Friday, 19 August 2016

TENTANG KESEDERHANAAN

Sungguh, saya tak pernah pernah menyangka. Ketika siang tadi bertemu Pak Rosihan Arbie, saya belajar tentang kesederhanaan. Nama Pak Rosihan, bukanlah nama orang sembarangan. Beliau bersama keluarganya memiliki imperium bisnis raksasa seperti RS Permata Bunda, Hotel Garuda Plaza dan Penerbit Madju.

Saya menunggu Pak Rosihan di sebuah kafe di dalam komplek perumahan kami. Saya dan Pak Rosihan memang tinggal sekomplek. Sebenarnya saya berjanji ngobrol bersama seorang teman. Namun, kata teman saya itu, Pak Rosihan "memaksa" ingin ikut ngobrol. Katanya mau kenalan dengan saya (hahaha...geer karena seorang milliuner, mau kenalan sama saya). 

Akhirnya kami bertemu. Ngobrol ngalor-ngidul tentang apapun. Tapi yang paling saya ingat, Pak Rosihan menasehati saya tentang kesederhanaan. Dia mengajari saya untuk menabung dan tak mengubah gaya hidup walau punya jabatan apapun. Ehhhmmm persis nasehat bapak saya.

Beliau kemudian mencontohkan dirinya yang tampil sederhana. Walaupun punya bisnis yang beromset miliaran, Pak Rosihan masih hanya menggunakan mobil Toyota Starlet tahun 1990. "Ini mobil kesayangan saya. Kemana-mana saya naik mobil ini," katanya dengan bangga.

Saya terbelalak. Pak Rosihan bukan tak mampu membeli Camry atau Pajero Sport. Ia cuma tak mau. "Mobil itu paling gampang membuat orang memberi nilai tentang kita," pesannya.

Maka itu, ia memesankan pada saya agar selalu hidup sederhana. "Biarkan saja orang lain pakai mobil mewah. Kau tak perlu. Yang biasa saja," katanya.

Ah, saya jadi teringat. Pagi tadi ketika mengantar Alief ke sekolah, saya berpapasan dengan seorang teman lama. Ia membuka kaca mobil keluaran terbarunya dan menyapa saya. Alief kemudian bilang bahwa mobil teman saya itu bagus. Saya tak bisa menahan diri untuk kemudian bercerita tentang masa lalu. Bahwa dulu ketika susah, saya dan teman itu pernah menjalani kehidupan bersama-sama, makan tak makan.

Saya bilang pada Alief, bahwa teman saya itu kini sudah berhasil dalam kehidupannya. Ia memiliki mobil mewah. Jauh dari kehidupan kami ketika jaman kuliah. Saya bilang pada Alief, bahwa papa nya yang tak mau berubah. Saya memang tak bisa "move on" untuk memiliki mobil mewah. Mobil saya masih mobil butut. Tapi saya yakinkan pada Alief bahwa kehidupan kami baik-baik. Saya tak punya hutang. Saya juga tak pernah merasa harus kerja ngoyo untuk punya hal-hal yang terkesan mewah. Saya yakin Alief memahami prinsip saya.

Pertemuan pagi tadi dan pertemuan dengan Pak Rosihan seolah menjadi takdir, bahwa saya harus tetap biasa saja. Gak boleh pakai mobil "inopah" baru karena memang saya tak sanggup membelinya. Alamak....

Medan, 18 Agustus 2016

No comments:

Post a Comment