label” seperti itu. Betapa sempitnya pemikiran saya.

Beberapa sahabat saya, beberapa kali mempertanyakan status-status saya di Facebook (FB). Pasalnya, saya lebih sering membuat status bernada galau! Pertanyaanya, galaukah saya? Jawabannya jelas tidak. Status-status galau itu harus diakui dengan apa yang saya sebut sebagai “cermin retak dengan maksud”.

Status FB itu tak sepenuhnya benar. Walaupun harus saya akui bahwa menurut sebuah penelitian yang pernah saya baca (lupa dimana), bahwa tingkat kepercayaan pengguna media sosial terhadap eksposur dihadapannya, mencapai hingga lebih 50%. Ini berarti, tingkat kepercayaan pengguna media sosial sangatlah tinggi. Mereka akan cepat percaya dengan apa pun yang “dihidangkan” dihadapan mereka.

Saya pun sudah beberapa kali melakukan eksperimen terhadap hal ini. Dalam beberapa kasus status FB, saya mencoba melakukan eksperiman protagonis dan antagonis. Hasilnya cukup mengejutkan saya. Banyak hal yang kemudian saya dapatkan secara pribadi terhadap eksperimen-eksperimen ini. Maka itu, mohon maaf kepada para sahabat yang tidak nyaman, sungguh apapun updating status di akun FB saya ini, semata-mata hanya dalam kerangka memperkaya pemahaman dan keilmuan saya dalam bidang media sosial.

Dari hasil eksperimen (kecil-kecilan) itu, saya kemudian berkesimpulan beberapa hal:
1. Tingkat kepercayaan pengguna media sosial sangat tinggi terhadap eksposur updating status dalam pertemanannya. Isu-isu negatif akan lebih direspon ketimbang kebalikannya.
2. Bahwa kehidupan pengguna media sosial berjalan paralel dengan kehidupan nyatanya. Artinya, tak mungkin bisa mengcopy paste 100% kehidupan nyata ke kehidupan media sosial. Kesalahan memahami updating status pengguna media sosial akan menimbulkan persepsi yang salah dan bias.
3. Membiasakan diri untuk melakukan konfirmasi dan recheck tanpa menghakimi, penting menjadi sikap dasar bagi pengguna media sosial. Jika hal ini tak dilakukan, saya meyakini, akan banyak timbul bias dan persepsi negatif atau over expectation terhadap updating status.
4. Diatas semua itu, saya menyarankan agar para pengguna media sosial untuk selalu memelihara sikap positive thinking dan menjadikan media sosial sebagai media silaturahmi ketimbang sebagai medan perang psikologis.

Keempat hal yang saya sampaikan diatas, sejujurnya hanya merupakan bagian dari kesadaran betapa ilmu pengetahuan saya masihlah sangat terbatas. Saya hingga kini masih terus berupaya belajar baik melalui buku atau berdiskusi dengan banyak orang. Tulisan ini tak bermaksud menggurui atau memamerkan apapun. Saya mohon maaf jika ada para sahabat yang merasa tersinggung, tak ada maksud saya untuk melukai perasaan para sahabat.

Salam hormat

No comments:

Post a Comment