Wednesday 19 September 2012

Memahami Kristen Koptik

Film Innocent of Moslem jadi perbincangan hangat sejak beberapa pekan ini. Kristen koptik disebut-sebut karena sutradara film tersebut pemeluk kristen koptik. Sejarah kristen koptik dan Islam memang menarik. Ini karena ada nilai historis antara kedua agama ini. Berikut tulisan yang saya copy paste dari kompasiana, mudah-mudahan bisa menambah pengetahuan kita tentang kristen koptik dan pemahaman tentang keberagaman agama.

Ada banyak tulisan seputar Kristen Koptik. Tetapi ujung-ujungnya berakhir pada, “Ooo… Jadi Kristen yang di Eropa itu salah karena ditipu sama si Saulus dari Tarsus.”
Lantas mana Kristen yang benar?
“Pasti Kristen Koptik karena menurut mereka Yesus hanya Nabi bukan Tuhan.”
Apakah hanya karena berdasarkan pemahaman seperti ini lantas kita bisa menyalahkan Kristen yang lain. Kadang sikap umat Islam jadi berlebihan ketika mendengar seputar Kristen Koptik dikarenakan ada kesamaan doktrin bahwa Yesus bukan Tuhan, melainkan hanya Nabi yang jika namanya dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab adalah Isa. Tolong hentikan sikap penilaian seperti itu, jelas orang Islam tidak mengimani iman Kristiani. Makanya hentikan menilai sesat ajaran agama lain sementara di dalam ajaran kita sendiri pertarungan antara sekte bermunculan. Jadi biarkan semua orang meyakini ajaran masing-masing sesuai apa yang mereka yakini. Kalau tidak suka dikatakan sesat maka jangan mengatakan orang lain sesat.
“Tetapi kan ada baiknya mengkaji Kristen Koptik.”
Ya, memang baik belajar agama-agama. Tetapi jika dengan pengetahuan itu kita gunakan untuk menyebarkan ceramah anti agama lain apalagi sampai merinci kesalahan serta kesesatan agama lain, sebaiknya lupakan saja.
“Kristen Koptik punya tradisi waktu-waktu shalat seperti orang Islam, lho.”
Sekilas tradisi Kristen Koptik, mereka memang mempunyai waktu shalat yang disebut waktu tujuh (Sab’u al-shalawat), ada pula Shaum al-Kabir (Puasa Besar) pra-Paskah, selama minimal 40 hari, membaca Injil dengan cara dilantunkan secara tartil dikenal dengan Mulahan Injil yang paralel dengan Tilawat al-Qur’an, dan masih banyak lagi. Anda bisa menyaksikan seorang pemuda yang komat-kamit membaca Kitab di tangannya sewaktu naik bus atau kendaraan lain di Mesir. Siapakah mereka? Ternyata bukan hanya pemuda Islam yang membaca al-Qur’an, tetapi juga pemuda-pemuda Koptik dengan tattoo Salib di tangan sedang membaca kitab Agabea. Itulah Kitab Shalat Tujuh waktu yang tidak pernah mereka tinggalkan, juga ketika mereka sedang berkendara di jalan, sepulang kantor, atau berangkat ke kampus. [Al-Ajabiyya: As-Sab'u al Shalawat An-Nahariyyah wa Lailiyyat. Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2001]
Munculnya tradisi tattoo salib di tangan, pertama kali berasal dari masa penganiayaan. Tanda itu menjadi semacam kode sesama umat Kristen demi keselamatan mereka dari para penganiaya mereka. Karena Gereja Koptik Mesir pada zaman Romawi menjadi gereja yang teraniaya, maka tarikh Koptik yang ditandai dengan peredaran bintang Siriuz, disebut dengan Tahun Kesyahidan (Anno Martyri), yang tidak termasuk tahun syamsiah (matahari) ataupun qamariyah (bulan), tetapi berdasarkan kawakibiyah (bintang-bintang).
Orang-orang Kristen di Timur Tengah berdoa dengan cara menengadahkan tangan, sama dengan Islam. Bedanya, dalam Islam diawali dengan rumusan Basmalah: Bismillahi rahmani rahim (Dengan Nama Allah Yang Pengasih dan Penyayang), sedangkan dalam Kristen dengan membuat tanda salib dan berkata: Bismil Abi wal Ibni wa Ruhil Quddus al-Ilahu Wahid, Amin (Dengan Nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Allah Yang Maha Esa, Amin). Orang-orang Kristen Koptik juga mengenal waktu-waktu shalat yang sama dengan shalat Islam, ditambah dengan “shalat jam ketiga” (kira-kira jam 09.00 pagi, untuk memperingati turunnya Roh Kudus, Kis. 2:15), dan jam 24.00 tengah malam, yang dikenal dengan, shalat Nishfu Lail (tengah-malam). Lima waktu shalat selebihnya untuk mengenal Thariq al-Afam (Via Dolorosa) atau jam-jam sengsara Kristus. Lebih jelasnya, kata shalat sudah dipakai jauh sebelum Islam dalam bentuk bahasa Aram tselota.
1. “Salat jam pertama” (Shalat as Sa’at al-Awwal), kira-kira jam 06.00 pagi waktu kita, untuk mengenang saat kebangkitan Kristus Isa Al-Masih) dari antara orang mati (Mrk.16:2).

2. “Salat jam ketiga” (Shalat as-Sa’at ats-Tsalitsah), kira-kira jam 9 pagi, yaitu waktu pengadilan Kristus dan turunnya Roh Kudus (Mrk. 15:25; Kis. 2:15).

3. “Salat jam keenam” (Shalat as-Sa’at as-Sadi-sah), kira-kira jam 12 siang, yaitu waktu penyaliban Kristus (Mrk. 15:33, Kis. 3:30).

4. “Salat jam kesembilan” (Shalat as-Sa’at at Tasi’ah), kira-kira jam 3 petang, untuk mengenang kematian Kristus (Mrk. 15:33,38; Kis. 3:1);

5. “Salat Terbenamnya Matahari” (Shalat al-Ghurub), yaitu waktu penguburan jasad Kristus (Mrk.15:42).

6. “Salat waktu tidur” (Shalat ai-Naum), untuk mengenang terbaringnya tubuh Kristus; dan;
7. “Salat Tengah Malam” (Shalat as-Satar atau Shalat Nishfu al-Layl) adalah jam berjaga-jaga akan kedatangan Kristus (Isa Al-Masih) yang kedua kalinya (Why 3:3). [Aziz S. Atiya, History of Eastern Christianity. Nostre Dome. Indiana: University of Nostre Dame Press, Lt.]
“Berarti Kristen Koptik yang Kristennya masih murni dan belum sesat.”
STOP! Hentikan cara berpikir “Berarti…” untuk menilai sesat dan tidaknya agama lain hanya karena ada persamaan-persamaan dengan agama kita. Kebiasaan seperti ini apalagi namanya selain kenaifan akibat suka mencocok-cocokkan. Shalat tujuh waktu ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam. Mengapa? Karena praktek doa ini, khususnya seperti yang dipelihara di biara-biara, sudah ada jauh sebelum zaman Islam. Kanonisasi waktu-waktu shalat al-Fardhiyah ini sudah mulai dilakukan dalam sebuah dokumen gereja kuno berjudul al-Dasquliyyat atau Ta’aalim al-Rusul yang editing terdininya dikerjakan oleh St. Hypolitus pada tahun 215 M. (Marqus Dawud, ed., Al-Dasquliyyah, ar Ta’aalim al-Rusul. Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003. Bab: Auqat Shalawat).
Meskipun orang Muslim atau orang Kristen di Mesir sama-sama berbahasa Arab, tetapi antara keduanya tetap bisa dibedakan. Idiom-idiom keagamaan mereka berbeda, tetapi juga tidak jarang pula sama atau paralel. Di koran-koran berbahasa Arab, ucapan bela sungkawa orang Kristen biasanya diawali ungkapan: Intiqala ila Amjadis samawat (Telah berpulang kepada Kemuliaan Surgawi), cukup mudah dibedakan dengan kaum Muslim: Inna Iillahi wa Inna Ilayhi Raaji’un (Sesungguhnya semua karena Allah dan kepada-Nya pula semua akan kembali). Tapi ada banyak tradisi lain yang memang mempunyai kesamaan, misalnya: pertunangan, perkawinan, kematian, dan masih banyak lagi.
Semestinya refleksi kita atas adanya tradisi Kristen Koptik yang seolah ada kesamaan dengan Islam adalah adanya pengakuan atas pluralitas agama-agama di dunia. Kemajemukan itu memang diakui dan kadang antara tradisi-tradisi keagamaan saling berasimilasi, baik itu dengan bahasa atau budaya lokal. Walaupun Kristen Koptik merayakan Natal tanggal 7 Januari, tetapi sekarang ini di Mesir sudah banyak gereja-gereja yang masuk ke dalam persekutuan gereja Barat dan merayakan Natal tanggal 25 Desember. Tetapi mengapa lagi-lagi kita sebagai orang Islam sok menunjukkan mana Kristen yang benar dan tidak. Seolah ada Kristen yang menurut Islam dan ada yang tidak. Bukankah sangat rancu cara pandang begini.
“Tetapi al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa kitab-kitab sebelum al-Qur’an banyak yang diubah dan dipalsukan oleh pengikutnya sendiri. Karena itu agama Islamlah yang paling benar.”
al-Qur’an atau Kitab suci agama lainnya bukanlah kitab sejarah meski ada kisah-kisah dalam lintasan sejarah. Kalau ingin bicara sejarah, telitilah dengan metode-metode ilmiah dari segala macam aspek. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan manusia dalam ruang dan waktu yang berbeda dengan kita dan bukan untuk menghakimi serta menjustifikasi agama atau keyakinan orang lain adalah salah. Kalau hanya berdasarkan kitab suci maka yang kita cari adalah pembenaran akan keyakinan yang kita yakini atau keimanan yang kita imani.
Pernah atau tidak kita sadari, bahwa tiap agama mempunyai klaim kebenaran masing-masing. Tetapi itu berlaku bagi mereka yang memang percaya dan menganut agama tersebut dan berada di dalam komunitas agamanya. Namun untuk apa menggunakan ajaran seperti itu untuk berjibaku di ranah publik dengan agama lain. Toh, masing-masing pemeluk agama adalah sama manusianya, makan makanan dan minum air yang sama, terkadang bekerja serta berinteraksi dalam instansi yang sama. Lantas apakah hanya karena klaim kebenaran agama yang subjektif itu lantas kita jadikan alasan untuk tidak menghormati serta menghargai ajaran agama lain.

No comments:

Post a Comment